Di saat dusta menjelma jadi hiasan, dan lidah penguasa mudah mengingkari kenyataan, masih ada nama-nama yang bersinar di atas titian kejujuran yang tak pernah pudar.
Mandela, dari sel sempit menuju singgasana, tak pernah menjual luka bangsanya demi tepuk tangan dunia. Ia memilih berkata jujur—meski pahit- agar rakyatnya sembuh, bukan sekadar diam dan pulih.
Lincoln, yang diabadikan sebagai “Honest Abe”, berani menyatakan: perbudakan adalah noda sejarah kita! Meski peluru mengakhiri hidupnya, kejujurannya telah menyatukan negeri yang hampir terbelah dua.
Natsir, pemimpin tanpa kemewahan, menyimpan kejujuran dalam lembar-lembar pidato dan kehidupan. Tak memburu kursi kekuasaan, karena baginya, integritas lebih tinggi dari jabatan.
Merkel, wanita baja dari Jerman, tak menari di panggung pencitraan, tapi berjalan tegap dengan kata-kata yang apa adanya. Bersama kejujurannya, ia bawa bangsanya melewati krisis zaman.
Dan Umar, Amirul Mukminin yang pernah digugat soal sehelai kain. Tak marah, tak gusar, hanya menjelaskan, dan kembali pada rakyat dengan lapang dada. Karena baginya, keadilan tak boleh cacat, dan pemimpin harus bersih, bahkan dari prasangka.
Merekalah saksi, bahwa jujur bukan kelemahan, tapi cahaya yang tak bisa dipadamkan. Dalam sunyi sejarah yang panjang, nama mereka tetap dikenang— bukan karena kuasa, tapi karena kebenaran yang mereka pertahankan.
Wasalam, Kompleks GPM, 29 April 2025