عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي لَقِيتُ امْرَأَةً فِي أَقْصَى الْمَدِينَةِ، فَأَصَبْتُ مِنْهَا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا أَنِّي لَمْ أَجْمَعْهَا، فَأَنَا هَذَا، فَاقْضِ فِيَّ مَا شِئْتَ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: لَقَدْ سَتَرَكَ اللَّهُ لَوْ سَتَرْتَ عَلَى نَفْسِكَ. فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا. فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ، فَأَتْبَعَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا دَعَاهُ، وَتَلَا عَلَيْهِ: وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّاكِرِينَ (هود: ١١٤) فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، هَذَا لَهُ خَاصَّةً؟ قَالَ: بَلْ لِلنَّاسِ كَافَّةً."
Dari Abdullah bin Mas’ud RA, ia berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan berkata, 'Wahai Rasulullah, aku bertemu dengan seorang wanita di ujung kota. Aku telah melakukan segala sesuatu dengannya kecuali berzina. Maka aku datang kepada engkau untuk meminta keputusan apa yang harus aku lakukan.' Mendengar hal itu, Umar RA berkata, 'Allah telah menutupi perbuatanmu, seandainya engkau menutupi diri sendiri.' Namun Nabi SAW tidak menanggapi perkataan Umar dan tidak berkata apa-apa kepada laki-laki tersebut. Kemudian laki-laki itu pergi. Nabi SAW lalu memerintahkan seseorang untuk memanggilnya kembali dan membacakan ayat berikut ini: 'Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada beberapa bagian dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.' (QS. Hud: 114). Salah seorang dari kaum itu bertanya, 'Wahai Nabi Allah, apakah ini khusus untuknya?' Beliau menjawab, 'Tidak, ini berlaku untuk seluruh umat manusia.'" ?HR. Tirmidzi, no. 3111; Ahmad, 1:445)
Latar Belakang Kisah
Kisah ini menggambarkan seorang laki-laki yang merasa berdosa setelah melakukan tindakan yang melanggar nilai moral, meskipun belum sampai melakukan zina. Dia sadar akan kesalahannya dan datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta solusi dan arahan. Situasi ini menggambarkan betapa perasaan bersalah bisa menjadi dorongan kuat bagi seseorang untuk memperbaiki diri dan mencari pengampunan dari Allah.
Lalu Respon Rasulullah SAW dan Umar bin Khattab; Ketika orang itu mengakui kesalahannya, Umar bin Khattab menasihatinya untuk menyembunyikan dosanya, mengingat Allah telah menutupi aibnya. Ini mengajarkan prinsip penting dalam Islam mengenai penutupan aib dan dosa pribadi, agar tidak menjadi fitnah atau contoh buruk bagi orang lain. Namun, Rasulullah SAW tidak langsung memberikan keputusan dan membiarkan laki-laki itu pergi, menunjukkan sikap bijaksana dalam menyikapi kejujuran dan kerendahan hati pelaku dosa.
Rasulullah SAW kemudian menyuruh seseorang memanggil kembali laki-laki itu dan membacakan ayat dari Surah Hud ayat 114:
“Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada beberapa bagian dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat."
Hadis ini mengandung beberapa pelajaran mendalam terkait dengan sikap manusia terhadap dosa, penyesalan, kesempatan bertaubat, dan peran ibadah dalam menghapus dosa. Uraiannya dapat ditinjau dari beberapa aspek berikut:
1. Pengakuan Dosa dan Penyesalan Hadis ini menunjukkan bahwa pengakuan dosa yang disertai dengan penyesalan dapat menjadi pintu menuju pengampunan. Laki-laki dalam hadis ini mengakui kesalahannya dan merasa menyesal, yang mendorongnya untuk mencari keputusan dari Rasulullah SAW. Sikap ini sesuai dengan prinsip Islam yang menekankan pentingnya taubat setelah melakukan dosa. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran:
“وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ" "Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapa yang dapat mengampuni dosa selain Allah?" (QS. Ali 'Imran: 135)
Umar bin Khattab RA menunjukkan pentingnya untuk menutup aib diri sendiri dengan menasihati agar orang tersebut tidak mengungkapkan dosanya. Pandangan ini menunjukkan etika Islam dalam menjaga kehormatan diri dan menghindari pengungkapan dosa kecuali dalam kondisi tertentu.
