Gambar ”DARI PIRING KE PIKIRAN: Ketika Nasi Menjadi Narasi Bangsa — Menakar Plus-Minus MBG”

Apakah bangsa besar lahir dari pidato yang megah atau dari piring-piring sederhana yang mengenyangkan anak-anaknya setiap pagi? 


Apakah kemajuan sebuah negeri diukur dari gedung-gedung tinggi dan kendaraan listrik, atau dari kualitas gizi dan daya pikir generasi mudanya yang bersekolah dengan perut terisi dan hati gembira? 


Pertanyaan-pertanyaan ini seolah sederhana, namun sesungguhnya menggugat nurani dan rasionalitas kita sebagai bangsa yang sedang menulis bab baru dalam sejarahnya menuju Indonesia Emas 2045.


Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto bukan sekadar kebijakan populis untuk menarik simpati publik, tetapi menjadi simbol kebangkitan kesadaran nasional.


Bahwa pendidikan tidak akan pernah menjadi kuat tanpa gizi yang baik. Bahwa kecerdasan tidak akan tumbuh di atas perut yang lapar. Bahwa pembangunan sumber daya manusia tidak hanya soal kurikulum, tetapi juga tentang energi kehidupan yang mengalir dari setiap butir nasi di piring anak-anak sekolah dasar dan menengah.


Namun di balik semangat besar itu, muncul pula perdebatan, antara idealisme dan realitas, antara harapan dan tantangan, antara pro dan kontra. 


Sebagian pihak menilai MBG sebagai langkah monumental yang dapat memperkecil kesenjangan sosial dan memperkuat ketahanan generasi. 


Sementara pihak lain menganggapnya sebagai program yang berpotensi membebani anggaran negara, memunculkan inefisiensi birokrasi, bahkan membuka ruang korupsi baru jika tidak dikelola secara transparan dan berkeadilan.


Dalam konteks ini, diperlukan sikap tawassuth, moderasi dalam menilai kebijakan publik. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.: 

خَيْرُ الأُمُورِ أَوْسَطُهَا

“Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan.”

(HR. Baihaqi)


Artinya, setiap kebijakan, betapapun mulianya, harus ditempatkan dalam kerangka keseimbangan antara niat baik dan efektivitas pelaksanaan. 


MBG bukan untuk dikultuskan, namun juga tidak layak ditolak mentah-mentah. Ia adalah ruang evaluasi bersama, antara pemerintah, masyarakat, dan dunia pendidikan.


Lebih jauh, Al-Qur’an menegaskan bahwa kesejahteraan sosial tidak mungkin terwujud tanpa adanya pemerataan rezeki dan perhatian terhadap kaum kecil:

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

“Dan pada harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”

(QS. Adz-Dzariyat [51]: 19)


Ayat ini mengandung pesan moral sekaligus politik ekonomi, bahwa tanggung jawab sosial negara bukan sekadar membangun jalan dan jembatan, tetapi juga menjembatani ketimpangan gizi, pendidikan, dan harapan hidup anak-anak bangsa. 


Makanan bergizi bukan hanya soal kalori, melainkan investasi moral yang menentukan kualitas peradaban.


Dari piring-piring sederhana di sekolah negeri dan madrasah itulah seharusnya narasi kebangsaan dimulai. Sebab dari sana lahir generasi yang mampu berpikir jernih, berjiwa sehat, dan berhati ikhlas. Rasulullah SAW. pernah bersabda:

المُؤْمِنُ القَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيفِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.”

(HR. Muslim)


Kekuatan yang dimaksud bukan hanya fisik, tetapi juga mental, intelektual, dan spiritual, yang semua itu berakar dari gizi yang sehat dan pendidikan yang bermartabat.


Oleh karena itu, kritik terhadap MBG seharusnya tidak berhenti pada tataran administratif, melainkan bertransformasi menjadi tawaran solusi. 


Pertama, pengawasan program harus berbasis komunitas, melibatkan masyarakat, guru, dan orang tua dalam sistem distribusi dan penilaian kualitas makanan. 


Kedua, kerja sama lintas sektor antara dunia usaha, pesantren, dan lembaga pendidikan dapat menciptakan rantai pasok pangan lokal yang berkelanjutan. 


Ketiga, transparansi digital harus menjadi pondasi agar setiap rupiah yang dikeluarkan untuk gizi anak bangsa dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik dan Tuhan.


Kita tidak sedang membicarakan sekadar nasi atau lauk, melainkan tentang arah kebudayaan bangsa. Tentang apakah kita ingin membangun manusia yang hanya kenyang sesaat, atau mencetak generasi yang mampu berpikir jauh, mengolah rasa, dan menebar makna. 


