Embun Ramadhan #6

Matsnawi, kota Konya, dan Rûmî adalah sebilah ruang jiwa yang identik. Jika salah satunya disebut, yang lainnya ikut terjaring dalam tafakur. Tapi, dua yang pertama hadir, justru  karena gema ratapan kerinduan agung sufi-penyair, Rûmî.
 
Matsnawi adalah buah harum intuisi-puitika dan galluru' samudera batin Rûmî yang berlindung di balik larik-larik sajak yang diselimuti pesona magis dan rindu yang tertindih. Kitab ini menyisakan jejak tangis abadi dan air mata kerinduan kudus akibat kehilangan gurunya Syams al-Tabrizi—sahabat “misteri” dalam perjalanan spiritual menuju Sang Kekasih—menyusul ketidakmampuan Rûmî menemukan seorang sahabat yang pas untuk berbagi pengalaman-senyap keruhaniannya.

Maulana Rûmî  mendaku, “Matsnawi adalah jalan cahaya bagi mereka yang ingin mencari kebenaran, menyingkap misterium Ilahi, dan karib dengan rahasia-rahasia tersebut”. Lihatlah pesonanya: “Jika kau punya jantung/bertawaflah mengelilinginya!/secara ruhani/Ka’bah sejati adalah jantung/bukan bangunan fisik dari batu dan tanah/Allah mewajibkan mengelilingi Ka’bah fisik/untuk merengkuh Ka’bah jantung/yang bersih dan murni”.

Aktus penyelaman ke rumah batin yang paling sublim, menyebabkan Rûmî  menyaksikan peristiwa-peristiwa penyingkapan yang tak tepermanai. Melalui kemurnian cahaya penyaksian (musyâhadah), Rûmî pun mengerang: “Aku menjadi sahaya/menjadi sahaya/dan menjadi sahaya/aku sahaya tak berdaya/malu karena gagal menunaikan kesahayaanku/maka kutundukkan kepala../Setiap sahaya akan bahagia jika dibebaskan/Wahai Tuhan!/aku bahagia karena menjadi sahaya-Mu”.

Perjumpaannya dengan Syams, membuka api suci kerinduan Rûmî yang sejauh ini menjadi tirai penghalang bertemu Sang Kekasih. Misi Syams adalah mengangkat pemahaman dan penglihatan spiritual Rûmî ke level yang tak ditekuk logico-positivistic. Sebab itu, Rûmî mengerang kegirangan, karena berhasil menghalau sekat, dan melesat jauh menerobos realitas transenden.

Lautan  misteri di dalam batin Rûmî, terus menggelegak dan membakar laksana samudera minyak yang tersentuh kilatan api. Begitulah, Syams membakar kerinduan Rûmî, tapi kemudian dia menyaksikan sebuah ledakan dahsyat yang justru membuatnya ikut terbakar. Sejak itu, kerinduan, pengetahuan dan ke'arifan mereka tentang Allah, bertaut.
Ketika Syams meninggal, Rûmî terasa terpanggang api kesepian tak bertepi.

Matsnawi—yang menghimpun tak kurang dari 26.000 kuplet sajak—hadir sebagai jeritan kerinduan terdalam. Sebab itu, Matsnawi diandaikan sebagai puisi perpisahan. Sejak Nur Muhammad menyentuh Rûmî melalui Syams, kepergiannya ke alam baka merupakan perpisahan yang tak terperi bagi Rûmî.

Karena dia dituntun oleh Syams menuju samudera makna yang tak tepermanai, dia merindukannya sepanjang hayatnya. Dia laksana Majnun  dalam legenda romansa, yang ditakdirkan untuk terbakar api cinta abadi terhadap Laila. Ketika seorang mewartakan, “Syams masih hidup,” Rûmî spontan menyerahkan semua miliknya kepada orang tersebut. Sejumlah Sahabat Rûmî mengingatkan jika ikhwal perkabaran itu bohong. Rûmî lalu memberi jawab: “Hadiah ini kuserahkan untuk sebuah kebohongan tentang hidupnya Syams. Andai saja aku mendengar kabar benar tentang dia, aku akan serahkan hidupku”.

Gelombang kerinduan spiritual Rûmî dilukiskan Matsnawi ibarat seruling sunyi yang merintih:  Dengarlah seruling/menyimpan pesan/Ia menyingkap rahasia Allah yang tersembunyi/Wajahnya memucat/raganya kosong/yang tersisa/hanya napas sang peniup/dan melantunkan/’Allah, Allah’/tanpa lidah/tanpa bahasa.

Matsnawi adalah serangkai kisah alegoris, galaksi makna, dan semesta kode. Rûmî tak sedikit memainkan butiran cahaya dunia lambang untuk sampai ke rahasia-Nya, tenggelam di kedalaman mahacinta-Nya yang tak terselami: “Wahai saudaraku!/kisah-kisah itu ibarat sekam/maknanya  seperti inti gandum di dalamnya/Orang berakal memakan dan mencerna gandumnya/dan tidak terkecoh oleh kulitnya!/Dengarkan! sisi luar kisah-kisah itu/tapi pastikan kautahu/memisahkan inti gandum dari sekamnya/Kata-kataku tak pernah nirmakna/Renungkan:/pengungkapan itu mecerminkan kedalaman batin kita”.

Matsnawi juga senandung nestapa-kerinduan untuk segera menyatu-lebur dengan-Nya: "Setelah kau lihat  peti matiku diusung/setelah kepergianku/jangan tangisi aku/jangan ucapkan perpisahan ketika aku diturunkan/ke lahad/.../benih mana yang tak tumbuh/setelah disemai dalam tanah?/jangan mengira aku terkubur dalam tanah/Ada tujuh langit di bawah kakiku."

Al-Qur'an diawali dengan seruan, ‘Baca!’ (iqra’): Matsnawi dimulai dengan seruan, ‘Dengarkan!’ (isma’). Seruan yang terakhir mengandaikan: Dengarkan Logos Ilahi, simak rahasia-rahasia-Nya, dengarkan Kebenaran yang menggema kuat dalam dirimu!