Gambar “Bulan Ceramah Ramadan” (2)

Ramadan, menurut sejumlah hadis, punya sekurangnya sepuluh nama: bulan ibadah, bulan Al-Qur’an, bulan penuh rahmat, bulan penuh keberkahan, dan bulan ampunan. Ia juga biasa disebut bulan kesabaran, bulan pendidikan, bulan jihad dan kemenangan, bulan kemurahhatian, dan bulan pelipatgandaan amal saleh. Yang lebih populer dalam masyarakat kita adalah ungkapan bulan puasa atau bulan suci.

Namun, tampaknya tak banyak orang yang mencermati bahwa di Indonesia, Ramadan juga identik dengan ‘bulan ceramah’. Entah sejak kapan, ceramah menjadi menu pelengkap berbagai ritual Ramadan di musala, masjid, tempat buka puasa bersama dan tarawih keliling, pengajian, majelis taklim, radio, televisi dan internet (medsos).

Selama sebulan, di semua tempat dan media itu, ceramah keagamaan mengalami intensitas dan frekuensi tinggi. Tentu saja, fakta itu hanya terlihat selama Ramadan di tahun-tahun sebelum 2020. Tahun ketika dunia, di akhir 2019, tetiba diserang Corona Virus Desease, disingkat Covid-19.

Ceramah tarawih mungkin tradisi unik Indonesia. Saat menjalani puasa selama delapan tahun, jika dijumlahkan seluruhnya, di tiga negara berbeda, yaitu Kanada, Amerika Serikat dan Australia (yang masing-masing akan dikisahkan pada waktunya pada tulisan-tulisan berikutnya), saya tak pernah menjumpai ada ceramah antara salat isya dan tarawih di masjid-masjid di kota-kota di mana saya tinggal (Halifax, Philadelphia, dan Canberra). Tampaknya, ceramah tarawih adalah tradisi yang diperkenalkan para pendakwah awal Islam di nusantara sebagai masa-masa terbaik meningkatkan pengetahuan agama, juga iman dan takwa kaum Muslim.

Di masa kini, setiap Ramadan tiba, permintaan mubalig meningkat signifikan. Bahkan mungkin, lebih banyak permintaan daripada stok mubalig yang tersedia. Banyak kasus, para mubalig ‘pavorit’ harus berceramah di dua sampai tiga tempat berbeda dalam semalam. Munculnya mubalig dadakan atau mubalig musiman selama Ramadan sudah lama jadi fenomena di banyak tempat. 

Saat dalam keadaan membutuhkan, para panitia masjid tidak lagi peduli pada latar belakang keilmuan agama para mubalig yang diundang. Entah mereka itu adalah sarjana agama profesional dengan pengetahuan agama yang mendalam ataukah sarjana dalam disiplin ilmu umum saja yang membaca ayat-ayat saja biasa dengan tulisan latin dan salah tajwid pula. Untuk kategori terakhir ini, sang mubalig tidak jarang hanya sempat belajar agama lewat pesantren kilat atau lembaga dakwah kampus. Atau lewat bacaan buku-buku agama yang dijajakan di toko-toko buku loakan.

Sayangnya, ceramah Ramadan, khususnya ceramah tarawih, tampaknya semakin mengalami inflasi. Artinya, begitu banyak forum dan format ceramah, tapi begitu minim makna yang tergerai dan tersemai di kalangan khalayak Muslim. Setiap waktu musala dan masjid-masjid baru dibangun. Tidak ada lagi yang mempersoalkan, jika jarak antar masjid yang satu dan yang lainnya sudah sangat berdekatan dalam satu kompleks perumahan. 

Belum dihitung tempat-tempat lain yang banyak disulap menjadi tempat salat tarawih. Akibatnya, terjadi krisis mubalig dengan kualifikasi pengetahuan agama yang memadai. Yang diundang memberikan ceramah akhirnya bisa siapa saja. Asalkan ada modal kepercayaan diri dan kemampuan berpidato, ditambah dengan hafalan beberapa ayat dan hadis, seseorang sudah berani menjadi mubalig Ramadan. 

