Gambar Embun Ramadhan #17 Verbum Dei: Bermula pada sunyi ke bunyi. Lalu suara yang menubuh pada aksara
Embun Ramadhan #17
 
Verbum Dei: Bermula pada sunyi ke bunyi.
Lalu suara yang menubuh pada aksara
 
 
Permenungan diskursif tentang manusia primordial pontifex—manusia  yang mula asal menghuni bumi—telah mengalir deras  dalam sebilah garis sejarah yang dingin, selama ribuan tahun. Tiga tungku wiracarita soal manusia pontifex ini pun diluahkan dalam narasi mitos, kitab suci, dan sains. Masing-masing membangun argumen yang ringkih. Tak ada mufakat. Saling seteru. Satu-satunya yang secara relatif bulat bisa diterima tanpa jejak perselisihan, bahwa manusia ditemukan dalam aksara. Atau, manusia ada dalam dan  lahir dari rahim aksara.
 
Dalam tradisi Islam, “Kun!”  diyakini sebagai verbum dei: aksara Tuhan yang mengembuskan semesta penciptaan, termasuk penciptaan manusia. Kun, dan bentuknya yang jamak dalam bahasa kehidupan, melukiskan bagaimana sebuah ikhwal bermuasal ditandai dengan aksara.
 
Tak kurang dari teosof Muslim genial Abad Pertengahan, Ibn ‘Arabi, menulis Syajarat al-Kawn  (“pohon kosmik”),  sebuah kisah tentang asal-usul semesta atau "realitas" yang tumbuh dari benih “Kun”. Ibn ‘Arabi mendaku, "kawn" (kosmik/realitas) sejatinya berakar dari "Kun,”  titah Tuhan yang menandai setiap penciptaan: bermula pada sunyi-senyap yang mengepung Kemahatunggalan-Nya, lalu Dia mencipta segenap realitas di-luar-diri-Nya. Kun, sebab itu, adalah jejak awal segenap penciptaan.
 
Aksara, sebagai manifestasi Kun yang paling dini, mengandaikan keikutsertaan ide, gagasan, juga imajinasi dan intuisi di tubuhnya. Dengan aksara kita menuangkan gagasan, ide, dan dentuman rindu: aksara dan ide adalah dua paras yang tak bisa dikarantina. Tapi, karena aksara menjadi corong ide, pikir, dan rasa, ia pun menyisakan ruang yang terbelah. Karena berpikir mengandaikan konseptualisasi, definisi, kategorisasi, klasifikasi dan abstraksi. Namun ‘keterbelahan’  aksara bukan sebuah cela yang nista, tapi justru menjadi ruang untuk merayakan kepelbagaian makna.
 
Aksara dan Baca
 
Awalnya adalah aksara. Setelah itu, baca. Mungkin inilah yang menandai imperatif Tuhan: "Bacalah! dengan Nama Tuhanmu yang mencipta" (Qs. al-'Alaq/96:1), yang merengkuh Muhammad Sang Tajalli Kamil.
 
Angin musim memeluk tiang-tiang gurun. Gua Hira senyum merengkuh Muhammad dalam permenungan panjangnya yang sublim: tak jemu menanti isyarat, meletihkan, tapi juga agung. Dari sunyi-senyap yang suci, yang mysterium- tremendum-fascinosum, sebut Otto, lalu ke bunyi, selanjutnya aksara-langit hadir menyapa: Iqra'! Bacalah! Muhammad, yang tak punya kepiawaian aksara, yang “ummi,” justeru menerima aksara langit,  texere-Dei dalam gigil kudus yang menyengat: diminta untuk membacanya, merapalkannya, mengejanya berulang-ulang lalu tersimpan kukuh dalam jantung kudus Sang Nabi.
 
Inilah pewartaan perihal Nuzul al-Qur'an, sebilah peristiwa agung penuh berkat, ketika teks-teks langit, texere dei merayapi sejarah via Muhammad s.a.w. di bulan ramadhan yang bercahaya (Qs. al-Dukhan/44:3)
 
Namun ada ikhwal lain. Pembacaan  yang "patuh" terhadap aksara, menyisakan ancaman: jatuhnya seorang ke dalam lembah keseragaman. Sebaliknya, pembacaan yang ‘liar’ dan tak ingin takluk dalam "penyeragaman" uniformity, dapat menjadi perangkat dasar dalam menjaring makna yang terhampar pada sekujur tata kosmik, perihal diri, dan Tuhan.
 
Aktus membaca memang bukan arus yang sepihak, tapi gemuruh: melibatkan persepsi intelek, latar sosio spasio-temporal, imajinasi, emosi, dan juga ego. Karena itu, membaca, adalah arus yang menyatukan banyak soal dalam aku-autentik.
 
Seorang  pembaca yang baik adalah seorang yang membiarkan setiap jengkal irama ‘diri’-nya menari bersama aksara: menari dengan sepi yang liar. Filsuf hermeneutik, Paul Ricoeur menyebutnya, la chose de texte: "bukalah dirimu,  biarkan teks menghampirimu dan menarilah bersamanya."
 
Dalam mitologi Mesir kuna, Thoth dipercayai sebagai sang penemu aksara. Thoth memiliki nama yang aneka di sejumlah peradaban antik. Di Persia, ia dikenal dengan nama Hushang, Ukhnuh (Yahudi), Kenokh (Kristen), Idris (Islam), dan Hermes (Yunani). Nama terakhir, punya keterkaitan erat dengan hermeneutica philosophy, sebuah tradisi filsafat bahasa kontemporer yang memosikan text sebagai medan penafsiran semesta tanda. Di sana, setiap ikhtiar penyingkapan makna text, menegasikan sikap pretensi benar, dan hasrat klaim benar, menekuk fakta dan imajinasi dalam tafsir tunggal: biarkan nafas dan peluh menjadi tanda, dan Tuhan sebagai penyaksi.
 
Setiap text—dalam pendakuan Thoth—adalah  pharmakhon yang menangkup dua arti: “racun” dan “obat”. Text menjadi racun, ketika ia menjadi terungku dan tak lagi mampu merengkuh lautan makna di balik realitas yang coba dilukiskannya. Text sebagai obat-penawar, karena ia bisa mewariskan makna secara autentik dari generasi ke generasi.
 
Dalam literasi Islam, ikhtiar penyelaman  samudera makna text suci Al-Qur’an misalnya,  mengenal tiga dunia: tarjamah, tafsir, dan ta’wil. Tarjamah, adalah penelusuran makna  dengan melihat relasi text-text. Tafsir mengonstruk makna dari serpihan yang tercecer pada relasi text-context. Sementara takwil, mencoba menyelami makna terdalam sebuah teks: inner meaning of the text.
 
Begitulah, bahasa, juga bahasa yang dipilih Tuhan, Verbum Dei, dicipta bersama rongga dan hasrat. Konstruksi verbal tentang Tuhan, juga Kalam-Nya, mengalir lasak dalam anak sungai aksara yang terikat sejarah, meski pun bergerak untuk menerobos pelintasan yang tak bertepi.