Latar sejarah.
Pada suatu sore menjelang Magrib, tepatnya 2 Februari 2025, saya menelepon guru saya, K.H. Drs. Muhammad Ahmad. Selain menyampaikan ucapan selamat atas anugerah gelar Syekhul Mubalighin—penghargaan tertinggi seorang mubaligh IMMIM, disematkan pada seseorang yang telah mewaqafkan dirinya dalam bidang dakwah—saya juga mengenang kembali pengabdian beliau. Sepanjang hidupnya, K.H. Muhammad Ahmad telah mengabdikan diri sebagai pengurus Ketua Umum DPP IMMIM serta Direktur Pesantren Modern Putra IMMIM. Beliau juga pernah menjabat sebagai Wakil Rektor II dan Dekan Fakultas Tarbiyah di IAIN Alauddin Makassar.
Di kesempatan itu, saya juga melaporkan bahwa saya tengah fokus menulis tentang almarhum Husni Djamaluddin. Saya menginformasikan bahwa saya telah menyampaikan kepada beliau tulisan saya tentang imajinasi Husni Djamaluddin mengenai kerusakan masyarakat. Menurut Husni, salah satu tanda rusaknya masyarakat adalah ketika seseorang yang berbuat baik justru dicurigai. Dari sinilah muncul perbincangan tentang konsep citra dalam pandangan Husni Djamaluddin seperti di bawah ini,
CITRA DALAM PANDANGAN HUSNI DJAMALUDDIN
Oleh Ahmad M. Sewang
Menurut K.H. Drs. Muhammad Ahmad, Husni Djamaluddin mendefinisikan citra adalah sebagai kesan mental seseorang setelah melihat suatu benda atau individu. Meskipun dalam kajian akademik makna citra jauh lebih luas dari pada definisi sederhana ini yang sering digunakan Husni.
Jika merujuk pada definisi umum, citra memiliki beberapa makna, antara lain:
1. Gambaran atau rupa dari suatu objek, seperti manusia, perusahaan, organisasi, atau produk.
2. Kesan mental atau bayangan visual yang timbul dari kata, frasa, atau kalimat.
3. Data atau informasi dari potret udara dalam bidang spasial.
4. Representasi objek dalam bentuk dua dimensi atau tiga dimensi, seperti foto, lukisan, atau patung.
Dalam percakapan kami, K.H. Muhammad Ahmad mengisahkan pertemuannya dengan Husni Djamaluddin, yang pernah bercerita tentang sebuah peristiwa menarik di Jayapura.
Suatu hari, hujan deras mengguyur kota itu, membuat para guru dan murid di sebuah sekolah tidak bisa hadir di kelas. Keesokan harinya, seorang siswa berangkat ke sekolah, tetapi tiba-tiba ia kembali pulang. Alasannya? Ia melihat celana panjang gurunya masih dijemur di serambi rumah.
Dalam benak anak tersebut, jika celana panjang gurunya masih tergantung, berarti sang guru belum pergi ke sekolah. Ini menunjukkan bagaimana citra atau kesan mental terbentuk dalam pikiran seseorang berdasarkan pengamatan sederhana. Anak itu mungkin berasumsi bahwa gurunya hanya memiliki satu celana panjang, dan karena jalanan di Jayapura saat itu masih rusak, maka kecil kemungkinan gurunya bisa sampai ke sekolah dengan kondisi demikian.
Dari kisah ini, kita bisa memahami bahwa citra tidak hanya tentang bagaimana seseorang ingin dilihat oleh orang lain, tetapi juga tentang bagaimana persepsi terbentuk di masyarakat berdasarkan pengalaman dan observasi sederhana.
Citra, sebagaimana dipahami oleh Husni Djamaluddin, bukan sekadar soal penampilan atau reputasi, tetapi tentang bagaimana kesan seseorang terbentuk berdasarkan pengalaman dan pengamatannya. Kisah sederhana dari Jayapura ini memberi gambaran jelas bahwa persepsi seseorang terhadap dunia di sekitarnya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan kebiasaan.
Semoga tulisan ini bisa memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang cara pandang Husni Djamaluddin terhadap konsep citra.
Wassalam,
Kompleks GFM, 15 Agustus 2025
Baik, saya akan mengubah substansi cerita tersebut menjadi bentuk puisi naratif yang tetap mempertahankan makna dan detail sejarahnya, namun disajikan dengan bahasa yang lebih puitis dan ritmis.
---
Pada suatu sore,
menjelang Magrib,
tanggal dua Februari dua ribu dua puluh lima,
teleponku tersambung kepada guru,
K.H. Drs. Muhammad Ahmad—
Syekhul Mubalighin,
yang hidupnya telah ia wakafkan
untuk dakwah yang tak mengenal lelah.
Kupanjatkan ucapan selamat
atas anugerah itu,
dan sambil mengenang pengabdian beliau:
Ketua Umum DPP IMMIM,
Direktur Pesantren Modern Putra dan Putri IMMIM,
Wakil Rektor, Dekan,
pendidik umat dari generasi ke generasi.
Di tengah percakapan,
aku kabarkan padanya:
“Aku sedang menulis
tentang almarhum Husni Djamaluddin,
tentang imajinasinya
melihat kerusakan moral masyarakat,
tentang tanda-tanda zaman
saat kebaikan dicurigai
dan kejujuran menjadi asing.”
CITRA MENURUT HUSNI DJAMALUDDIN
Menurut Husni, kisah guruku si atas;
citra adalah kesan mental,
lukisan di benak
setelah kita melihat seseorang atau sesuatu.
Definisi sederhana—
namun lebih tajam
dari sekadar makna akademik.
Selanjutnya guruku berkisah,
tentang suatu hari di Jayapura:
Hujan deras mengguyur,
kelas-kelas sunyi,
guru dan murid tak hadir.
Keesokan harinya,
seorang murid melangkah menuju sekolah,
namun berhenti,
lalu pulang.
Mengapa?
Ia melihat celana panjang gurunya
masih tergantung di serambi rumah.
Dalam pikirnya yang polos:
jika celana itu belum dikenakan,
guru belum berangkat,
dan perjalanan pun sulit
karena jalan-jalan masih becek dan rusak.
Dari kisah itu,
kita belajar bahwa citra
terbentuk dari potongan pengalaman,
dari pandangan sederhana,
dari kebiasaan dan lingkungan
yang mengukir persepsi di benak kita.
Bagi Husni Djamaluddin,
citra bukan sekadar penampilan,
bukan sekadar reputasi—
tetapi pantulan hidup
dari apa yang benar-benar dilihat
dan dirasakan orang lain.
Sebuah pengertian yang lahir
dari mata yang jernih,
hati yang tajam,
dan keberanian melihat dunia
apa adanya.