Apakah betul saya sudah kaya secara jejaring, modal sosial yang saya eluk-elukkan? Izinkan saya bercerita sedikit, semoga anda sabar membacanya. Kejadiannya tiga hari lalu.
Setelah turun dari pesawat di Cengkareng bersama Wakil Rektor Akademik kami, Prof. Kamal, kami menaiki taksi menuju sebuah hotel. Situasinya hujan dan banyak genangan air di jalan. Saya mencoba memanfaatkan situasi macet di jalan tol dengan mengaji. Sambil mobil bergerak pelan, kami melewati sebuah mobil mogok. Kata orang, jenis mobil mogok itu mobil mahal. Saking mahalnya mobil itu, di kota saya saja yang sudah metropolis, saya hanya melihat mobil seperti itu melintas sekali dalam beberapa bulan.
Ternyata ban mobil mahal itu kempes. Penumpang mobil itu keluar dari mobil dan naik mobil ke taksi yang datang menjemputnya. Saya berhenti mengaji, mengamati kempesnya ban mobil mahal itu, dan berpindahnya seorang penumpang ke taksi, yang kemungkinan pemiliknya. Saya hanya bilang ke Pak Warek, mobil itu mahal, sambil saya lanjutkan mengaji.
Sambil mengaji ada yang menggelayut sangat kuat di pikiran saya, yaitu ingin membahas khusus dengan Pak Warek, masalah mobil mahal yang kempes bannya itu. Pemandangan itu betul "mengganggu" benak saya, apa relevansi kemahalan sebuah mobil kalau bannya masih bisa kempes? Saya berpikir bukankah salah satu yang membuat mahal sebuah mobil karena bannya bisa bertahan dalam situasi apa saja.
Ada semacam tanda tanya besar sambil saya berusaha menyelesaikan membaca Qur'an sampai akhir juz, supaya tidak ketinggalan jumlah juz dari berjalannya hari-hari Ramadan. Jadi saya mengaji di taksi bukan karena saya rajin mengaji, tetapi memanfaatkan waktu supaya bisa menamatkan bacaan saya di penghujung Ramadan.
Tidak lama setelah saya menyelesaikan target bacaan, tiba-tiba terdengar bunyi mesin mobil taksi yang saya naiki tersendat dan akhirnya mati. Sopirnya berusaha membunyikan lagi tapi sama sekali tidak berhasil. Mobil berhenti pada situasi hujan di jalan tol yang macet.
Awalnya kami merasa sangat biasa saja, saya pikir pasti sopirnya punya cara untuk mengatasi hal seperti ini. Tapi ternyata, seiring waktu berjalan, tidak ada apa-apa yang terjadi. Untung baik saya masih bisa menurunkan kaca mobil sebelum mobil itu sepenuhnya kehilangan power. Sopirnya keluar dari mobil di kehujangan dan saya mengamati semua mobil lewat, berharap ada yang mau menawarkan tumpangan.
Setelah waktu berjalan sekitar 15 menit, kami mencoba berbicara dengan sopir, tapi ternyata jawabannya membuat lemas. Katanya, sudah menelpon operatornya tapi tidak ada respon. Dari situ, saya berpikir kami harus membantu diri kami sendiri.
Saya mencoba menyetop setiap taksi dengan lambaian tangan dari dalam mobil karena hujan, tapi sepertinya sia-sia. Hampir semua taksi yang keluar dari Bandara pasti terisi. Bahkan banyak dari sopir hanya senyum-senyum melihat tingkah saya. Sambil melambaikan tangan dari jendela pintu mobil, sesekali saya berteriak, "tumpangannya". Tapi tetap tidak membantu, bahkan tidak ada yang dengar karena kaca mobil mereka semua tertutup.
Kami merasa "hopeless" saat itu, sampai sebuah taksi kosong yang tidak terduga lewat, karena ingin pulang istirahat.
Ada banyak pelajaran penting yang saya petik dengan mogoknya mobil taksi yang saya tumpangi, terkhusus ragam pelajaran kesombongan, namun saya hanya fokus pada aspek pelajaran pada kesombongan jaringan. Saya baru saja "mendewakan" kekuatan jejaring sebagai modal kehidupan terbaik. Di situ juga tercermin sikap saya bahwa saya contoh orang yang bisa membangun networking.
Pelajaran mobil mogok itu membuat saya semakin tersadar bahwa saya bukan orang yang terkenal, lebih tepatnya "tidak ada" yang kenal. Ribuan mobil lewat, tidak ada satupun ya…