Tak pernah ada beda yang bisa ditaksir, tentu. Itulah yang dipakai orang, misalnya, untuk mengukur beda antara waktu dan kekekalan,  manusia dan Sang Pencipta, aneka warna dan kebeningan. Beda itu begitu paripurna, radikal, dan total, hingga Yang Maha Lain tak dapat dirumuskan, tak dapat dicakapkan, hanya dapat disebut lamat-lamat dalam kesenyapan yang sunyi.
 
Demikianlah, agama, selalu bermuasal dari ikhwal Yang Maha Sunyi, yang numinous dan berakhir pada konstruksi. Frithjof Schuon—genius terbesar tradisi Philosophia Perennis Abad ke-20—dalam magnum opusnya, The Transcendent Unity of Religions (1976), mengandaikan agama dalam dua paras: esoterik dan eksoterik. Jika yang pertama menampilkan sisi agama yang transenden, infinitum, “langit”, dan tak tercakapkan; yang terakhir meletakkan agama sebagai yang historis, memesona, penuh warna, “bumi,” dan  taksa.
 
Tapi ada keanehan yang mengalir deras dalam diri yang tafakur: Yang Maha Sunyi, merupakan bagian terpenting dari “harapan”—juga “ketakutan”—di sudut yang paling ganjil dan asing, seolah DIA dikenal begitu karib. Tak begitu jelas bagaimana nama-Nya menjejak. Mugkin itu tanda bahwa yang transenden melintasi yang imanen, bahwa yang sakral menubuh dalam sejarah yang profan, acapkali lewat jalur “ulang-alik” bumi-langit.
 
Esoterisme Islam, sebab itu, adalah cahaya bening yang melesat cepat dan membentangkan sayap kerahmatannya yang tak tepermanai bagi kemanusiaan. Tetapi cahaya itu  macet ketika sisinya yang eksoteris hadir sebagai “identitas”, yang menegaskan ruang, menekuk waktu, memapankan tradisi, dan membentangkan sebilah garis tegas antara argumen dan haluan. Di sini kian tegas, tak ada totalitas yang bisa dirumuskan ketika yang transenden dan yang sakral merayapi sejarah. Tak ada juga totalitas yang bermakna. Sebab, bahasa, termasuk bahasa yang dipilih Tuhan, dikonstruksi oleh rongga dan keinginan yang mengandaikan adanya tegangan antara “langit” yang suci dan “bumi” yang pejal dan labil.
 
Alegorisme  perennial mengandaikan, setiap warna yang aneka dan memesona, di dalam dirinya selalu berintikan “kebeningan”. Di titik ini, perspektif perennial meniscayakan: di dalam jantung setiap agama dan tradisi otentik (the heart of religions) terdapat pesan kebenaran yang sama, yakni cinta. Dengan  begitu, absah untuk membilangkan bahwa inti dari Islam adalah iman, sebagaimana jantung dari iman adalah cinta.