Embun Ramadhan #4

Inilah warta dunia hitam: Siapa yang pernah membaca atau menonton film Harry Potter besutan J.K. Rowling, akan berjumpa dengan Voldemort, figur yang melumat dunia dengan misteri yang digenggamnya.

Voldemort sosok rekaan di film ini hadir untuk mengabaikan banyak hal, kecuali kegelapan. Ia menjadi makhluk satu dimensi. Itulah  ikhwal segenap misteri paling menakutkan yang terkandung dalam jagat kejahatan.

Voldemort bisa meresap ke lubuk gelap setiap orang: sosok yang tak punya pilihan. Seluruh actus yang disodorkannya tunduk pada kegelapan.
Kejahatan menjadi semacam terungku yang menjeratnya, dan tak mungkin lagi dihalau. Orang jadi hidup dalam kecemasan dan kebutaan, sehingga tak bisa melihat yang liyan.  Itu sebab, jika seorang terhalang melakukan kebaikan, halangan itu justru mekar dari diri-tak-otentiknya sendiri yang terkepung kebutaan, kegelapan, dan simulakrum.

Dari spektrum itu, kita bisa melontar kritik terhadap sikap "fanatisme" dan "fundamentalisme." Kedua paham ini mengandaikan kebenaran semata-mata dalam “satu dimensi”. Risiko mulai muncul, ketika orang hanya berpegang pada kebenaran yang direngkuhnya sendiri, dan gagal melihat kebenaran lain di luar dirinya. Ia merasa benar dan membela kebenaran, pada hal ia sudah mulai terjerembab dalam kegelapan, karena tak mampu melihat yang lain kecuali kebenaran yang dirumuskannya. Kebenaran yang digenggamnya tidak lagi mencerahkan, tetapi menggelapkan bahkan membutakannya. Di sini kejahatan mulai menyelinap, karena substansi kejahatan-- seperti Voldemort--adalah ketidakmampuannya untuk melihat dimensi lain, kecuali konstruksi kebenaran yang menyanderanya. Tak mengherankan, mengapa orang yang dikerkah fanatisme dan fundamentalisme dengan cepat bisa menjadi gelap, benci, sarkasme, marah, kelam, dan jahat terhadap orang lain, seperti diwakili sosok Voldemort.

Belakangan, gejala fanatisme dan fundamentalisme kian fenomenal dalam ruang-ruang kebangsaan kita. Amsalkan bayangan kelam, ia pun melimbur hampir seluruh sendi kehidupan kita: agama, sosial, budaya, politik, hukum, ekonomi, pendidikan, pasar, media, dan seterusnya. Kekerasan, sebagai sayap terluar dari bayangan pekat kejahatan pun tiba-tiba menjadi “iklim” di mana kita hidup atau menjelma “udara” yang kita hirup. Dia tampil tidak lagi sebagai anomali kehidupan, tapi sesuatu yang “biasa” dalam nafas keseharian kita.

Agama misalnya, tidak lagi hadir sebagai paras sejuk yang memiliki inti pesan memuliakan manusia dengan cinta dan pengampunan, tapi menjelma sebagai post-agama: sebilah paham yang membikin agama kehilangan nalar dan pesan cintanya. Di titik ini, agama mengalami distorsi habis-habisan dalam menghalau kebencian dan dendam karena kehilangan basis akal-budinya. Ironisnya, agama pun menjadi habitus, kancah di atas mana kaum fanatik dan fundamentalis “menari” dan merayakan pahamnya  dalam memupuk kebencian dan amarah. Dan, Voldemort, di titik genting ini,  terbahak nun jauh di selubung malam yang pekat.