Oleh H. A. Qadir Gassing (Rektor UIN Alauddin Makassar)
Khutbah disampaikan pada ‘Iedul-Adha 1432 H / 2011 M di Masjid Istiqlal Jakarta, Ahad 10 Dzulhijjah/06 Nopember 2011
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ 3x)) لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ وَللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّهِ الْحَمْدُ .
اَلْحَمْدُ لِلّهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ نَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالىَ عَلَي اَنْ جَعَلَ الْخَلِيْلَ إِبْرَاهِيْمَ إِمَامًا لَنَا وَلِسَائِرِ اْلبَشَرِ. أَشْهَدُ أَنْ لَااِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمَلِكُ الْجَبَّارُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اْلمبْعُوْثُ لِلنَّاسِ لِيُنْقِذَهُمْ مِنْ كَيْدِ الشَّيْطَانِ وَيُنْجِيَهُمْ مِنْ عَذَابِ النَّارِ . اَلَّلهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ اْلُمخْتَارِ وَعَلَي اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ اْلَاخْيَارِ. أَمَّابَعْدُ . فَيَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَاتَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
اَللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ. اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَاْلحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ وَلَانَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ اْلُمشْرِكُوْنَ لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ وَللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّهِ الْحَمْدُ .
Pada hari ini tanggal 10 Zul-Hijjah 1432 H. seluruh umat Islam di dunia merayakan Hari Raya Qurban atau Hari Raya Iedul Adha. Term أَضْحَي atau أَضْحِيَةٌ seakar dengan kata ضَحَي yang pada asalnya berarti “waktu dhuha”, yaitu waktu antara pukul tujuh pagi sampai pukul sebelas siang. Kemudian dijadikan sebagai nama bagi sembelihan qurban, yang pelaksanaannya dianjurkan pada waktu dhuha di hari ke 10, 11, 12, dan 13 bulan Zul-Hijjah.
Bagi umat Islam yang mampu, disyari’atkan berqurban, yaitu menyembelih hewan qurban berupa sapi atau kambing. Seekor sapi bisa untuk tujuh orang, sedang seekor kambing untuk satu orang. Begitu pentingnya ibadah qurban ini, tergambar pada sabda Nabi SAW dalam salah satu hadisnya:
مَنْ وَجَدَ سَعَةً لأَنْ يُضَحِّىَ فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَحْضُرْ مُصَلاَّنَا
ِArtinya: Barangsiapa mempunyai keluasan, sehingga mampu berqurban, tetapi tidak mau berqurban, maka janganlah ia mendatangi tempat kami bersembahyang (H.R. Ahmad dan Ibn Majah).
Daging qurban lazimnya dibagi tiga, satu bagian untuk faqir miskin, satu bagian untuk dihadiahkan, dan satu bagian lagi untuk yang berqurban; kecuali untuk qurban nadzar, maka semua daging hewan qurbannya diberikan kepada faqir miskin, dan terlarang bagi yang berqurban untuk memakannya (Al-Muhalla VII: 384).
Dalam rangka dakwah, maka daging qurban dapat diberikan atau dihadiahkan kepada orang mampu, yang karena sesuatu hal belum tertarik berqurban. Siapa tahu dengan hadiah itu akan membuka pintu hatinya untuk berqurban pada tahun yang akan datang. Daging qurban juga dapat diberikan atau dihadiahkan kepada orang non-Muslim, terutama tetangga; kecuali Imam Malik yang memandang makruh hukumnya memberikan daging qurban kepada non-Muslim.
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّهِ الْحَمْدُ
Pada Hari Raya ini pula dilaksanakan salah satu ibadah utama dan rukun Islam yang kelima yaitu ibadah haji, bagi mereka yang mampu. Dalam al-Qur’an disebutkan :
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
Artinya: Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah (Q.S. Ali Imran: 97).
Kata اِسْتَطَاعَ artinya sanggup atau mampu. Maksudnya mampu biaya, mampu fisik, dan mampu mental. Apakah ukuran mampu itu? Para sahabat Nabi SAW menyebutkan dua hal, yaitu ada bekal dan kendaraan. Tetapi al-Dhahhak, ulama besar yang pernah berguru kepada sahabat, hanya mensyaratkan tubuh yang sehat dan tenaga. Bila perlu, kata al-Dhahhak, berangkatlah ke Baytullah walaupun berjalan kaki.
