Gambar Di Balik Jas Praktik


Namanya Annisa. Usianya baru 22 tahun, dan ia baru saja lulus sebagai bidan dari salah satu lembaga pendidikan ternama di Sulawesi. Sejak wisuda, ia membayangkan dunia kerja yang gemilang: memakai jas praktik putih bersih, disapa "Bu Bidan" dengan hormat, dan bekerja di rumah sakit modern dengan fasilitas lengkap.


Namun kenyataan tak seindah brosur kampus.


Bulan demi bulan berlalu. Ia mengirim lamaran ke berbagai tempat—rumah sakit, puskesmas, klinik bersalin. Namun tak ada yang benar-benar membutuhkan bidan baru. Yang tersisa hanyalah tawaran kerja di sebuah klinik kecil: tanpa gaji tetap, tanpa seragam resmi, dan sebagian besar tugasnya adalah membersihkan ruang bersalin serta mencuci peralatan medis.


Annisa menolaknya dengan tegas.

"Ini bukan levelku," gumamnya dalam hati. "Aku lulusan kebidanan. Masa pekerjaanku hanya menyapu dan mencuci?"



Ibunya mulai gelisah. Uang kuliah Annisa dulu berasal dari hasil jualan kue keliling kampung. Kini, bahkan untuk belanja dapur sehari-hari pun harus berutang kepada tetangga.


"Nak, tidak malukah kamu makan dari hasil keringat ibu, sementara kamu hanya rebahan di rumah?" tanya sang ibu suatu malam dengan nada lelah.


Annisa terdiam. Namun gengsinya terlalu tinggi untuk mengakui kesalahan. Ia lebih memilih menganggur daripada melakukan pekerjaan yang menurutnya "tidak sepadan dengan gelar D3 Kebidanan."


---


Suatu sore, ketika Annisa melewati pasar tradisional, ia melihat seorang perempuan mengenakan celemek hijau bertuliskan "Jus Sehat Ibu & Janin" sedang melayani pelanggan dari gerobak jus herbal sederhana. Wajah itu terlihat familiar.


"Ayu?" gumam Annisa sambil mendekat dengan ragu.


Benar saja. Itu adalah teman sekelasnya semasa kuliah. Kini ia berjualan jus sehat di pinggir jalan. Namun anehnya, wajah Ayu tampak jauh lebih cerah dan berseri dibandingkan siapa pun yang Annisa kenal.


"Aku menggunakan ilmu kebidanan kita, Nisa," jawab Ayu dengan senyum tulus. "Aku meneliti bahan-bahan alami yang aman untuk ibu hamil dan menyusui. Sekaligus, aku memberikan edukasi kepada pelanggan tentang pola makan sehat, pencegahan anemia, dan pentingnya ASI eksklusif. Ilmu yang kita pelajari tidak sia-sia."


Annisa menunduk dalam. Jantungnya serasa dipukul realitas yang keras. Ternyata Ayu tidak sedang "turun level"—justru ia telah naik ke derajat tertinggi sebagai bidan yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.


Malam itu, Annisa menangis dalam pelukan ibunya. Ia akhirnya menyadari bahwa yang membelenggunya selama ini bukanlah keadaan yang sulit, melainkan gengsi yang membabi buta.


Keesokan harinya, dengan langkah mantap, ia kembali ke klinik yang dulu ia tolak.


"Bu Laila," ucapnya pada pemilik klinik dengan suara bergetar, "kalau tawaran pekerjaannya masih tersedia, saya siap memulai dari mana pun. Bahkan jika harus dimulai dari menyapu lantai."


Bu Laila mengangguk dengan senyum hangat. "Selamat datang, Bidan Annisa."


Sejak saat itu, hidup Annisa berubah total. Ia bekerja dari pagi hingga siang di klinik, dan sore harinya membantu Ayu berjualan jus sehat. Dari gerobak sederhana itu, mereka mulai membuat konten edukasi di media sosial—membahas kesehatan ibu hamil, membongkar mitos-mitos kehamilan, menjelaskan tanda-tanda persalinan, dan mengedukasi pentingnya ASI eksklusif.


Ribuan followers mulai mengikuti akun mereka. Banyak ibu muda merasa terbantu dan tercerahkan oleh informasi yang mereka bagikan. Bidan Annisa bersama teman-temannya semakin gencar membentuk generasi yang berkualitas melalui perbaikan gizi ibu hamil dan membantu pemerintah dalam upaya pencegahan stunting.


Masya Allah, betapa mulianya perjuangan ini.


Setahun kemudian, Annisa tidak hanya memiliki penghasilan tetap, tetapi juga berhasil membuka klinik kecil di sudut kota. Di dinding ruang tunggu, ia menempelkan kutipan yang telah mengubah jalan hidupnya:


> "Yang mengerikan dari pendidikan adalah jebakan gelar. Gengsi yang pelan-pelan membunuh diri sendiri."  

> — Boy Candra


Annisa tersenyum penuh syukur. Kini ia memahami bahwa jas praktik itu bukan sekadar soal pakaian material—tetapi tentang dedikasi dan pengabdian. Menjadi manusia yang benar-benar bermanfaat bagi sesama.


Dan gelar bukanlah untuk disombongkan, melainkan untuk digunakan membantu orang lain, di mana pun berada, dan dengan cara apa pun yang memungkinkan.


---


Catatan untuk Generasi Muda


Jika kamu sedang menunggu panggilan kerja, jangan biarkan gengsi membungkam potensimu. Mental yang tangguh dan tahan banting adalah kunci utama kesuksesan. Ketika tidak ada tempat yang membukakan pintu untukmu, ciptakanlah pintumu sendiri.


Kita bisa berkarya melalui konten edukatif, usaha herbal, gerakan sosial, bahkan dari balik gerobak sederhana sekalipun. Selama niat kita lurus dan hati kita tulus, kita tetap bisa menjadi penolong bagi sesama.


Karena sesungguhnya, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.


---


Jika Anda merasa tulisan ini bermanfaat dan peduli dengan generasi bangsa, silakan berbagi kepada orang-orang terdekat. Semoga dapat menginspirasi banyak jiwa muda untuk tidak menyerah pada keadaan dan tetap berkarya dengan hati yang tulus.