Hidup damai di antara sesama Sunni—
seharusnya mudah,
namun nyatanya sering terhambat
oleh perbedaan tafsir yang lahir dari empat tabiat:
tabiat agama,
tabiat bahasa,
tabiat manusia,
dan tabiat alam serta kehidupan.
Hari ini, aku bicara tentang tabiat bahasa—
bahasa wahyu yang agung,
namun membuka ruang tafsir yang beraneka.
Salah satu di antaranya adalah ayat wudu dalam Al-Maidah ayat enam. Ayat ini telah memunculkan gelombang penafsiran:
apakah tertib anggota wudu itu wajib atau sekadar anjuran?
apakah “ila” berarti benar-benar sampai atau sebatas arah?
apakah “ba” pada “biruusikum” berarti seluruh kepala,
atau sebagian saja,
atau hanya huruf tambahan yang tak menambah makna?
Apakah “lamastum an-nisa” sekadar sentuhan kulit,
atau kiasan tentang hubungan suami-istri,
seperti kata Ibn Abbas?
Apakah “tanah” tayammum berarti debu murni,
atau setiap unsur bumi yang suci?
Apakah “tangan” berarti hingga siku,
atau cukup telapak tangan semata?
Dan “tidak mendapatkan air”—
apakah benar-benar tiada,
atau ada namun hanya cukup untuk masak dan minum?
Syekh al-Qardhawi berkata:
“Satu ayat saja bisa melahirkan banyak pendapat.”
Maka, kembali kepada Al-Qur’an berarti kembali
pada aneka tafsir dan ragam pandangan—
kecuali jika hati kita mau memberi ruang pada toleransi.
Umar bin Abdul Aziz bahkan bersyukur
karena para sahabat berbeda pendapat,
membuka ruang lebih luas bagi kita
untuk memilih yang lebih tepat dan maslahat.
Aku pun pernah menapaki jejak dialog lintas batas:
menghadiri Jalsah Ahmadiyah di London,
dan memenuhi undangan ke Qadian, India—
tempat lahirnya komunitas itu.
Di tanah air,
sebagai pejabat aku mengundang pimpinan Ahmadiyah Sulsel
dan Ketua Majelis Fatwa MUI Sulsel
untuk duduk satu meja di aula UIN Alauddin.
Salah satu topik panas adalah soal kenabian
setelah Muhammad SAW.
Saiful Uyun dari Ahmadiyah menjelaskan:
“Nabi” yang mereka maksud adalah jamak dari anbiya—
pembawa berita,
bukan Nabi syar’i pembawa syariat.
Nabi syar’i telah berakhir dengan Rasul terakhir,
maka dari sini,
sesungguhnya perbedaan itu memudar.
Namun semua ini hanya mungkin
bila hati kita optimis,
bila tiada yang memaksakan pendapat pada yang lain,
bila tiada yang mengharamkan perbedaan.
Dalam memahami agama,
hendaklah kita melatih keluwesan hati—
sebab keras kepala adalah dinding,
dan kelapangan hati adalah jembatan.
Mari belajar memelihara persamaan,
dan menerima perbedaan
sebagai sunnatullah untuk fastabiqul khairat.
Wassalam,
Kompleks GFM, 4 Agustus 2025