Saat ini muncul berbagai istilah yang dikaitkan dengan digitalisasi atau proses perubahan bentuk analog ke bentuk digital melalui konversi data, media, atau format yang dapat diproses dan disimpan oleh perangkat digital (komputer). Seperti halnya digitalisasi pemerintahan, digitalisasi pendidikan, digitalisasi pemasaran, digitalisasi budaya, dan juga digitalisasi agama.
Frasa “digitalisasi agama” ini masih perlu didiskusikan apakah cocok digunakan atau tidak. Ataukah istilah yang lebih tepat adalah “digitalisasi beragama, digitalisasi ajaran agama, digitalisasi pendidikan agama, digitalisasi dakwah”, dan lain-lain.
Menurut Meta AI (2025), digitalisasi agama adalah proses penggunaan teknologi digital untuk mempromosikan, menyebarkan, dan mempraktikkan agama. Ini mencakup berbagai aspek seperti: konten keagamaan online (video, podcast, media sosial yang membahas konten keagamaan), komunitas online (forum, grup media sosial, untuk berinteraksi dan berbagi pengalaman keagamaan), aplikasi keagamaan (aplikasi mobile yang menyediakan konten, doa, dan aktivitas keagamaan), dan streaming keagamaan (siaran langsung atau rekaman khutbah, ceramah, dan lain-lain).
Menurut penulis (MAA) digitalisasi agama hanyalah transformasi konten atau pesan-pesan keagamaan dari format analog ke format digital yang dapat diproses, disimpan, atau ditransmisikan melalui jaringan dan aplikasi komputer. Dengan demikian teks-teks dan ajaran agama yang biasa kita baca di kitab-kitab, buku-buku, atau catatan di kertas, kini dapat dibaca di laptop, tablet, atau smartphone.
Agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah pergaulan antar sesama manusia maupun dengan lingkungannya. Men-digital-kan ajaran agama yang tertulis dalam Al-Quran, hadis, kitab-kitab fiqhi, kitab-kitab ulama, dan buku-buku pelajaran ke dalam format digital, tentu saja telah dilakukan dengan adanya Al-Quran digital, hadis digital, kitab-kitab fiqhi, kitab-kitab ulama, dan buku-buku pelajaran agama yang dikemas dalam suatu aplikasi atau format digital seperti pdf.
Namun agama sebagai sebuah cara berpikir, keyakinan, amalan-amalan, tarikat, hakikat, makrifat, sirr (rahasia) yang tersimpan dalam jiwa, hati, dan ruh manusia, tidak dapat di-digitalisasi-kan.
Agama sebagai way of life atau jalan kehidupan adalah segala tuntunan agama (Islam) yang harus diyakini, diucapkan dan dipraktekkan oleh manusia itu sendiri, seperti halnya shalat, puasa, berdzikir, yang tidak bisa digantikan oleh mesin (aplikasi digital) atau robot. Kita tidak dapat membeli robot untuk menggantikan kita shalat, berpuasa, dan berdzikir. Ketika manusia diciptakan sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi maka manusia itu memikul tanggung jawab untuk melaksanakan segala tugas kehambaan dan kekhalifahan nya selama hidup di dunia.
Teknologi yang dihasilkan oleh kecerdasan pikiran manusia tidak menggantikan fungsi dan kedudukan manusia sebagai hamba dan khalifah karena setiap perbuatan manusia akan bernilai amal atau dosa yang akan dipertanggung jawabkan kelak di hadapan Allah, sedangkan teknologi hanyalah alat bantu (tools) yang memudahkan manusia menjalani rutinitas hidupnya, mengatasi berbagai permasalahan, dan mencapai misi hidupnya secara efektif, efisien, produktif.
Perangkat-perangkat teknologi digital diciptakan bukan untuk menggantikan kita shalat, berpuasa, pergi haji, berdzikir, bershalawat, membaca quran, dan lain-lain, yang menjadi tugas dan misi hidup kita di atas dunia ini. Digitalisasi agama hanya dilakukan untuk mentransformasi teks-teks ajaran agama dari analog ke format digital sebagai media pembelajaran, dakwah, atau untuk membangun interaksi dan komunitas keagamaan. Sedangkan ritual agama (pelaksanaan ibadah) tidak dapat di-digitalisasi karena agama itu harus diaplikasikan dalam pikiran, ucapan, dan perilaku kita sehari-hari selama hidup di dunia ini. Wallahu a’lam....*