Embun Ramadhan #14
Inilah wiracarita—yang tertimbun debu mitis ribuan tahun—ikhwal dimana segenap perseteruan manusia berakar: Menara Babel. Legenda ini bermuasal dari bumi yang tunggal: satu bangsa, satu bahasa, satu tradisi, satu keyakinan, dan satu logat. Lalu bangsa itu dilimbur hasrat membangun kota dengan menara yang menjulang ke langit. Tapi sebelum pucuk menara mengerkah langit, Tuhan merontokkannya. Bangsa dan kota itu pun menjelma puing. Di sana, Tuhan menyerakkan dan memorak-porandakan manusia dan bahasa mereka, ke seluruh sudut bumi. Sejak itu, manusia musti berjuang sekadar untuk berkomunikasi dengan sesamanya.
Di sini ada jejak yang tersisa: Yang Abadi saling membelah dengan bumi yang guyah. Dan “perbedaan” menjadi penyaksi kehadiran manusia. Perbedaan, selalu hadir sebagai tanda dan peneguhan tentang yang liyan. Manusia tiba-tiba terperangkap dan menemukan tubuhnya dalam selubung kode yang pejal: etnik, ras, agama, bahasa, tradisi, jenis rambut, warna kulit, lifestyle, visi politik, grup WA, profesi, dan sejarah. Di titik ini manusia disergap heterofobia: rasa takut-getir ketika bertemu “orang lain” (other) yang berbeda dengan dirinya. Sejak itu manusia butuh identitas sebagai pembeda.
Setidaknya, ada tiga agensi yang berlomba menekuk eksistensi dan memroduksi semesta tanda “baru” pada aneka warna kehidupan manusia: para penafsir, negara, dan bisnis. Agensi pertama: para penafsir. Filsuf dan ilmuwan adalah penafsir-penafsir “realitas” yang membentang pada sekujur tata kosmik, tubuh, dan juga keperiadaan Tuhan. Kehadiran “yang lain” dalam ruang hidup bersesama menjadi tantangan bagi ilmu pengetahuan yang berambisi menertibkan kehidupan dalam kantong-kantong kategori yang rapi.
Sejumlah studi yang dipersembahkan para ilmuwan menegaskan hal ini. Sebutlah, Charles H. Smith, The Natural History of the Human Species (1848), mengandaikan pertautan struktur anatomi dan kultur yang membentuk perilaku seseorang. Charles Darwin, On the Origin of Species by Means of Natural Selection (1859), mendakukan varian biologis pada keberlangsungan makhluk hidup—termasuk manusia—yang bertumpu pada dua hal: “seleksi alam” dan “yang kuat yang hidup”.
Dua konsep inti tersebut, menjadi inspirasi apa yang dikenal kelak sebagai “Darwinisme sosial” yang mengusung suatu rekayasa sosial atas dasar paham superioritas-inferioritas dari satu ras atas ras yang lain. Inilah yang disebut eugenesis: masyarakat musti memilih salah satu, membantu ras-ras inferior lalu menghambat ras-ras superior, atau mendorong perkembangan ras-ras superior dengan meluluhlantakkan ras-ras inferior. Di sini, batasan tentang “kita” dan “mereka” sebagai yang the other atau liyan, kian tegas. Dan penyingkiran terhadap “yang lain” pun mengalir lasak dalam anak sungai sejarah.
Agensi kedua: negara. Sebagai organisasi modern, negara adalah institusi padat-kuasa yang hampir merengkuh setiap orang dalam tata waktu-ruang. Jejaknya bisa dijumpai, misalnya pada KTP. Waktu-ruang setiap warga negara dapat diatur oleh negara cukup dengan “mengendalikan” informasi yang ada di KTP itu. Pengendalian waktu-ruang oleh negara juga bisa berbentuk segregasi. Misalnya, pada “mendiang” praktik politik apartheid di Afrika Selatan, berhasil memisahkan orang kulit putih dan kulit hitam sejak lahir hingga kematiannya.
Tapi negara juga punya semacam cetak biru masyarakat yang ideal. Cetak biru paling heboh sejagat mungkin terwakili imaginasi The Third Reich, Seribu Tahun Nazi Jerman. Mereka mendabik dada sebagai bangsa terbaik dari ras agung Aria. Setiap yang menghalau benderang cahaya keagungan Arya-Jerman musti dimusnahkan. Dan bangsa Yahudi, menurut rezim Nazi, adalah bangsa sial yang mutlak dilenyapkan. Maka gerakan genosida atas orang-orang Yahudi pun berlangsung. Holocaust, menjadi jejak merah-bara pekat dalam sejarah manusia. Agensi ketiga: bisnis. Kehadiran kekuasaan bisnis, terlebih bisnis trans-nasional, telah menjadi gurita baru dalam kehidupan kontemporer kita. Siapa pun yang bersentuhan dengan orang jamak—termasuk dalam bisnis—akan menyadari kutukan Menara Babel sejak keruntuhannya, yakni perbedaan. Pesannya jelas: di tangan bisnis, misalnya perbedaan dan persaingan saling berjumpa di atas piring, di lobi-lobi hotel, di baliho-baliho iklan, dan pertaruangan “citra” di media-media sosial, ruang-ruang digital. Gejala ini disebut Stanley Fish (1996) sebagai boutique multiculturalism.
Perbedaan dirayakan dalam tema-tema fashion, festival pekan raya, restoran etnik, dan jual beli online. Tapi perbedaan itu “disatukan” dalam kegiatan memilih model dan besutan hasrat masing-masing persona.
Ilmu pengetahuan, juga negara yang pernah tegak perkasa, kini lemas di hadapan kekuatan modal. Institusi-institusi publik yang mestinya menjaga telos atau cita-hidup bersama, telah dirampas keperkasaan bisnis. Hidup bersama dan bersesama pun bergulir liar tanpa haluan telos itu. Hasrat untuk menegaskan “perbedaan” lalu jadi paradigma dominan. Paras kehidupan kita kini pun terbelah: mulai dari ormas-ormas, partai politik, organisasi pemuda, orientasi politik, kelompok sosial, gaya hidup, hingga grup-grup WA, memperlihatkan “paras ganda”. Adakah hal tersebut sebagai peneguhan identitas atau justru perayaan heterofobia? Jangan-jangan kutukan Menara Babel kian memperlihatkan gairahnya.