Apakah mereka termasuk kategori orang-orang yang mampu? Tentu saja. Anda sudah mampu bila anda dapat sampai ke Tanah Suci dengan cara apa saja yang halal.
Pertanyaan berikutnya, manakah yang mabrur? Yang mempersiapkan bekal atau yang diberi bekal? Yang berjalan kaki atau yang berkendaraan? Yang mendapat ratusan juta dari pembebasan tanah atau yang menabung puluhan tahun? Yang memanfaatkan peluang sebagai TKI/TKW di Arab Saudi atau yang datang ke sana dengan penerbangan regular dari manca negara? Yang tinggal di hotel Grand Zam Zam yang megah atau yang berdesakan di kamar rumah-rumah sederhana di Syi’ib Ali?
Mabrurnya haji tidak diukur dari cara memperoleh bekal. Tidak juga dari tempat tinggal atau dari tingkat kepayahannya dalam melaksanakan haji. Haji adalah perjalanan rohani dari rumah-rumah yang selama ini mengungkung mereka menuju Rumah Tuhan. Haji yang mabrur adalah haji yang berhasil mencampakkan sifat-sifat hewaniah dan menyerap sifat-sifat rabbaniyah (ketuhanan). Jadi, zikir saja tidak cukup untuk mabrur. Diperlukan transformasi spiritual.
Kepada al-Syibli yang baru kembali dari menunaikan ibadah haji, Zainal Abidin – sufi besar dari keluarga Nabi SAW – bertanya kepadanya, “ketika engkau sampai di miqat dan menanggalkan pakaian berjahit, apakah engkau berniat menanggalkan juga pakaian kemaksiatan dan mulai mengenakan busana ketaatan? Apakah juga engkau tanggalkan riya’ (suka pamer), kemunafikan, dan syubhat?
Ketika engkau berihram, apakah engkau bertekad mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan oleh Allah? Ketika engkau menuju Makkah, apakah engkau berniat untuk berjalan menuju Allah? Ketika engkau memasuki Masjidil Haram, apakah engkau berniat untuk menghormati hak-hak orang lain dan tidak akan menggunjingkan sesama umat Islam? Ketika engkau sa’i, apakah engkau merasa sedang lari menuju Tuhan di antara cemas dan harap? Ketika engkau wukuf di Arafah, adakah engkau merasakan bahwa Allah mengetahui segala kejahatan yang kau sembunyikan dalam hatimu? Ketika engkau berangkat ke Mina, apakah engkau bertekad untuk tidak mengganggu orang lain dengan lidahmu, tanganmu dan hatimu? Dan ketika engkau melempar jumrah, apakah engkau berniat memerangi iblis selama sisa hidupmu?
Ketika untuk semua pertanyaan itu al-Syibli menjawab ‘tidak’, Zainal Abidin mengeluh, “Ah…, engkau belum ke miqat, belum ihram, belum thawaf, belum sa’i, belum wuquf, dan belum sampai ke Mina.” Al-Syibli menangis. Pada tahun berikutnya dia berniat merevisi (manasik) hajinya.
Dalam manasik keluarga Nabi SAW., yang menjadi persoalan bukan lagi kemampuan untuk mendapatkan bekal dan kendaraan, tetapi kesanggupan meninggalkan rumah-rumah kita yang kotor supaya beristirahat di Rumah Allah yang suci. Bila berhasil, berarti anda mabrur.
