Dzun Nun si-Miahri menuturkan bahwa ia mempunyai seorang keponakan perempuan yang ahli ibadah dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah ewt,
Pada suatu ketika,'ia tidak melihat kemenakannya selams satu bulan tanpa ia tahu di mana keberadaannya. Kemudian, mendekatkan diri kepada Allah selama sehari semalam dengari puasa dan shalat malam.
Lalu, ia bermimpi dan mendengar ada suara gaib yang berkata kepadanya, “Perempuan yang sedang engkau cari berada di padang Tih.”" (Tih adalah sebuah gurun tempat tersesatnya Bani Israil pada masa Musa)
Mendengar suara itu ia lantas berujar, Bagaimana mungkin dia bisa berada di sana?”
Ia bergegas mengambil air dan bekal. Setelah itu, ia mencari kemenakannya selama sepuluh hari. Akan tetapi, ia tidak bisa menemukannya. Ia bahkan hampir putus asa untuk bisa berjumpa lagi dengan ponakannya itu. Karena air serta bekal yang ia bawa begitu berat, akhirnya ia berniat untuk pulang pada hari berikutnya.
Pada malam harinya, ketika ia sedang tidur, tiba-tiba ia merasakan seseorang mendorong tubuhnya sehingga ia terbangun. Ternyata orang itu adalah keponakan yang sedang ia cari-cari. Kemenakannya itu tengah berdiri di sampingnya sembari tertawa.
“Wahai tamu hati, apa yang berada di punggungmu itu?”
“Aku telah mencarimu selama satu bulan,” jawab Dzun Nun.
“Wahai Pamanda,” ujar ponakannya, *“demi Allah, ketika aku sedang berada di mihrabku, terlintas di dalam benakku bahwa Tuhannya bumi, Tuhannya langit, Tuhannya daratan, Tuhannya lautan, Tuhannya tempat sepi, dan Tuhannya tempat ramai adalah Tuhan yang Satu. Kemudian, aku berkata bahwa aku benar-benar akan beribadah menyembah-Nya di tempat sepi selama satu bulan dan di tempat ramai selama satu bulan, sampai aku dapat melihat jejak kemurahan dan kuasa-Nya. Aku lantas memasuki padang Tih sejak empat puluh hari yang lalu. Dj tempat itu aku melihat Tuhanku dengan penuh keyakinan yang Membuatku tidak membutuhkan semua makhluk.”*
Dia lalu menangis beberapa saat, kemudian diam.
Pada saat itu Dzun Nun sangat lapar sehingga ia berniat menanyakan makanan kepada ponakannya. Sebelum ia mel. akukan itu, kemenakannya sudah lebih dulu menatapnya seraya berujar, "Sepertinya engkau lapar, Paman?”
Dzun Nun pun menyahut, “Ya, benar!” Kemenakannya lantas mendongak, memandang langit, dan berdoa, "Wahai Pelindungku, pamanku lapar dan dia senang melihat keadaanku di sisi-Mu.”
Demi Allah, sebelum kemenakannya benar-benar menye:lesaikan doa yang tengah ia panjatkan, Dzun Nun melihat sebuah makanan berwarna putih seperti salju turun dari arah langit. Ia pun melahap makanan itu, lalu berkata, “Wahai Keponakanku, ini adalah manna, lantas di manakah salwa?” Ponakannya menjawab, "Salwa turun setelah manna." Seketika itu juga ia melihat banyak salwa turun kepadanya. Demi Allah, ketika ia kemudian berpisah dengan kepo.nakannya itu, ia sudah termasuk di antara kalangan ar:-rijal atau “penempuh jalan spiritual". “Semoga Allah meridhai keponakanku itu,” tutur Dzun Nun Dikutip dari kitab An-Nawadir karya Syekh Syihabddin Al-Qalyubi...