Di setiap tanggal 2 Mei, masyarakat terutama instansi pemerintah, para pelajar, dan para mahasiswa memperingatinya sebagai hari pendidikan Nasional-sebuah titik dimana masyarakat merefleksikan arti dan makna pendidikan di dalam membangun sebuah peradaban.
Izinkan saya sedikit bercerita tentang kedisiplinan studi di Pondok modern Gontor Ponorogo. Dalam perjalanan pendidikan saya, ada kenangan yang tak pernah pudar—bukan karena ia manis, tetapi karena ia membentuk jiwa. Saya ingat masa-masa menimba ilmu di Pondok Modern Gontor Ponorogo. Sebuah lembaga yang bukan sekadar mengajar, tapi menanam nilai, membentuk jiwa, dan menempa watak.
Gontor adalah sekolah kehidupan. Di sana, disiplin bukan sekadar aturan, tapi nafas yang menyelimuti kehidupan. Moral bukan sekadar teori, tapi teladan yang hidup dalam tiap detik harian.
Di pondok ini, hampir tak ada santri yang bebas dari hukuman. Ada saja pelanggaran kita (kadang tidak disengaja). Jangan sekali-kali curang dalam ujian seperti membuka buku, menyontek dan sejenisnya, apalagi perkelahian. Hukumannya sangat berat. Funishment yang diterapkan bukan karena guru atau pondok kejam, tapi karena mereka mencintai kami dengan cara yang berbeda.
Saya sendiri pernah kena hukuman karena keceplosan berbahasa daerah. Di Gontor, hanya ada dua bahasa yang boleh diucapkan; Arab dan Inggris-sebuah disiplin bahasa yang bukan untuk gaya-gayaan, tapi untuk membentuk mental global dan rasa tanggung jawab.
Hukuman di Gontor bukan penghinaan, tapi pengingat. Bukan pelecehan, tapi pelatihan mental. Di sini saya belajar makna adversity quotient— kecerdasan untuk tetap tegak dalam tekanan, bangkit dalam keterbatasan.
Dari pengalaman yang saya lihat dan rasakan, saya mengerti, bahwa tak semua hukuman berarti kebencian, sebaliknya, di balik ketegasan itu ada cinta yang tak banyak bicara. Cinta yang ingin agar santri menjadi manusia utuh— yang kuat, santun, dan berani bertanggung jawab.
Dalam lanskap pendidikan masa kini, muncul anggapan yang menyederhanakan realitas: bahwa setiap hukuman guru terhadap murid otomatis dianggap sebagai pelanggaran, bukan bagian dari pendidikan.
Padahal, dalam kerangka pendidikan karakter, hukuman bukanlah musuh dari proses belajar. Justru dalam batas dan bentuk yang tepat, hukuman dapat menjadi alat pendidik untuk menanamkan nilai tanggung jawab, kedisiplinan, dan ketangguhan mental. Konsep ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai pembentukan adversity quotient (AQ)—yakni kemampuan individu untuk bertahan dan bangkit dalam menghadapi kesulitan.
Guru bukan hanya pengajar, tetapi pembentuk jiwa. Dalam konteks ini, hukuman yang mendidik bukan dimaksudkan sebagai ganjaran negatif, melainkan sebagai pemicu pertumbuhan. Misalnya, memberi tugas tambahan sebagai konsekuensi atas pelanggaran, atau mengajak siswa merefleksikan kesalahannya lewat diskusi bermakna. Ini adalah bentuk-bentuk hukuman edukatif yang justru menumbuhkan kesadaran dan ketangguhan.
Penelitian dari Paul G. Stoltz, pencetus konsep AQ, menunjukkan bahwa individu dengan adversity quotient tinggi cenderung lebih sukses, bukan karena mereka tidak pernah gagal, tetapi karena mereka tahu bagaimana bangkit, belajar dari kesalahan, dan menghadapi tekanan hidup. Pendidikan yang baik harus melatih ini sejak dini—dan hukuman yang mendidik adalah salah satu jalurnya.
Tentu, penting untuk membedakan antara hukuman yang membangun dan kekerasan yang merusak. Kekerasan menghancurkan rasa aman dan harga diri siswa. Tetapi hukuman yang tepat—dalam bingkai kasih sayang dan penjelasan pedagogis—membangun daya tahan, integritas, dan kesiapan menghadapi realitas kehidupan.
Maka, sebelum terlalu cepat menilai tindakan guru sebagai pelanggaran, kita perlu bertanya: apakah ini kekerasan, atau sebuah bentuk pendidikan karakter? Sebab mendidik bukan sekadar memberi tahu yang benar, tapi juga menanamkan keberanian untuk menghadapi konsekuensi dari pilihan.
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025
Sungguminasa, 2 Mei 2025
Barsihannor