Gambar DISENTIL KITAB AL-HIKAM

Setiap kali mengikuti kajian Al-Hikam, atau membaca sendiri Buku Al-Hikam, selalu saja aku merasa disentil-sentil. Habis-habisan. Kali ini tentang kepemilikan. Setiap ada kehilangan, aku masih mudah merasa kecewa dan bahkan putus asa. Tak jarang mengumpat meski hanya di hati. Sebuah gambaran ketidakikhlasan.

Sementara, ketika dosa kuperbuat, besar apalagi kecil, kumerasa biasa-biasa saja. Seolah tidak ada yang hilang. Padahal, saya berbuat dosa itu, adalah saat di mana sadar atau tidak, kita telah “menghilangkan” Tuhan dari diri kita. 

Sederhana logikanya, Kalau Dia ada di hati, kalau kita meyakini Dia melihat kita, tentu kita tak akan melakukan perbuatan yang dilarang Nya. Tapi kita, terutama aku, kerap seperti karyawan di kantor. Karena bos belum ada, asyik saja main game di komputer kantor sampai lupa ada pekerjaan yang harus diselesaikan, ada orang-orang yang antre menunggu berharap dilayani dengan baik. Orang-orang yang mungkin saja, juga hanya meninggalkan pekerjaannya sejenak demi untuk menyelesaikan urusannya Atau mengurus surat-surat yang dibutuhkannya, yang akhirnya mermakan waktu lama karena  kita seenaknya melayarniya. Baru kalau bos datang, kita pura-pura sibuk dengan pekerjaan dan bergegas melayani  orang-orang dengan wajah drama yang dimanis-maniskan. 

Dikaji Al-Hikarm, aku disentil oleh kalimat 

"Setiap hal yang hilang darimu akan ada gantinya,” Tetapi, “Jika Allah hilang darimu, takkan ada pengganti-Nya.”

Ibnu Atha'illah menjelaskan, sekaligus mengingatkan hal itu dengan kalimat: 

"Keinginanmu terhadap kekalnya sesuatu selain Allah menjadi bukti bahwa kau belum bertemu dengan-Nya. Kerisauanmu lantaran kehilangan sesuatu selain Allah, menjadi bukti bahwa kau belum sampai kepada-Nya.

Sungguh aku menaruh hormat kepada siapa pun yang tidak mengekalkan apa yang ada di tangannya, apalagi apa yang ada di impiannya. Dan, aku belum termasuk orang yang berada data golongan itu. 

Termasuk soal kalah-menang. Aku masih terjebak dalam urusan dunia yang paling standar: menang-kalah. '
(Kang Maman dalam Bukan Buku Agama)