2. Etika Pengungkapan Dosa
Pengungkapan dosa secara terang-terangan tidak dianjurkan dalam Islam, kecuali ketika orang tersebut membutuhkan bimbingan atau keputusan dari seorang alim. Dalam hadis ini, Umar bin Khattab RA mengingatkan laki-laki tersebut untuk tidak mengungkapkan dosa yang Allah telah tutupi. Hal ini berdasarkan hadis:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: "كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلا الْمُجَاهِرِينَ" "Semua umatku diampuni kecuali mereka yang menampakkan dosa-dosanya." (HR. Bukhari, no. 6069)
Ulama seperti Imam Nawawi menekankan bahwa menyembunyikan dosa adalah sikap yang lebih baik kecuali dalam rangka mencari bimbingan atau nasihat untuk bertaubat.
3. Peran Shalat dalam Menghapus Dosa
Nabi SAW membacakan ayat dari Surah Hud ayat 114 yang menekankan peran shalat dalam menghapus dosa-dosa kecil. Ini menunjukkan bahwa ibadah tidak hanya menjadi bentuk ketaatan, tetapi juga sarana untuk menyucikan diri dari dosa. Allah SWT berfirman:
“وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ" "Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada beberapa bagian dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan buruk." (QS. Hud: 114)
Abdullah bin Mas’ud RA menafsirkan ayat ini sebagai dorongan bagi umat Islam untuk terus berbuat kebaikan, karena kebaikan dapat menghapus dosa.
4. Kebaikan sebagai Penutup Dosa
Islam mengajarkan bahwa amal perbuatan baik dapat menjadi penutup bagi dosa-dosa kecil, sebagaimana disebutkan dalam ayat yang dibacakan oleh Nabi SAW. Pengulangan amal kebaikan melalui shalat, zikir, dan amal saleh lainnya berfungsi untuk membersihkan hati dari kesalahan. Rasulullah SAW bersabda:
“اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا" "Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada, dan iringilah perbuatan buruk dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskan dosa." (HR. Tirmidzi, no. 1987)
Imam Ghazali menjelaskan bahwa perbuatan baik adalah cara yang efektif untuk menyucikan jiwa, sebab setiap amal baik berfungsi untuk membentuk karakter yang lebih dekat kepada Allah dan menjauhi keburukan.
5. Universalitas Pengampunan dan Kesempatan bagi Semua Umat
Ketika salah seorang dari kaum itu bertanya apakah pengampunan ini khusus untuk laki-laki tersebut, Rasulullah SAW menegaskan bahwa ayat ini berlaku untuk seluruh umat manusia. Hal ini menunjukkan rahmat Allah yang luas, memberikan kesempatan taubat bagi seluruh umat-Nya. Allah SWT berfirman:
“قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ" "Katakanlah: 'Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah.'" (QS. Az-Zumar: 53)
Ali bin Abi Thalib RA berkata, "Orang yang paling beruntung adalah orang yang tidak berputus asa dari rahmat Allah meskipun telah berbuat dosa besar."
6. Konsep Taubat dan Keutamaan Shalat
Ayat dan hadis ini menegaskan bahwa shalat memiliki keutamaan dalam menghapus dosa-dosa kecil. Dengan rajin mendirikan shalat, seorang Muslim dapat memperbaiki hubungannya dengan Allah dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Shalat dalam Islam bukan hanya ibadah ritual, tetapi juga mekanisme pembersihan hati dan pikiran. Rasulullah SAW bersabda:
“أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا، هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ؟" قَالُوا: لاَ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ. قَالَ: "فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، يَمْحُو اللَّهُ بِهَا الْخَطَايَا" "Bagaimana menurut kalian jika ada sebuah sungai di depan pintu salah seorang dari kalian, di mana ia mandi lima kali setiap hari, apakah masih ada kotoran yang tersisa padanya?" Mereka berkata, "Tidak akan tersisa kotoran sedikit pun." Nabi berkata, "Itulah perumpamaan dari shalat lima waktu, yang dengannya Allah menghapus dosa-dosa." (HR. Bukhari, no. 528)
Hadis ini memberikan pelajaran bahwa pintu taubat dan pengampunan selalu terbuka. Setiap Muslim didorong untuk senantiasa memperbaiki diri melalui shalat dan amal baik, serta untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah.