Selain itu, ceramah-ceramah Ramadan juga cenderung tidak sesuai atau tidak berkorelasi dengan masalah aktual yang dihadapi kaum Muslim. Ringkasnya, pengaruh intensitas ceramah Ramadan terhadap peningkatan pengetahuan, kesadaran dan pengamalan agama kaum Muslim dari tahun ke tahun tampaknya semakin tak terasa. Minimal, sesuai perasaan saya!

Memang, masih diperlukan penelitian khusus guna membuktikan ke(tidak)terkaitan kedua hal ini. Yang jelas, faktanya terang benderang bahwa, di satu sisi, terlihat berbagai bentuk ceramah menggema lewat beragam media, menyesaki ruang-ruang publik dan privat kaum Muslim. Tapi, di sisi lain, tindakan dan prilaku asusila dan amoral juga semakin semarak. Korupsi semain menggurita, kriminalitas tambah merajalela dan aksi persekusi atau intoleransi pun masih sering membahana.

Boleh jadi, ini karena ceramah Ramadan, khususnya ceramah tarawih dan subuh, memang semakin mengalami disorientasi. Ia menjadi sekadar rutinitas formal-seremonial Ramadan. Atau semata pengisi waktu bagi jemaah yang butuh rehat sejenak menunggu salat tarawih selepas salat berjemaah isya. Karena itu, bukan pemandangan aneh lagi, saat di atas mimbar sang mubalig sedang berceramah dengan penuh semangat, jemaah malah lebih asyik ngerumpi, bermain dengan gawai mereka (bermedsos), atau bahkan tertidur dalam keadaan duduk.

Selain itu, ceramah keagamaan nampaknya juga semakin menyempit maknanya. Ia kini lebih identik dengan aksi retorik menghibur khalayak. Sesekali juga membuat mereka menangis, walau tampak sekedar tangisan semu atau artifisial. Padahal, dalam pandangan agama, ceramah sejatinya adalah tausiah atau nasehat; proses dan aksi timbal-balik (saling) menasehati, membimbing, mengingatkan, mengoreksi, memberi, mencintai, menyayangi, dan lebih penting lagi, memberi teladan. 

Menurut saya, hanya dalam intensi, orientasi dan misi seperti itu, setiap format dan forum ceramah Ramadan dapat diharapkan memantik dan membimbing umat melakukan transformasi diri secara intelektual, moral dan spiritual. Setuju? []

-----------------
(1) Sedikit catatan atau disclaimer: bab-bab dalam buku ini muncul pertama kali sebagai artikel di satu rubrik Ramadan di satu koran lokal di Makassar di 2018. Rubrik itu tidak dinamai “Hikmah Ramadan”, yg lebih bernuansa teologis-normatif dan, idealnya, memerlukan pijakan tekstual. Sesuai usul saya, nama rubrik/kolom itu adalah “Refleksi Ramadan”. Kata “refleksi” lebih bermakna pandangan atau analisis personal atas suatu keadaan. Dg begitu, saya bisa menulis bebas saja berdasarkan perspektif & pengetahuan sendiri. Selain itu, orang lain pun tidak perlu memberikan penilaian verifikatif atas refleksi personal itu. Misalnya, untuk memastikan apakah yg saya tulis itu sudah sesuai dg teks-teks agama atau tidak. Mengapa? Sebab, tulisan reflektif sejatinya memang lebih bersifat subjektif. Walau, tentu saja, tetap didasarkan pada pengetahuan, pengalaman dan daya berpikir kritis dari si penulis. Dg kata lain, artikel-artikel tersebut lebih merupakan laporan etnografis, atau tepatnya auto-etnografis, karena didasarkan pada pengamatan atas komunitas di mana saya adalah satu bagian atau anggota darinya.

(2) Sumber, Wahyuddin Halim, Taat Ritual Tuna Sosial: Etnografi Reflektif atas Tradisi Ramadan Kaum Muslim Indonesia (Makassar: Carabaca, 2021), Bagian I, #2, h. 18-21