Beberapa persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia, kini dan di masa depan, terutama sekali yang terkait dengan penegakan moral bangsa, perlu mendapat refleksi sebagai berikut :
Pertama, penegakan hukum dalam pemberantasan KKN
Salah satu agenda reformasi yang masih terus harus diberantas hingga hari ini adalah KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
Persoalan Korupsi
Ketika beberapa orang sahabat, yang sebelumnya ditugasi oleh Rasulullah SAW memungut zakat di suatu daerah, pulang dari melakukan tugas, mereka selain membawa zakat, juga membawa harta benda yang diberikan oleh penduduk setempat sebagai hadiah. Ketika hadiah ini dilaporkan kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda (dalam bentuk bertanya) : apakah kalau kamu datang ke sana tidak dalam posisi sebagai pemungut zakat (pejabat), kamu akan diberikan hadiah seperti ini? Jawab mereka : tidak, ya Rasulullah. Kalau begitu ini adalah pemberian yang terkait dengan jabatanmu. Kemudian Rasulullah memerintahkan agar hadiah itu dikumpulkan dan dimasukkan ke Bait al-Mal (Kas Negara).
Dari kissah ini terlihat bahwa hadiah yang terkait dengan jabatan tidak diperkenankan dalam Islam. Pertimbangan moralnya, antara lain, karena hadiah itu diduga kuat dapat mempengaruhi sang pejabat dalam mengambil kebijakan atau dalam memberikan proteksi.
Dalam kisah lain disebutkan, bahwa Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah Bani Umayyah, pada suatu (malam) hari beliau duduk di kamar kerjanya mempelajari setumpuk dokumen negara. Saking seriusnya, beliau tidak merasa bahwa isterinya (Fatimah) sudah berada di dekatnya kemudian menyapanya : Yang Mulia, maukah anda memberikan waktu untukku barang sejenak? Saya ingin merundingkan masalah pribadi dengan anda. Tentu, jawab Khalifah sambil berpaling menghadap ke isterinya. Tapi tolong matikan lampu itu, yang milik negara, dan nyalakan lampu anda sendiri. Aku tidak mau memakai minyak negara untuk membicarakan masalah pribadi.
Kisah teladan ini dapat menjadi cermin koreksi bagi kita semua, terutama yang sesekali menggunakan ‘minyak negara’ untuk kepentingan pribadi.
Persoalan Kolusi
Pada masa Rasulullah, ada seorang perempuan dari suku Mahzum mencuri sebuah perhiasan, lalu dilaporkan kepada Rasulullah, dan diakuinya kesalahannya. Kaumnya khawatir kalau-kalau Beliau SAW akan melaksanakan tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku mengenai pencurian itu dan menyebabkan mereka pasti malu, sebab rahasia akan terbuka. Lalu orang-orang suku Mahzum ini mendatangi Usamah bin Zaid, yang terkenal sangat dekat dan sangat dicintai oleh Rasulullah. Usamah diminta untuk menghadap Rasulullah guna merundingkan pembebasan perempuan terpidana itu. Ketika Usamah memberitahu Rasulullah akan hal itu, Rasulullah terlihat marah dan bersabda : apakah engkau hendak menolong orang-orang supaya aku tidak melaksanakan suatu ketentuan hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah? Lalu beliau SAW mengumpulkan orang banyak kemudian berseru :
فَإِنَّمَا أَهْلَكَ النَّاسَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ ، وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا (متفق عليه)
Sesungguhnya yang menyebabkan orang-orang dahulu sebelum kamu itu menjadi rusak ialah karena jika yang mencuri orang terhormat (misalnya pejabat atau keluarganya), maka dibiarkan saja. Tidak dihukum apa-apa. Tetapi jika yang mencuri itu adalah orang yang lemah (rakyat biasa), mereka menetapkan hukuman itu sebenar-benarnya. Demi Allah, seandainya Fatimah puteri Muhammad mencuri, pasti akan kupotonglah tangannya (H. R. Bukhari Muslim).
Dari hadis dan asbab al-wurud-nya (latarbelakang muncul atau keluarnya sebuah hadis) ini dapat difahami, bahwa Islam tidak mengenal pilih kasih dalam penegakan hukum.
