Gambar ”BISNIS HARAM: Pemalsuan dan Penipuan”             ( BAGIAN KE-5)

Di tengah riuhnya peradaban digital dan derasnya arus ekonomi global, ada satu luka lama yang kian hari kian bernanah. 


Pemalsuan dan penipuan. Luka ini bukan sekadar soal kerugian materi, melainkan juga penghancuran nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi kehidupan bermasyarakat. 


Ia merusak kepercayaan antar sesama manusia, mengoyak tatanan hukum, melemahkan sendi-sendi moral, bahkan menodai keindahan nilai-nilai Islam yang sejak awal hadir sebagai penuntun umat menuju kebenaran.


Pertanyaannya, adakah yang lebih menyedihkan daripada makanan halal yang dipalsukan sehingga tubuh orang-orang yang tak berdosa jatuh sakit? 


Adakah yang lebih menyayat daripada obat berbahaya yang dijual demi keuntungan sesaat, padahal nyawa orang lain menjadi taruhannya? 


Adakah yang lebih menghinakan daripada ijazah palsu yang dipajang demi pangkat dan jabatan, sementara hakikatnya hanyalah kebohongan publik yang merusak tata hukum dan menciderai keadilan?


Rasulullah SAW. telah memberi peringatan yang tak terbantahkan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, beliau bersabda:

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا»

“Barang siapa menipu kami, maka ia bukan termasuk golongan kami.”


Betapa kerasnya ancaman itu. Seakan-akan Rasulullah SAW. hendak mencabut identitas keislaman dari siapa pun yang berani bermain api dengan kebohongan.


Hari ini kita bisa menyaksikan bagaimana label halal yang seharusnya menjadi simbol kepercayaan justru diperdagangkan oleh tangan-tangan serakah. 


Produk kadaluarsa diberi label baru agar tampak segar, obat berbahaya dipasarkan seakan-akan obat mujarab, makanan yang sejatinya beracun dipoles agar tampak menggoda. 


Mereka seolah-olah tidak peduli bahwa tubuh orang lain menjadi taruhan, padahal setiap tetes darah, sakit, atau bahkan nyawa yang hilang akan menjadi saksi di hadapan Allah kelak. 


Firman Allah SWT dalam Al-Baqarah ayat 42 menjadi cambuk yang tepat bagi mereka:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan, dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran itu, sedang kamu mengetahui.”


Bentuk penipuan lain yang tak kalah mengerikan lahir di era digital: investasi bodong, arisan fiktif, skema ponzi, hingga MLM ilegal. 


Mereka menawarkan janji surga finansial, membangun mimpi-mimpi indah yang sejatinya hanyalah istana pasir. 


Pada akhirnya yang tersisa hanyalah reruntuhan dan air mata korban. Islam memandang keuntungan tanpa usaha nyata sebagai bentuk riba dan gharar. 


Imam Al-Ghazali menegaskan, harta yang diperoleh dengan tipu daya adalah mal haram, tidak akan membawa keberkahan, justru mendatangkan murka Allah. 


Firman Allah dalam An-Nisa ayat 29 pun begitu terang:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.”


Betapa jelas pesan ini. Bisnis batil bukan hanya kriminal menurut hukum negara, tetapi juga kejahatan spiritual yang menutup pintu keberkahan hidup.


Namun di antara bentuk pemalsuan yang paling mencoreng martabat publik adalah pemalsuan identitas, dokumen, dan ijazah. 


Hari-hari ini bangsa kita diguncang isu pejabat berijazah palsu. Bagaimana mungkin seseorang yang berdiri di mimbar kekuasaan, di hadapan rakyat yang menaruh kepercayaan, ternyata menipu dengan selembar kertas yang tidak sahih? Ini bukan sekadar kertas yang dipalsukan, tetapi nurani rakyat yang dipermainkan. Umar bin Khattab ra. telah menegaskan:

مَنْ غَشَّ فِي شَيْءٍ فَلَيْسَ مِنَّا

“Siapa yang menipu dalam sesuatu, maka ia bukan bagian dari kami.”


Ijazah palsu adalah simbol kezaliman. Dari sana lahir kebijakan yang cacat, keputusan yang merugikan rakyat, dan teladan buruk bagi generasi muda. 


Ia bukan sekadar pembohongan administratif, melainkan pembohongan publik yang merusak sendi-sendi hukum dan moral bangsa.


Secara filosofis, akar dari segala pemalsuan dan penipuan adalah nafsu rakus dan ketakutan akan kemiskinan. 


Orang yang hatinya kosong dari rasa qana’ah akan mencari jalan pintas, lebih mencintai citra daripada realita, lebih mengagungkan keuntungan sesaat daripada keberkahan abadi. 


Secara psikologis, pelaku penipuan sesungguhnya hidup dalam ketakutan permanen. Mereka boleh saja tersenyum di depan kamera, tetapi jiwanya selalu dihantui cemas: kapan kebohongan mereka terbongkar? 


Inilah penderitaan batin yang oleh ulama disebut sebagai ‘adzab qabla al-‘adzab, siksa sebelum siksa akhirat.


Dari sisi sosial, penipuan menghancurkan trust, modal sosial paling berharga dalam masyarakat. Sekali kepercayaan rusak, masyarakat bisa jatuh dalam anarki moral. 


Dari sisi hukum, pemalsuan dokumen atau produk jelas merupakan tindak pidana. 


Namun hukum positif saja tidak cukup. Ia harus berpadu dengan pendidikan moral, etika, dan agama, agar masyarakat tidak hanya takut pada penjara, tetapi juga malu di hadapan Allah.


Apa yang bisa dilakukan? Jalan keluar harus ditempuh secara holistik. Pendidikan karakter sejak dini mutlak diperlukan, agar anak-anak tumbuh dengan kesadaran bahwa kejujuran lebih mahal daripada emas. 


Negara perlu membangun sistem verifikasi dokumen yang transparan, sehingga kebohongan tidak lagi mudah beredar. 


Ulama dan tokoh masyarakat harus bangkit menyuarakan bahaya ghurur (tipu daya) dengan bahasa yang menyentuh hati umat. Krisis ekonomi yang sering menjadi pemicu praktik penipuan pun harus dijawab dengan pemberdayaan ekonomi berbasis keadilan, agar masyarakat tidak tergoda pada jalan curang. 


Dan tentu, sanksi hukum yang tegas dengan efek jera harus ditegakkan, supaya publik belajar bahwa menipu adalah aib, bukan kecerdikan.


Pada akhirnya, dunia ini fana. Tetapi setiap kebohongan akan diabadikan dalam catatan malaikat. 


Ketika ijazah palsu dipamerkan, ketika obat berbahaya dijual, ketika uang rakyat digerogoti lewat skema bodong, sesungguhnya tinta hitam dosa itu sudah tertulis dan tidak akan pernah luntur.


Karena itu, marilah kita kembali ke jalan kejujuran. Rasulullah SAW. telah bersabda dalam hadits yang sangat masyhur:

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ

“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu membawa ke surga.” (HR. Bukhari-Muslim)


Kejujuran adalah cahaya, sedangkan penipuan adalah kegelapan. 


Maka pilihlah jalan terang itu, agar bangsa ini tidak terus terjebak dalam lingkaran hitam bisnis haram: pemalsuan dan penipuan.


#Wallahu A’lam Bis-Sawab