Allah adalah Misteri Agung yang tak terselami. Dia tak dapat didekati hanya dengan sikap ephoria, sejenis kesadaran-dangkal yang terbit dari lingkar luar eksistensi manusia. Dia hanya bisa didekati dari "ruang otentik sebelah-dalam" (inner space) manusia. Itulah Pati Devina: Tuhan, yang bisa saya rasakan dan mengalami ketercelupan ontologis dengan-Nya, karena saya berani menderita dikerkah api-kerinduan dalam menemu-kenali akan-Nya. Justru dengan Pati Devina, di mana manusia memuji, mengagungkan dan mengabdi kepada Allah dengan segenap pergulatan bahkan penderitaannya, maka terjadilah cinta sublim tak tepermanai.
Tujuan kudus dan tugas hidup manusia adalah memuji, mengagungkan, dan mengabdi kepada Allah. Ketiganya hanya bisa terjadi dalam tindakan dan dalam “pengalaman langsung” (direct experience) manusia sendiri. Manusia adalah ciptaan, yang selalu mengarah kepada Kenyataan Yang Absolut, dan dengan demikian selalu mengatasi apa saja yang terbatas, profan, dan tidak otentik. Keberadaannya yang terarah pada Yang Maha Tak Terbatas itu mengimplikasikan bahwa ia mesti mentransendensikan apa yang terbatas, dan membuat ia tak tergantung pada yang terbatas itu. Sikap membebaskan diri dari hal-hal yang terbatas, profan, dan tidak otentik itulah yang dalam tradisi religious studies disebut sebagai indifferens. Khazanah keruhanian Islam mengandaikannya sebagai pengalaman mi’raj ego-otentik.
Di titik ini, indifferentia adalah sesuatu yang kodrati dan adikodrati sekaligus. Kodrati, karena ia hadir pada inner space manusia. Adikodrati, karena ia diletakkan sebagai anugerah Tuhan bagi manusia, dan karena itu bersifat yang Ilahi. Huxley dalam The Perennial Philosophy (1975), menyebutnya "in the soul something similar to, or even identical with, Devine Reality"--bahwa dalam jiwa manusia terdapat "sesuatu" yang identik dengan Kenyataan Ilahi.
Jadi, indifferentia adalah anugerah adikodrati bagi manusia, justru karena ia secara kodrati diciptakan untuk mengarah terus-menerus kepada Yang Maha Tak Terbatas dan adikodrati.
Itu sebab, kelepasbebasan itu adalah hakikat dari keberadaannya sendiri. Pertanyaan fundamentalnya: apakah manusia mau mengidentifikasikan “diri”nya dengan hakikat diri atau ego otentiknya itu. Dengan lain perkataan, jika ia tidak mau bertindak dengan indifferens, maka ia dengan sendirinya melawan dan merusak ego otentiknya, ruh, atau hakikat keberadaannya sendiri.
Manusia, sebab itu, diandaikan agar dirinya mengalami transendensi terus menerus dan tak berhenti pada wilayah profan, terbatas, dan tidak otentik. Justru di sinilah letak kesulitannya. Karena manusia pada galibnya, lebih suka berhenti pada yang terbatas, profan, taksa, dan “bumi” untuk kemudian merengkuhnya dan bahkan mempertuhankannya. Dia enggan meninggalkan "zona nyaman." Dia tidak mau mengorbankan apa yang akan berlalu, betapa pun sepelenya hal itu. Dengan kata lain, walau tertanam dalam hakikat manusia, indifferens tidak terjadi dengan sendirinya dan musti diperjuangkan secara kontinum.
Tujuan kudus penciptaan manusia tidak hanya untuk dikenang secara primordial, nun jauh di “alam misteri alastu” (asrâr alast) tetapi harus dicari dan diperjuangkan terus menerus. Indifferens melalui Pati Devina, mengajak manusia untuk selalu menjatuhkan pilihan: jalan mana yang terbaik dalam membimbingnya ke arah tujuan ia diciptakan. Allah adalah tujuan hidup yang disaput misteri tak terselami. Karena itu, ikhtiar untuk menemui-Nya, tidak ada jalan yang sekali jadi, enteng, dan pasti untuk selamanya!