Penegakan hukum tak pilih kasih ini dipraktekkan oleh khalifah Umar. Ketika Abdurrahman bin Umar (anak khalifah Umar) bersama kawannya (Abu Suru’ah) melanggar hukum, yaitu minum khamar dan mabuk di suatu malam yang dingin, mereka datang kepada Gubernur Mesir, Amr bin Ash, mengaku bersalah dan minta dihukum sesuai peraturan yang berlaku. Karena yang bersalah anak khalifah, awalnya Gubernur enggan, tetapi setelah didesak oleh si yang bersalah sendiri, maka sang gubernur memanggil algojo, memintanya melaksanakan hukum cambuk secara sembunyi-sembunyi (padahal mestinya di muka umum) dan kualitas hukumannya dikurangi. Abdurrahman bin Umar sendiri merasa kurang puas dengan hukuman itu. Lalu ia menambahi sendiri hukumannya dengan mencukur habis rambutnya. Ketika peristiwa memalukan itu diketahui oleh khalifah Umar, ia marah dan mencak-mencak di Madinah. Ia segera mengirim surat (teguran) keras ke Gubernur Mesir. Surat itu diawali dengan kalimat: ”Wahai biang maksiat...” Selanjutnya: ”Engkau telah mengecualikan hukuman atas anakku dengan berbagai keistimewaan dan keringanan. Tindakan itu dapat menjatuhkan kedudukanmu. Kirimkan segera Abdurrahman dan kawannya itu ke Madinah, dan sepanjang perjalanan dari Mesir, Abdurrahman harus selalu membungkuk, tidak boleh mengangkat kepalanya, sebab ia anak khalifah. Adapun Abu Suru’ah tidak usah begitu karena ia rakyat biasa.” (sampai di Madinah, mereka dihukum cambuk lagi).
Membaca surat khalifah, sang gubernur tidak berani melanggar lagi. Ia sebenarnya kasihan melihat kejujuran Abdurrahman. Selaku putra khalifah, Abdurrahman telah mengadukan perbuatan aibnya sendiri dan meminta hukuman sebagaimana layaknya warga masyarakat lainnya. Kalaupun ia diperlakukan agak berbeda, sama sekali bukan karena permohonannya, melainkan semata-mata atas kebijakan sang Gubernur yang terpanggil untuk melindungi kehormatan keluarga khalifah. Tetapi terbukti kebijakan itu dinilai khalifah Umar sebagai penyelewengan dari jabatannya, dan ia dituduh telah melanggar amanat negara, yaitu mengenyampingkan asas keadilan tanpa pandang bulu. Khalifah menilai, bahwa hukum telah disalahgunakan menurut kepentingan dan keinginan pribadi. Benih kebobrokan macam begini tidak boleh dibiarkan berkembang subur, lantaran akibatnya, wibawa pejabat negara akan runtuh, wewenang hukum akan diragukan, dan kepercayaan rakyat kepada pemerintahnya bakal luntur. Jadi, bapak Kepala Negara, Gubernur, Bupati, dan seluruh pejabat yang terhormat, berantaslah korupsi dan penyelewengan, rakyat insya Allah mendukungmu. Catatannya cuma satu, mulailah dari rumah dan pekarangan sendiri.
Kedua, konsep ukhuwah untuk persaudaraan bangsa
Selama ini, yang sering diajarkan dan ditonjolkan di forum-forum dakwah hanya ukhuwah islamiyah. Padahal selain ukhuwah Islamiyah, juga ada ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah. Ukhuwah Islamiah, adalah persaudaraan seiman sekeyakinan, sama sama muslim, dipersaudarakan oleh ikatan agama Islam. Ukhuwah wathaniyah adalah persaudaraan sebangsa setanah air. Kita bersaudara karena kita sama-sama bangsa Indonesia, walupun berasal dari budaya yang berbeda-beda, bahasa yang berbeda, agama yang berbeda, tetapi karena kita satu bangsa yaitu bangsa Indonesia, maka kita bersaudara, saudara sebangsa namanya. Inilah ukhuwah wathaniyah. Ketiga, ukhuwah basyariah atau ukhuwah insaniah. Persaudaraan karena sama-sama manusia. Jadi manusia secara keseluruhan bersaudara, sebagai anak cucu Adam dan Hawwa, bangsa apapun dia, di manapun dia tinggal. Ukhuwah bentuk ketiga inilah yang mempersaudarakan antara orang Amerika dengan orang Indonesia, antara orang Makassar-Indonesia dengan orang Arab dan seterusnya.
Itulah sebabnya, kalau ada tamu dari luar negeri, dari negara manapun asalnya, harus disambut dan dihormati, dimuliakan dan ditempatkan sesuai posisinya. Ajaran فليكرم ضيفه”fal-yukrim dhayfah” (muliakanlah tamu) adalah salah satu dari ciri keimanan seorang muslim.
