Gambar ”DARI LUKA BANGSA KE AGENDA PRABOWO: Menata Kepemimpinan yang Menyentuh Titik Paling Rentan”


Ada sebuah kegelisahan yang perlahan tumbuh di dada bangsa ini, sebuah desir halus yang kadang hanya terdengar ketika malam sedang sangat sunyi. 


Di balik hiruk-pikuk politik, kita sesungguhnya sedang mencari sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar siapa yang duduk di kursi kekuasaan, kita sedang mencari pemimpin yang mampu menyembuhkan luka bangsa.


Al-Qur’an jauh sebelum republik ini berdiri telah menyinggung inti dari harapan rakyat itu:

وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74).


Bukan sekadar pemimpin administratif, tetapi pemimpin yang membimbing, memeluk, memperbaiki, dan menguatkan.


Dalam perjalanan sejarah kita yang penuh kepatahan, ketimpangan sosial, kecemasan ekonomi, kegaduhan demokrasi, bangsa ini kini menatap kepada Presiden Prabowo dengan harapan yang rumit, harapan yang besar, namun sekaligus penuh skeptis dan kecurigaan.


Harapan yang hangat, namun juga rapuh, harapan yang ingin percaya, namun masih menyimpan trauma masa lalu.


Bangsa ini telah terlalu lama hidup dari janji yang tidak sepenuhnya ditepati, sehingga kini ia belajar mencintai dengan cara yang lebih hati-hati.


Karena itu, ketika rakyat berharap pemimpinnya berpihak kepada mereka, itu bukan tuntutan yang lahir dari ambisi, tetapi kerinduan yang lahir dari rasa sakit, kerinduan bahwa untuk sekali saja, ada pemimpin yang benar-benar memikirkan perut mereka, pendidikan anak mereka, harga beras yang naik seperti gelombang gelap yang tak kunjung surut, dan rasa aman yang sering kali terasa lebih mirip mimpi daripada kenyataan.


Rasulullah SAW.mengingatkan beratnya tanggung jawab itu:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِه

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhari)


Maka ukuran kepemimpinan bukan pada seberapa keras seorang pemimpin berbicara, tetapi seberapa lembut ia mendengarkan, bukan pada seberapa kuat ia memegang kekuasaan, tetapi seberapa tulus kekuasaan itu digunakan untuk mengangkat orang yang paling lemah.


Dalam konteks inilah kita membaca ulang agenda besar Prabowo, diantaraya, ketahanan pangan, stabilitas ekonomi, pemerataan pembangunan, pertahanan negara, dan restorasi martabat bangsa. 


Namun agenda secemerlang apa pun hanya akan menjadi aksara tanpa ruh jika tidak menembus pusat keresahan rakyat.


Bangsa ini ingin melihat apakah Prabowo mampu memadukan dua dunia yang sering kali saling mengancam.


sisi demokratis yang membuka ruang kritik, partisipasi, dan kesetaraan, dan sisi militeris yang menjanjikan kedisiplinan, ketegasan, dan keamanan. 


Keduanya dapat menjadi kekuatan jika disatukan dengan kejernihan moral, tetapi dapat menjadi ancaman jika salah kelola.


Ulama besar, Al-Hasan al-Basri, pernah berkata:

إِنَّ الْإِمَامَ مَتْجَرٌ، إِنْ صَلَحَ صَلَحُوا وَإِنْ فَسَدَ فَسَدُوا

“Pemimpin itu ibarat pasar, bila ia baik, rakyat akan baik; bila ia rusak, rakyat pun rusak.”


Maka rakyat menunggu bukan hanya kebijakan, tetapi sinyal ruhani, apakah bangsa akan dibawa menuju kemaslahatan atau sekadar diarahkan pada penguatan kekuasaan.


Di sini penting membaca lanskap SWOT, bukan dalam daftar kaku, tetapi sebagai gelombang realitas yang melingkupi kepemimpinan Prabowo.


Kekuatan terbesar terletak pada reputasinya sebagai sosok yang tegas, berani mengambil risiko, memiliki jaringan internasional, dan hubungan kuat dengan militer, dua sisi yang bila dipadukan bisa menjadi pilar stabilitas.


