Start typing & press "Enter" or "ESC" to close
Indonesian
English
العربية
Home
Profil
Pimpinan UIN
Sejarah UIN
Lambang
Visi Misi & Tujuan
Struktur Organisasi
Quality Assurance
Kerjasama Kemitraan
Dasar Hukum Pengelolaan
Pedoman dan Panduan Pengelolaan
Fakultas
Syariah & Hukum
Ekonomi & Bisnis Islam
Tarbiyah & Keguruan
Ushuluddin & Filsafat
Dakwah & Komunikasi
Adab & Humaniora
Sains & Teknologi
Kedokteran & Ilmu Kesehatan
Program Pascasarjana
Lembaga
LEMBAGA
Penjaminan Mutu
Penelitian & Pengabdian Masyarakat
UPT
Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
Perpustakaan
Pusat Bahasa
PUSAT
Pusat Studi Gender dan Anak
Pusat Pengembangan Bisnis
Satuan Pengawas Internal (SPI)
International Office (IO)
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Biro
Biro AUPK
Keuangan
Kepegawaian
Perencanaan
Umum
Biro AAKK
Akademik
Kemahasiswaan
Kerjasama
Sistem Informasi
Portal Mahasiswa Dan Dosen
Portal Alumni Dan Karir
Portal Kepegawaian/SDM
E-Kinerja
Kuliah Kerja Nyata
SOP
KIP
Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU)
Rumah Jurnal
Repository
Ebook
OPAC
Sistem Pengecekan Ijazah dan Transkrip
Registrasi Mahasiswa Baru
Pustipad Helpdesk
UKT Covid
Ujian Masuk Mandiri
Monev Perkuliahan Daring
Tracer Study
Sister
Kuliah di UIN
Penerimaan Mahasiswa Baru
Unit Kegiatan Mahasiswa
Kartu Indonesia Pintar (KIP)
Agenda
Change Languange
English
العربية
Embun Ramadhan #3
06 April 2022
Muhammad Sabri
Tak pernah ada beda yang bisa ditaksir, tentu. Itulah yang dipakai orang, misalnya, untuk mengukur beda antara waktu dan kekekalan, manusia dan Sang Pencipta, aneka warna dan kebeningan. Beda itu begitu paripurna, radikal, dan total, hingga Yang Maha Lain tak dapat dirumuskan, tak dapat dicakapkan, hanya dapat disebut lamat-lamat dalam kesenyapan yang sunyi.
Demikianlah, agama, selalu bermuasal dari ikhwal Yang Maha Sunyi, yang numinous dan berakhir pada konstruksi. Frithjof Schuon—genius terbesar tradisi Philosophia Perennis Abad ke-20—dalam magnum opusnya, The Transcendent Unity of Religions (1976), mengandaikan agama dalam dua paras: esoterik dan eksoterik. Jika yang pertama menampilkan sisi agama yang transenden, infinitum, “langit”, dan tak tercakapkan; yang terakhir meletakkan agama sebagai yang historis, memesona, penuh warna, “bumi,” dan taksa.
Tapi ada keanehan yang mengalir deras dalam diri yang tafakur: Yang Maha Sunyi, merupakan bagian terpenting dari “harapan”—juga “ketakutan”—di sudut yang paling ganjil dan asing, seolah DIA dikenal begitu karib. Tak begitu jelas bagaimana nama-Nya menjejak. Mugkin itu tanda bahwa yang transenden melintasi yang imanen, bahwa yang sakral menubuh dalam sejarah yang profan, acapkali lewat jalur “ulang-alik” bumi-langit.
Esoterisme Islam, sebab itu, adalah cahaya bening yang melesat cepat dan membentangkan sayap kerahmatannya yang tak tepermanai bagi kemanusiaan. Tetapi cahaya itu macet ketika sisinya yang eksoteris hadir sebagai “identitas”, yang menegaskan ruang, menekuk waktu, memapankan tradisi, dan membentangkan sebilah garis tegas antara argumen dan haluan. Di sini kian tegas, tak ada totalitas yang bisa dirumuskan ketika yang transenden dan yang sakral merayapi sejarah. Tak ada juga totalitas yang bermakna. Sebab, bahasa, termasuk bahasa yang dipilih Tuhan, dikonstruksi oleh rongga dan keinginan yang mengandaikan adanya tegangan antara “langit” yang suci dan “bumi” yang pejal dan labil.
Alegorisme perennial mengandaikan, setiap warna yang aneka dan memesona, di dalam dirinya selalu berintikan “kebeningan”. Di titik ini, perspektif perennial meniscayakan: di dalam jantung setiap agama dan tradisi otentik (the heart of religions) terdapat pesan kebenaran yang sama, yakni cinta. Dengan begitu, absah untuk membilangkan bahwa inti dari Islam adalah iman, sebagaimana jantung dari iman adalah cinta.