Dari piring yang terisi, semoga lahir pikiran-pikiran yang cerdas; dari pikiran yang tercerahkan, semoga lahir kebijakan yang berkeadilan, dan dari kebijakan yang adil, semoga lahir masa depan yang penuh kemuliaan.


Maka, ketika nasi menjadi narasi bangsa, sesungguhnya kita sedang menulis ulang makna pembangunan, bukan lagi tentang proyek dan statistik, melainkan tentang martabat manusia. 


Dan ketika kita menakar plus minus MBG, sejatinya kita sedang menakar seberapa besar cinta dan tanggung jawab kita terhadap masa depan Indonesia.

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”

(QS. Ar-Ra’d [13]: 11)


Perubahan tidak akan datang hanya dari istana, tetapi juga dari ruang kelas, dari dapur sekolah, dari hati para guru, dan dari kesadaran rakyat yang mau berbagi dan peduli. 


Karena masa depan bangsa sejatinya tidak sedang dimasak di dapur politik, tetapi di dapur-dapur kecil sekolah, tempat anak-anak belajar arti syukur dan harapan.


Pada akhirnya, Makanan Bergizi Gratis (MBG) bukan sekadar wacana politik yang menghiasi ruang publik, tetapi ujian moral bagi negara dalam membuktikan keberpihakan sejatinya terhadap masa depan generasi penerus. 


Ia adalah cermin sejauh mana keadilan sosial diterjemahkan dalam tindakan nyata, bukan sekadar slogan konstitusional. 


Sebab keadilan bukan hanya ketika rakyat mendapat haknya, tetapi ketika negara hadir memastikan bahwa setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh sehat, berpikir jernih, dan bermimpi besar.


Kita dapat berbeda pandangan dalam menilai plus minus MBG, namun tidak boleh berbeda dalam niat menumbuhkan harapan bagi anak bangsa. 


Program ini memang tidak sempurna, tetapi ia menjadi ruang untuk memperbaiki sistem, memperkuat transparansi, dan menumbuhkan kolaborasi sosial lintas sektor. 


Dengan pengelolaan yang jujur, berbasis data, dan diawasi oleh masyarakat, MBG dapat menjadi pondasi penting menuju bonus demografi yang produktif dan bermartabat.


Dalam perspektif Islam, kesejahteraan tidak dapat dilepaskan dari nilai keberkahan. Rasulullah SAW. bersabda:

الطَّاعِمُ الشَّاكِرُ بِمَنْزِلَةِ الصَّائِمِ الصَّابِرِ

“Orang yang makan dan bersyukur, kedudukannya sama dengan orang yang berpuasa dan bersabar.”

(HR. Ahmad)


Makna hadits ini mengandung pelajaran mendalam, bahwa gizi dan syukur harus berjalan beriringan. 


Memberi makan bukan hanya menumbuhkan tubuh, tetapi juga menumbuhkan rasa syukur dan kepedulian sosial. 


Negara yang mampu memberi makan rakyatnya dengan kejujuran dan kasih sayang sejatinya sedang menanam benih peradaban yang berkah.


Oleh karena itu, keberhasilan MBG tidak hanya diukur dari jumlah nasi yang tersaji di piring, tetapi dari nilai-nilai kemanusiaan yang tumbuh di baliknya, gotong royong, keadilan, integritas, dan empati sosial. 


Jika semua elemen bangsa mampu menanamkan kesadaran bahwa memberi gizi adalah memberi masa depan, maka Makanan Bergizi Gratis bukan lagi sekadar program, melainkan gerakan moral menuju Indonesia yang kuat dan beradab.


Maka, ketika nasi menjadi narasi bangsa, sesungguhnya yang kita tulis bukan hanya cerita tentang makanan, melainkan kisah tentang cinta pada negeri, tentang tanggung jawab pada generasi, dan tentang iman yang diterjemahkan dalam kerja nyata. 


Dan dari piring-piring kecil di ruang-ruang sekolah, semoga lahir generasi yang besar dalam cita-cita, mulia dalam budi, dan tangguh menghadapi zaman, menuju Indonesia Emas 2045 yang berkeadilan, berkepribadian, dan bermartabat di hadapan Tuhan dan sesama manusia.

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا، وَاجْعَلْهُ قُوَّةً لَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

“Ya Allah, berkahilah rezeki yang Engkau karuniakan kepada kami, dan jadikanlah ia sebagai kekuatan bagi kami untuk taat kepada-Mu.”


#Wallahu ‘Alam Bis-Shawab