I. Pendahuluan
Dalam konstelasi masyarakat modern yang multikultural, interaksi antarumat beragama menjadi sebuah keniscayaan sosiologis. Natal sering kali memicu perdebatan mengenai batas-batas interaksi: sejauh mana seorang Muslim dapat membangun kebersamaan dan kapan ia harus menghindar. Fikih kontemporer hadir untuk memberikan jalan tengah (Wasathiyah) agar integritas iman tetap terjaga tanpa mengorbankan kohesi sosial. Dalam perspektif fikih dan sosiologi, upacara Natal memiliki dimensi ganda yang harus dipisahkan secara jernih menggunakan "Kompas Inkuiri":
Dimensi Ibadah (Ritualistik): Ini mencakup kegiatan yang dilakukan di dalam tempat ibadah (Gereja), seperti Misa atau kebaktian, doa-doa teologis, dan sakramen. Dalam pandangan Islam, ini bersifat eksklusif bagi pemeluknya karena berkaitan dengan akidah dan syariat agama tersebut.
Dimensi Sosial (Kemanusiaan): Ini mencakup perayaan yang bersifat seremonial di luar ritual inti, seperti acara ramah tamah, makan bersama, pembagian bingkisan, atau perayaan bertema kebangsaan/kekeluargaan. Dimensi ini lebih bersifat inklusif karena berfokus pada Kebersamaan dan penguatan relasi sosial.
Esai ini berargumen bahwa sikap menghindar yang didasarkan pada agama harus diletakkan pada ranah teologis-ritual, sementara kebersamaan harus dioptimalkan pada ranah kemanusiaan-sosial
Alat AksesVisi