Embun Ramadhan #16
Keajaiban tak akan mekar, ketika kota jadi temaram dan ramadhan jadi sebatas iklan. Agama adalah jagat-makna yang tertanam di balik semesta tanda yang berlapis. Karena itu, substansi agama hanya bisa tersingkap ketika seseorang mampu menyelami “jantung” rahasia terdalam tradisi keagamaan.
Puasa ramadhan adalah ritual Islam yang sangat “karib” dengan fenomena-ruhani Laylat al-Qadr. Puasa ramadhan dengan sendirinya punya makna ontologis dan bukannya sekadar aktus menahan makan, minum, dan hubungan sexual suami-isteri di siang hari di bulan suci.
Puasa berpesan: Dalam hidup, ada realitas-ontologis yang tidak kasat mata, namun teramat benderang pada kilatan intuisi-batin manusia tercerahkan. Di titik ini, puasa dipandang sebagai bentuk “spiritual exercise” atau riyâdhah, sejenis latihan olah-ruhani yang kelak melahirkan visio-Dei yang cemerlang. Di ruang-sadar ini, manusia-puasa menerobos status-ontologis yang berlapis: empirik, metaempirik, trans-metaempirik, dan infinitum.
Manusia-puasa akan mampu menangkap ketimpangan-ketimpangan sosial yang menganga lebar dalam kehidupan aktual yang aneka. Manusia-puasa, sebab itu, dapat meraba secara “empirik” dan “metaempirik” perihal kelaparan dan kecemasan masa depan mereka yang terpinggirkan secara ekonomi, sosial, dan politik. Itu sebab, Nabi s.a.w. mendorong kaum mukmin agar kian loyal ber infaq dan shadaqah di bulan penuh cahaya ini. Coba genggam sukma nubuwatnya: “Jika kalian hendak menemuiku, carilah aku di tengah-tengah orang miskin dan anak-anak yatim…”
Sementara itu, kualitas manusia-puasa “trans-metaempirik” mengandaikan manusia-puasa telah mampu menyingkap realitas “tak-tepermanai” (infinitum) dan transendental via “Mata Rahman-Nya”. Sebilah pengalaman-ruhani terpuncak, yang dalam pendakuan filsuf analitik Ludwig Wittgenstein dalam magnum opusnya, Tractatus Logico-Philosophicus (1952), “Telah luruh semua bahasa untuk mempercakapkannya”.
Dari ruang-ruang sadar dan tingkat “pengalaman-langsung” manusia-puasa tersebut, mengandaikan adanya semacam transendensi tanpa-henti dalam napas ruhani seorang mukmin, agar hidup kemudian tidak berhenti pada realitas empirik yang profan, tetapi keharusan mentransendensikan “ego-spirit-autentik” kepada Realitas Tertinggi dan Tak Terselami: Allah. Dari cakrawala ini pula kita pun mafhum mengapa Laylat al-Qadr—sebagai fenomena keruhanian autentik ramadhan--jejak semiotiknya abadi dalam narasi Kitab Suci (Qs. Al-Qadr/97:1-5): "Sungguh Kami telah menurunkan (Alquran) di Malam Qadr. Dan tahukah kamu apa Malam Qadr itu? Malam Qadr lebih agung dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala perihal. Sejahteralah (malam qadr itu) hingga terbit fajar.
Spirit keagungan Laylat al-Qadr sebagai manifestasi limpahan berkat-Nya, mendapat penekanan Nabi: “Carilah dia pada malam-malam akhir di Bulan Suci.” Mengapa? Karena pada pengujung malam ramadhan diandaikan sebagai “titik puncak” perjalanan ruhani (suluk) yang mengandaikan manusia-puasa telah tiba pada kualitas kesadaran infinitum dan “mengalami” ketercelupan ontologis di dalam Maha Cahaya-Nya yang tak terperi.
Begitulah, “kemanisan-rasa,” “pesona-warna,” "gigil-getar jiwa yang dilimbur rindu" juga “kebeningan-makna” Laylat al-Qadr, hanya bisa “direngkuh” manusia-puasa kualitas puncak. Di simpul ini, Laylat al-Qadr sejatinya, lebih merupakan dunia-pengalaman-langsung (direct experience) manusia-puasa, dan bukannya dunia-pengetahuan: sehelai “dunia rahasia” yang tersingkap, meski tak satu pun kalam kuasa melidahkannya.