7. Sikap Sehat Terhadap Dosa dan Kesalahan
Hadis ini juga menunjukkan pentingnya memiliki sikap yang benar terhadap dosa dan kesalahan. Pengakuan yang dilakukan oleh lelaki tersebut dapat dianggap sebagai langkah pertama menuju penyelesaian, dan menunjukkan bahwa ia tidak menghindar dari tanggung jawab atas perbuatannya. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya introspeksi dan kesadaran diri. Allah SWT berfirman:
“إِنَّ اللّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ" "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra'd: 11)
Abdullah bin Umar RA pernah berkata, "Jika kamu melihat seorang hamba yang telah berbuat dosa, maka ingatlah bahwa dirinya sedang dalam ujian. Janganlah kamu mencela, tetapi berdoalah agar Allah memberinya petunjuk."
8. Pentingnya Nasihat dalam Islam
Dari sikap Nabi SAW dan Umar RA, kita juga belajar bahwa nasihat merupakan bagian integral dari kehidupan seorang Muslim. Menasihati dan mengingatkan satu sama lain tentang pentingnya bertaubat dan memperbaiki diri adalah tanggung jawab setiap Muslim. Nabi SAW bersabda:
“الدين النصيحة" "Agama itu adalah nasihat." (HR. Muslim, no. 55)
Al-Ghazali dalam kitabnya "Ihya Ulum al-Din" menyebutkan bahwa menasihati sesama adalah bentuk kasih sayang dan perhatian terhadap umat. Nasihat yang baik dapat membantu seseorang untuk kembali ke jalan yang benar.
9. Kesempatan untuk Memperbaiki Diri
Hadis ini juga menggarisbawahi konsep bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan mendapatkan pengampunan. Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni jika seseorang benar-benar bertaubat. Allah SWT berfirman:
“وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ" "Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung." (QS. An-Nur: 31)
Ibnu Abbas RA menyatakan bahwa "Bertaubat itu tidak hanya sekadar mengucapkan kata maaf, tetapi juga meninggalkan dosa dan bertekad untuk tidak kembali melakukannya."
10. Rahmat Allah yang Luas
Akhirnya, hadis ini menunjukkan sifat rahmat Allah yang luas, yang mencakup semua orang yang mau bertaubat. Allah SWT adalah Maha Pengampun, dan Dia menjanjikan ampunan bagi hamba-Nya yang ikhlas. Ini adalah dorongan bagi setiap Muslim untuk tidak merasa putus asa dan untuk selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah, terlepas dari dosa yang telah dilakukan. Allah berfirman:
“وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ" "Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu." (QS. Al-A'raf: 156)
Imam Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Allah berfirman: "Wahai anak Adam, selama engkau berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampunimu, meskipun dosamu sebanyak buih di lautan."
PENUTUP
Hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud RA memberikan kita pemahaman yang mendalam tentang sikap yang benar terhadap dosa, pentingnya taubat, peran ibadah dalam menghapus dosa, dan sifat rahmat Allah yang menyeluruh. Ini adalah panggilan bagi setiap Muslim untuk terus memperbaiki diri, menjaga kehormatan diri, serta saling menasihati dalam kebaikan. Allah SWT senantiasa memberikan kesempatan kepada hamba-Nya untuk kembali kepada-Nya, tidak peduli seberapa besar dosa yang telah dilakukan. Sehingga, dengan ibadah dan amal baik yang konsisten, setiap individu dapat berharap untuk mendapatkan pengampunan dan rahmat-Nya.
Dengan demikian, prinsip-prinsip yang terkandung dalam hadis ini bukan hanya menjadi panduan spiritual, tetapi juga menciptakan kerangka etika dalam berinteraksi dengan sesama dan dalam perjalanan pribadi menuju kesalehan.