Agama Islam melarang umatnya mencela penganut agama lain atau mencaci maki keyakinan mereka. Sebab kalau umat Islam mencaci maki mereka, nanti pun mereka akan mencaci maki Allah SWT dengan penuh kebencian dan tanpa ilmu pengetahuan. Kita harus bisa saling menghargai, harus bisa saling berdialog. Tetapi perlu diingat, ada yang namanya perbedaan ada pula yang namanya penodaan. Ingat dulu, saat Musailamah al-Kadzdzab mengaku sebagai nabi, Nabi Muhammad SAW mengancam akan memeranginya. Berlanjut ketika di zaman Abu Bakar al-Shiddiq, yang bahkan sampai mengirim pasukan untuk memerangi mereka. Itu bukan karena Nabi SAW atau Abu Bakar r.a. tidak bisa menghargai perbedaan. Sebab itu bukan perbedaan, itu adalah penodaan.
Ketiga, berbagi itu nikmat
Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menyebutkan angka kelaparan di dunia mencapai lebih dari 1 milyar orang dari total penduduk dunia saat ini yang mencapai 7 milyar. Artinya, terdapat 1 orang yang mengalami kelaparan di antara 7 orang. Laporan itu bahkan menyebutkan 65% dari jumlah orang lapar di dunia berada di 7 negara, salah satunya Indonesia (Harian Republika, 14-10-2011).
Rasulullah SAW bersabda: tidaklah beriman seseorang bila ia dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan. Dalam riwayat lain, beliau juga bersabda: bila engkau memasak maka perbanyaklah kuahnya, kemudian engkau bagikan kepada tetanggamu. Dari hadis yang mulia ini mengandung pesan keharusan ”berbagi kuah” kepada tetangga. Jangan-jangan memang ada tetangga kita yang kelaparan sementara kita tidur lelap karena kekenyangan. Hadis ini sesungguhnya bukan hanya menjadi dasar etika kehidupan bertetangga, tetapi juga berbicara tentang pentingnya kebersamaan, kepedulian, dan kesetiakawanan sosial. Dalam konteks yang lebih luas, konsep ’berbagi kuah kepada tetangga’ ini dapat digunakan dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan menghilangkan kelaparan.
Ulama besar Ibn Hazm menegaskan, bahwa apabila seorang warga suatu kampung mati kelaparan (misalnya, karena tidak ada yang peduli untuk memberikan makanan), maka diambil diyat-nya (denda) dari penduduk satu kampung itu, karena mereka dapat dipandang sebagai penyebab (tidak langsung) dari kematiannya.
Bahkan seorang ulama/pemikir muslim, Afzalurrahman, berpendapat bahwa dalam keadaan negara sangat membutuhkan, Penguasa (Kepala Negara) bisa meminta sepertiga dari harta orang kaya (konglomerat) untuk menanggulangi keadaan kritis negara. Bila orang kayanya enggan memberikan hartanya secara sukarela, penguasa bisa mengambilnya secara paksa.
Keempat, perikemakhlukan, cara etis menyelamatkan lingkungan
Ada satu konsep dalam pengelolaan lingkungan, namanya perikemakhlukan, yaitu pandangan yang menempatkan seluruh makhluk Tuhan, selain manusia, pada tataran persamaan, yaitu sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Konsekuensinya, kita harus menghargai binatang, tumbuhan dan alam lingkungan lainnya. Ada kewajiban agama untuk menempatkan mereka pada posisi terhormat. Ada kewajiban muslim untuk berakhlak yang baik kepada fauna, flora, dan kepada alam lingkungan secara keseluruhan.
Dari media kita membaca, betapa kerusakan hutan di Indonesia sangat besar, tanpa diimbangi dengan upaya penanaman kembali secara seimbang. Kalau ini terus berlangsung, maka hutan kita akan habis.
