Ada satu pertanyaan yang pelan-pelan menghantui nurani bangsa ini, siapa yang sebenarnya berdetak dalam dada republik kita?
Apakah ia masih denyut tulus rakyat, atau hanya gema langkah segelintir elite yang mengatur arah bangsa dari ruang-ruang yang tidak pernah terlihat?
Demokrasi kita sering tampak gagah dari jauh. Tetapi ketika didekati, ia seperti seseorang yang tersenyum sambil menyembunyikan sesak di dadanya.
Ia memuji kedaulatan rakyat, namun sebagian nadinya seperti ditahan oleh kekuatan yang tak pernah memilih untuk tampil di terang.
Oligarki di Nusantara bukan hanya tentang kekayaan. Ia adalah jaring halus pengaruh, patronase, hubungan kuasa, dan transaksi politik yang tumbuh di celah-celah sistem yang longgar.
Ia hadir dalam diam, namun langkahnya menggulung besar seperti arus bawah laut yang tak mungkin dihentikan oleh siapapun yang tidak waspada.
Padahal Allah telah menegur manusia dengan tegas:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak keadilan.” (QS. An-Nisā’ 4:135).
Keadilan bukan sekadar slogan, ia adalah napas bagi negara yang ingin tetap hidup.
Rasulullah SAW. pun mengingatkan betapa berat amanah kepemimpinan:
«كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanya tentang yang dipimpinnya.”
Tetapi dalam perjalanan politik kita, amanah itu sering berubah menjadi alat mempertahankan kekuasaan, bukan menjaga rakyat.
Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa oligarki tumbuh bukan hanya karena ambisi elite.
Ia juga hidup karena lemahnya lembaga, kepatuhan hukum yang tidak konsisten, serta budaya politik yang terlalu sering menjadikan jabatan sebagai investasi sosial.
Ketika kontrol publik melemah, oligarki memperoleh panggungnya. Meski begitu, rakyat Indonesia tidak pernah hilang harapan.
Di sela aktivitas sederhana mereka, di ladang, di pasar, di pinggir pantai, rakyat berdoa agar negara ini kembali kepada marwahnya.
Mereka ingin negara yang memihak pada kebenaran, bukan pada para pemilik modal. Harapan itu kini mereka gantungkan pada kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Mereka percaya beliau membawa energi baru bagi demokrasi yang sedang kehilangan detaknya.
Pengalaman panjang dan karakter tegasnya dianggap mampu memutus lingkar pengaruh yang selama ini membelit republik.
Rakyat berharap Prabowo menata kembali arah kebijakan negara secara proporsional dan profesional.
Mereka ingin keberpihakan pemerintah kembali mengalir kepada rakyat kecil, bukan pada meja-meja transaksi kekuasaan.
Jika keberanian itu diambil, demokrasi akan menemukan jantungnya lagi.
Dalam tradisi sufistik, setiap gelap selalu menandai pintu menuju terang.
Demokrasi yang tersendat bukan tanda akhir, tetapi tanda bahwa bangsa ini harus memperbaiki langkahnya.
Krisis adalah undangan untuk bangkit, bukan alasan untuk menyerah.
Doa bangsa ini sederhana namun mendalam, agar pemimpin negeri takut kepada Allah lebih daripada takut kepada siapa pun, agar ia tetap tegak di atas keadilan meski harus melawan arus, dan agar ia tidak tergoda oleh dunia yang sering memukau tetapi merapuhkan nurani.
Jika doa itu dikabulkan, Indonesia tidak hanya akan berjalan kembali, ia akan berlari dengan marwah yang terangkat.
Dan demokrasi Nusantara akan kembali berdetak, bukan dengan jantung oligarki, melainkan dengan jantung rakyat yang menemukan tempatnya kembali.
#Wallahu A’lam Bishawab
Alat AksesVisi