Namun kelemahan pun tak bisa disembunyikan,masa lalu yang kontroversial, gaya komunikasi yang sering dianggap keras, dan kekhawatiran bahwa pemerintahan ini lebih mudah condong ke kekuatan negara daripada kekuatan rakyat.


Di sisi peluang, terbuka ruang besar untuk mengukir perubahan melalui hilirisasi, rekonsiliasi nasional, penguatan pangan, dan perbaikan institusi demokrasi.


Namun ancamannya tak kalah nyata, ketidakpastian geopolitik, polarisasi politik domestik, ketergantungan ekonomi global, dan bayang-bayang kultur militerisme yang jika tidak dijaga, bisa mengikis kebebasan sipil secara perlahan tanpa terasa.


Bangsa ini kini berada di titik keseimbangan yang halus, yakni antara stabilitas yang dibutuhkan dan demokrasi yang tidak boleh dikorbankan, antara kedaulatan yang ingin ditegakkan dan kemakmuran rakyat yang harus diprioritaskan, antara ketegasan pemimpin dan kebijaksanaan batin.


Dalam proses ini, kita memerlukan pemimpin yang bukan hanya melihat data dan grafik pertumbuhan, tetapi juga melihat linangan keringat petani di tengah sawah, dengung cemas pedagang kecil, detak ragu para akademisi, dan bisikan hati rakyat kecil yang jarang sekali diundang bicara.


Karena itulah Umar bin Khattab pernah menangis ketika mendengar tangisan seorang bayi kelaparan, lalu berkata:

لو عثرت بغلة بالعراق لسألني الله عنه 

“Seandainya seekor keledai tersandung di Irak, niscaya Allah akan menuntutku atasnya.”

Beginilah standar kepemimpinan dalam Islam: kepada seekor hewan saja pemimpin bertanggung jawab, apalagi kepada bangsa yang terluka.


Kini, agenda Prabowo diuji bukan oleh seremonial kekuasaan, tetapi oleh apa yang disentuh oleh tangannya, apakah tangannya menyentuh rakyat atau hanya menyentuh kekuasaan, apakah langkahnya mendekat kepada yang kecil atau justru semakin jauh demi yang besar, apakah ia memilih menjadi benteng rakyat atau pagar kepentingan politik.


Bangsa ini tidak meminta kesempurnaan. Bangsa ini hanya ingin dirangkul, bukan dicurigai apalagi dimusuhi.


Dan bila pada akhirnya Prabowo benar-benar mengambil jalan berpihak kepada rakyat,bukan sekadar slogan, bukan sekadar janji, tetapi melalui keputusan-keputusan berani yang mengorbankan kepentingan elite demi kepentingan wong cilik, maka sejarah akan menuliskan namanya di halaman baru perjalanan bangsa.


Tetapi bila ia gagal, maka luka bangsa akan kembali membusuk, dan rakyat akan kembali meraba-raba dalam gelap mencari pemimpin baru.


Karena rakyat, meski sering terluka, selalu diberi kekuatan oleh Allah untuk bangkit kembali.Allah mengingatkan:

وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ

“Dan hari-hari itu Kami pergilirkan di antara manusia.” (QS. Ali ‘Imran: 140


Karena itu. maka harus menjadi rahasia Kekuasaan adalah pinjaman, bukan milik abadi.


Pada akhirnya, bangsa ini berharap Prabowo memilih menjadi pemimpin penenang luka, bukan penjaga luka baru; menjadi pengayom, bukan penguasa; menjadi penyambung suara rakyat, bukan pemutus suara mereka, menjadi jalan, bukan tembok.


Dan bila itu terjadi, maka harapan bangsa yang telah lama rapuh ini akan menemukan tempatnya, dan kita boleh kembali percaya bahwa pemimpin yang baik masih mungkin lahir di negeri ini.


قُلِ اللّٰهُمَّ مٰلِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِى الْمُلْكَ مَنْ تَشَاۤءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاۤءُۖ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاۤءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاۤءُۗ بِيَدِكَ الْخَيْرُۗ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ۝٢٦


“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai Allah, Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”


#Wallahu A’lam Bishawab