Dengan prinsip perikemakhlukan, Islam memerintahkan untuk berbuat al-adl dan al-ihsan, bukan hanya kepada manusia tetapi juga kepada alam lingkungan. Jika kamu menebang satu pohon kemudian menanam satu pohon, itu baru adil (al-adl). Kalau menebang satu menanam dua atau lebih, itu ihsan namanya. Jadi, kita dituntut tidak hanya berbuat adil, tetapi harus berlaku ihsan kepada lingkungan. Kepada pemegang HPH, saya menghimbau: menebang 100, tanamlah 200 disertai upaya pemeliharaannya sampai tumbuh sebesar yang anda tebang.
Konsep perikemakhlukan ini pulalah yang mengharuskan seorang muslim untuk menghargai tanaman dan pepohonan, dan menjanjikan pahala sedekah bagi siapa yang menanam tanaman/pohon. Rasulullah SAW bersabda (artinya): tiadalah seseorang dari kalangan orang Islam yang menanam tanaman, kecuali dia mendapat pahala sedekah atas hasil tanaman yang telah dimakannya. Apa yang telah dicuri (oleh orang) dari tanaman itu, maka dia (si penanam) mendapat pahala sedekah. Apa yang dimakan oleh binatang buas dari tanaman itu, maka dia (si penanam) juga mendapat pahala sedekah, dan apa yang dimakan oleh burung dari tanaman itu, maka dia (si penanam) mendapat pahala sedekah. Dan tidaklah seseorang dapat mengambilnya, terkecuali bahwa si penanam tetap mendapat pahala sedekah (H. R. Muslim, dari Jabir).
Begitu pentingnya kegiatan menanam tanaman/pohon dalam Islam, sehingga Nabi SAW bersabda (artinya): sekiranya kiamat datang, sedang di tanganmu ada anak pohon kurma, maka jika dapat (terjadi) untuk tidak berlangsung kiamat itu sehingga selesai menanam tanaman, maka hendaklah dikerjakan (pekerjaan menanam itu) (H. R. Ahmad, dari Anas bin Malik).
Seandainya pun kita tahu bahwa besok mau kiamat, Islam masih mewajibkan untuk menanam anak pohon yang ada di tangan, pada hal anak pohon itu tanaman jangka panjang, lama baru berbuah, butuh waktu untuk dipetik hasilnya. Pesan moralnya adalah bahwa kerja keras tidak boleh putus, usaha sungguh-sungguh tidak boleh berhenti, yang bisa menghentikan hanya maut.
Prinsip perikemakhlukan inilah pulalah yang mengharuskan seorang muslim untuk memberi nafkah kepada hewan yang digunakan jasanya (HR. Bukhari); memberi perlindungan dan nafkah kepada hewan yang terlantar (HR. abu Daud); kewajiban menyelamatkan hewan yang dalam keadaan bahaya (HR. Abu Daud); menolong binatang adalah sedekah (HR. bukhari Muslim); kewajiban mengayomi binatang (HR. Abu Daud); larangan mengusik ketenangan binatang (HR. Abu Daud); larangan menyiksa binatang (HR. Muslim), larangan mengurung binatang tanpa memberinya makanan (HR. Muslim); larangan membunuh binatang dengan cara menganiaya (Muslim); memperlakukan binatang secara baik dalam menghadapi kematiannya (Muslim); menghargai hak-hak binatang (Nasa’i), dan banyak lagi. Hadis-hadis menegaskan, bahwa hak-hak (asasi) binatang pun harus dilindungi.
Itulah sebabnya dalam sebuah hadis, seorang perempuan diancam dengan neraka karena lalai/tidak memberi makan kucing yang dipeliharanya sehingga kucingnya mati. Sebaliknya, dijanji surga bagi seorang perempuan pezina yang menolong memberi minum anjing yang kehausan di tengah gurun sahara.
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلّهِ الْحَمْد
Kelima, pengembangan karakter bangsa
Ada pemikiran yang paradoks, karena ternyata yang terlibat korupsi, menurut media, adalah orang-orang terpelajar dan menduduki jabatan terhormat, katakanlah anggota DPR, birokrat, dan bahkan penegak hukum. Mereka pastilah keluaran sekolah mulai dari pendidikan dasar menengah sampai ke perguruan tinggi. Pertanyaannya, mengapa orang terpelajar dan terhormat ini yang melanggar hukum?
