Gambar ”DEMOKRASI DIPERSIMPANGAN: Antara Representasi Rakyat dan Oligarki Politik”

Sejak awal reformasi, bangsa ini menaruh harapan besar pada demokrasi. 


Ia hadir bagaikan mata air yang diidamkan, setelah perjalanan panjang bangsa ini terjerat otoritarianisme. 


Rakyat berbondong-bondong menuju bilik suara, membawa secarik kertas yang seakan sederhana, namun sesungguhnya ia adalah titipan amanah. 


Dalam hati mereka terpatri keyakinan bahwa satu suara bukan sekadar angka statistik, melainkan denyut harapan yang kelak akan menentukan arah perjalanan negeri.


Namun, realitas sering kali tak seindah janji. Di tengah semarak kebebasan, demokrasi menampakkan wajah lain. Ia yang semestinya melahirkan representasi rakyat, justru kerap tersandera oleh kekuatan modal, jejaring oligarki, dan permainan elit. 


Demokrasi berubah rupa, dari vox populi, vox dei, (suara rakyat adalah suara Tuhan), menjadi vox oligarki, suara segelintir elite yang lihai menyamarkan kepentingan di balik jargon rakyat.


Firman Allah SWT. seakan menjadi cermin bagi keadaan ini:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ • أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَٰكِن لَّا يَشْعُرُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,’ mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.” (QS. Al-Baqarah: 11–12)


Betapa sering kita menyaksikan kekuasaan diklaim atas nama rakyat, tetapi dalam praktiknya justru menimbulkan kerusakan yang tersembunyi. 


Maka pertanyaan yang menggugah nurani pun muncul: benarkah demokrasi kita masih menjadi wadah suara rakyat, atau ia kini hanya panggung sandiwara yang dikendalikan oleh mereka yang memiliki modal dan kuasa?


Demokrasi di tanah air kita memang berada di persimpangan. Ia terombang-ambing antara cita-cita ideal dan realitas yang pahit. 


Representasi rakyat perlahan tereduksi, karena banyak kebijakan lahir bukan dari jeritan rakyat kecil, melainkan dari lobi, transaksi, dan kompromi elit politik. 


Sementara itu, politik biaya tinggi menjadikan modal sebagai tiket utama menuju kursi kekuasaan, sehingga kader berintegritas yang tak memiliki akses finansial besar tersingkir sebelum sempat berkompetisi. 


Tidakkah ini menandakan bahwa demokrasi kita bergeser dari government of the people menuju government of the oligarchs?


Lebih menyedihkan lagi, politik sering kali dipahami hanya sebagai perebutan kekuasaan, bukan amanah. Rasulullah SAW. sudah jauh-jauh hari mengingatkan:

إِنَّهَا أَمَانَةٌ، وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ

“Sesungguhnya kekuasaan itu adalah amanah, dan pada hari kiamat ia menjadi kehinaan dan penyesalan.” (HR. Muslim)


Bukankah pesan Nabi ini jelas menohok kesadaran kita? Kekuasaan tanpa nilai amanah hanya akan melahirkan luka sosial, ketidakadilan, ketimpangan, bahkan anarki yang merobek jantung bangsa.


Lalu, apa yang harus kita lakukan agar demokrasi tidak terjebak menjadi sekadar panggung oligarki? 


Bagaimana agar ia kembali menjadi jalan keadilan yang membahagiakan rakyat banyak? 


Solusinya tentu bukan sekadar mengganti wajah-wajah di kursi kekuasaan, tetapi mengubah paradigma. 


Politik harus dikembalikan pada hakikatnya, sebagai amanah, bukan dagang kekuasaan. Partai politik harus menjadi sekolah kepemimpinan yang mendidik kader dengan prinsip siyasah syar’iyyah, politik yang berpijak pada maslahat umat, bukan transaksi jangka pendek.


Namun, politik yang sehat tak akan lahir tanpa rakyat yang cerdas. Literasi politik harus ditumbuhkan, agar rakyat tidak mudah tergoda oleh pragmatisme sembako atau uang sesaat. Rasulullah SAW. bersabda:

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

“Sesungguhnya seorang pemimpin adalah perisai; orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Pertanyaan penting pun muncul, apakah pemimpin yang kita pilih hari ini sudah menjadi perisai yang melindungi kita, atau justru pedang yang melukai rakyatnya?


Selain itu, pembatasan oligarki harus diwujudkan dengan reformasi regulasi. 


Transparansi dana politik, pembatasan biaya kampanye, dan sistem yang meminimalkan intervensi modal besar adalah langkah konkret agar demokrasi tidak dikooptasi oleh pemilik modal. 


Pemimpin pun harus dituntut berpegang pada etika kepemimpinan Qur’ani. Umar bin Khattab ra. pernah berpesan dengan lantang:

مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ شَيْئًا، فَلَمْ يُحِطْهُمْ بِجَفَائِهِ، فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa yang mengurus urusan kaum Muslimin, lalu ia tidak memperhatikan mereka, maka ia bukanlah bagian dari mereka.”


Bukankah kalimat ini seharusnya mengguncang hati setiap pemimpin yang hanya sibuk melayani dirinya sendiri, bukan melayani umat?


Pada akhirnya, demokrasi kita berdiri di persimpangan jalan. Ia bisa terus berjalan di jalur yang dikendalikan oleh segelintir elite bersekutu dengan modal, atau ia bisa kembali ke jalannya yang asli, amanah yang berwujud keadilan. Allah SWT. menegaskan dalam QS. An-Nisa: 58:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”


Maka mari kita renungkan, apakah demokrasi masih kita rawat sebagai ladang amanah yang menumbuhkan maslahat, atau kita biarkan ia layu menjadi ritual lima tahunan tanpa jiwa? 


Bila kita ingin bangsa ini berdiri tegak, jawabannya hanya satu: kita harus menghidupkan demokrasi dengan keadilan, bukan dengan oligarki.


# Wallahu A’lam Bis-Sawab