Ketika mengutus Nabi Musa dan Nabi Harun untuk bertemu Fir’aun, Allah menitipkan pesan yang luar biasa kepada keduanya.
"Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, Sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 43-44)
Allah memerintahkan kedua utusan-NYA itu untuk berdialog; menyampaikan pesan ilahi dengan cara yang lembut, santun dan tidak mentang-mentang. Tidak langsung nonjok, mencak-mencak gak karuan; langsung pakai dalil, menutup argumen lawan bicara. Fir'aun adalah sosok yang paling ingkar. Dalam ayat lain, dia (Fir'aun) menyebut dirinya sebagai Tuhan (Ana robbukumul a'la/aku adalah tuhan kamu yang maha tinggi).
Kita yang bukan nabi, tidak selayaknya berdialog dengan cara yang keras. Lawan bicara kita pun pasti bukan orang yang seingkar Fir'aun.
Cara itu penting. Jika pun orang tidak menerima kebenaran yang kita bawakan, bukan berarti harus bermusuhan, menyalah-nyalahkan dengan keras, mencak-mencak yang justru kita terlihat sombong.
Tidak sama keyakinan bukan berarti harus bermusuhan. Yang sekarang baik belum tentu akhirnya baik. Yang sekarang jelek, belum tentu akhirnya jelek. Maka cara-cara dialog yang mengundang permusuhan harus dihindari.
Untuk apa pula keras dan bermusuhan kepada orang yang berbeda keyakinan. Toh setiap orang tidak bertanggung-jawab atas dosa yang orang lain perbuat.
"Katakanlah: “Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat”. (QS Saba’:25)
Cara keras itu murahan. Bisa-bisa justru membuat ente mati gaya. Maka gunakanlah cara berkelas seperti contoh dalam al-Qur'an.
Nabi Muhammad SAW pun banyak mencontohkan Bagaimana orang terilhami dengan kebenaran yang dibawanya oleh sentuhan dan perlakuan yang sangat manusiawi.
Karena itu, sentuhan kemanusiaan itu lebih benilai ketimbang bedebat pakai dalil kitab suci dengan yang berbeda keyakinan.
Tabik Nadirsyah Hosen