Mungkin inilah, antara lain, yang menjadi latar belakang kebijakan nasional ’Pembangunan Karakter Bangsa’. Pendidikan karakter ini dimaksudkan untuk mengembangkan potensi bangsa agar berfikir baik, memiliki cita rasa yang baik, dan berperilaku baik; memperbaiki karakter-karakter yang salah, serta menyaring nilai-nilai luar yang masuk ke Indonesia yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Unsur yang harus turut bertanggungjawab dalam pendidikan karakter bangsa ini adalah: keluarga, sekolah/pendidikan, pemerintah, masyarakat sipil, masyarakat politik, dunia usaha, media massa, lingkungan, dan masyarakat luas.
Sebagian pakar menyatakan, bahwa adalah tidak tepat kalau pendidikan karakter bangsa ini dimasukkan dalam kurikulum, karena kalau demikian, hanya akan menyentuh ranah kognitif. Padahal karakter harus menjadi bagian dari pengetahuan, sikap, dan perilaku. Kita ingin agar anak-anak bangsa ini beretika, kita ingin mereka bertanggung jawab, dan kita ingin mereka peduli. Dan ini tidak bisa dicapai lewat pengajaran saja tetapi harus lewat pendidikan. Rasanya mendesak untuk memulihkan kembali fungsi guru sebagai pendidik, yang mungkin karena berbagai faktor, akhir-akhir ini cenderung guru berfungsi hanya sekedar sebagai pengajar belaka.
Imam al-Gazali menyebut ada tiga komponen diri manusia yang harus dikembangkan secara simultan, yaitu jism (fisik), fikr (pikir), dan qalb (hati). Yang menjadi fokus pendidikan kita di Indonesia hanyalah fikr, sementara qalb dan jism, belum memadai. Upaya pencerdasan intelektual sangat diutamakan, sementara upaya pencerahan hati, kita abaikan. Betul tujuan pendidikan kita adalah membentuk manusia beriman dan bertaqwa, tetapi aplikasinya tidak dilakukan. Iman dan taqwa tidak boleh hanya diajarkan karena itu hanya menyentuh ranah kognitif, padahal iman dan taqwa lebih pada ranah afektif dan psikomotorik. Sillabi dan kisi-kisi iman dan taqwa pada dua ranah ini (afektif dan psikomotorik) belum lagi kita rumuskan dan belum diaplikasikan dalam lembaga pendidikan kita. Apa standar iman dan taqwa, bagaimana mengukurnya, apa alat evaluasinya. Sejauh mana pengaruhnya dalam penentuan kelulusan siswa/mahasiswa. Kalau terhadap pertanyaan ini jawabnya belum atau tidak, jangan bertanya kenapa orang pintar bisa korupsi, mengapa pemenang olimpiade ilmu bisa bunuh diri. Jawabannya, mungkin karena tidak simultan pembinaan fikir dan hatinya. Tidak seimbang antara pencerdasan intelektualnya dengan pencerahan hatinya. Sudah saatnya paradigma pendidikan kita dirumuskan kembali. Dan pada gilirannya, kita harus pertegas pula arah dan fokus pembangunan kita, yaitu pembangunan yang berbasis moralitas, bukan semata material. Kalau tidak, hasil-hasil pembangunan kita akan redup, tidak bercahaya, dan (jangan sampai) tidak punya barakah.
Wa Allahu a’lam bi al-shawab.
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ. اَللهُ أَكْبَرُ x )٧ ( وَلِلَّهِ اْلحَمْدُ
اَلَّلهُمَّ أَعِزَّ اْلِاسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَلَاتَجْعَلْنَا تَحْتَ أَقْدَامِ الْمُنَافِقِيْنَ الظَّالمِيِنَ . اَلَّلهُمَّ انْصَبْ في بِلَادِنَا هذَا إِمَامًا عَادِلًا وَبِلَادِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً إِنَّكَ عَلَي كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٍ . اَلَّلهُمَّ اَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَفَرِّقْ جَمْعِيَّةَ اْلكَفَرَةِ وَ اْلُمشْرِكِيْنَ بِعِنَايَتِكَ وَرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ . رَبَّنَا اتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
اَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ
وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ .