Kau dilahirkan dengan sayap/kenapa musti merayap/dalam hidup? (Jalaluddin Rumi)
Alegorisme burung-burung, sayap, dan juga terbang, telah lama menjadi kode universal tradisi keruhanian Islam yang mengandaikan kenaikan jiwa manusia menuju realitas langit yang lebih tinggi. Jejak yang sama dijumpai pula dalam mitologi dewa-dewa bersayap di kawasan Timur Dekat Antik, malaikat-malaikat bersayap dalam Injil dan jiwa-jiwa bersayap dalam karya mistik Platon, Phaedrus.
Para nabi dan penyair telah melukiskan kekuatan kepak sayap untuk mengangkat jiwa manusia menuju surga dengan cara terbang. Mereka yang tergolong bukan penganut Kitab Suci—khususnya kaum “Syamanistik” di kawasan Asia Tengah dan orang-orang Siberia—pun telah menggunakan metafora ‘terbang’ secara luas.
Islam, dengan tradisi filsafat mistik yang melimpah ruah—melalui buah permenenungan literasi dan kearifan para sufi, filsuf, dan penyair—acap kali mengungkapkan realitas tertinggi melalui metafora ‘burung’ dan ‘terbang’. Sebutlah, Ibn Sînâ (w. 1037), al-Gazâlî (w. 1111), Suhrawardi (w. 1911), Khâqânî (w. 1199), dan genius terbesar dan sufi-penyair untuk karya epik mistik genre ini, Farîd al-Dîn ‘Aththâr (w. 1220) melalui mahakarya, Manthiq al-Thayr. Untuk hal yang sama, seorang penulis brilian dari tradisi Sufisme Persia, Rûzbihân Baqlî (w. 1209), dipandang sebagai sosok yang paling ekstensif menggunakan metafora burung dan terbang dalam puisi-puisi mistiknya.
Secara teknis, puisi-puisi karya Rûzbihân menggunakan segenap tingkatan metafor ‘burung’ dan ‘terbang’ untuk mengekspresikan semesta pengalaman mistik yang penuh warna. Fokus Rûzbihân terhadap “pengalaman langsung” (direct experience) sufisme membikin karyanya sangat masyhur secara spesifik dalam mengungkap semesta mistik karya-karya sastra.
Karya-karya puisi mistik Rûzbihân terbilang rumit, menampilkan eksposisi semesta tanda dan jagat lambang yang terselubung misteri, tapi amat benderang pada mereka yang mengakrabi dunia eksperiensial mistik. Dua di antara karya monumentalnya, Risâlah al-Quds (“Risalah Kekudusan”) dan ‘Abbar al-‘Âsyiqîn (“Melati Para Pencinta”) telah dikaji banyak pemikir-penyair-filsuf dan menjadi inspirasi penting dalam tradisi susastra mistik Islam.
Dari sejumlah catatan menunjukkan jika karya-karya Rûzbihân telah dikaji luas sejumlah penulis di antaranya Jâmî (w. 1492), bahkan karya-karya tersebut mendapat sambutan hangat Pangeran Moghul Dârâ Syikuh (w. 1659) di India pada abad ke-17. Mereka umumnya merasa kesulitan menyingkap makna penuh selubung dari gaya penulisan sastra Rûzbihân. Metafora burung dalam karya Rûzbihân diletakkan secara multivalen: burung bisa menjadi pengandaian aneka jenis ruh, orang suci, dan juga eksperiensial semesta mistik.
Tak sedikit alegorisme burung dalam karya Rûzbihân melahirkan interpretasi yang mengejutkan. Ketika mengomentari ungkapan Al-Hallâj tentang “burung yang beruntung” misalnya, Rûzbihân menulis: “Burung yang beruntung” adalah burung Hudhud Nabi Sulaymân, atau burung elang dari barat, atau Huma yang megah, atau burung kesuksesan, atau burung inspirasi, atau burung semangat, atau isyarat yang baik, atau burung cahaya yang bertahta di singgasana, atau ayam putih di bawah singgasana, atau Jibrîl, atau Muhammad saw.
Satu distingsi kuat dari karya metafor burung Rûzbihân, acap kali mempercakapkan Nabi Muhammad saw. dengan menggunakan simbolisme burung, yakni “Burung bulbul dari cinta prakeabadian dan burung simurgh dalam sangkar pascakeabadian”.
Lazimnya, burung simurgh dan burung bulbul, dalam tradisi mistik Persia merupakan representasi simbolik dari alas realitas yang berbeda: Simurgh sebagai simbol Tuhan yang dicintai, sementara bulbul adalah semesta kode untuk manusia yang mencintai, tapi Rûzbihân meletakkan Nabi Muhammad saw. sebagai “penengah” eksistensial-metaforis bagi burung-burung tersebut.
Rûzbihân juga mengembangkan metafora burung ke sejumlah sosok: “burung dalam sangkar pengasingan” dinisbatkan kepada sufi Abû Yazîd Bustâmî (w. 1260) karena doktrin sufistiknya yang mengandaikan “kesendirian mutlak” (ifrâd), “burung-burung kesucian yang telah kembali ke sarangnya” sebagai bentuk penggambaran para sufi yang mendapat tekanan keras, dianiaya serta dibunuh. Rûzbihân juga menggambarkan burung-burung di taman surga sebagai metafora para nabi, para malaikat, dan orang-orang suci. Dia juga mengandaikan “wilayah kudus” di tempat mana burung-burung menerbangkan ruh-ruh terpilih para nabi, rasul, rabi, ruhaniwan, gnostik, dan muwahhidûn.
Coba lihat bagaimana Rûzbihân melantunkan ekspresi-ekspresi puitika ekstatiknya terhadap dua sufi besar Al-Hallâj dan Abû Yâzîd: Burung dalam sangkar pengasingan menyanyikan: “Allah, Allah, burung Ahli Tawhid menyenandungkan: “Akulah Yang Mahabenar (Anâ al-Haqq),” dan burung dalam kesucian menyatakan: “Mahasuci Aku (subhânî)”. Ketika mereka muncul dari taman kesaksian, mereka terbang dengan sayap-sayap dari prakeabadian dalam pascakeabadian dari pascakeabadian.
"Burung-burung ketuhanan ini menjadi rahasia menuju istana kemanusiaan dan berbicara dengan jiwa ketuhanan melalui lidah kemanusiaan”.
Metafora ‘burung’ dan ‘terbang’ yang dilukiskan para sufi dalam karya mistikal mereka, lebih merupakan ikhtiar pengungkapan pengalaman-pengalaman tak tercakapkan—tapi juga meneguhkan satu hal: bahwa kita, sejatinya, adalah kerabat dan bagian dari elemen langit, mengapa musti terjerembab dan merangkak di lumpur bumi?