Gambar ”(Ber)agama Kekanak-kanakan” (10)

Fisikawan besar asal Jerman, Albert Einstein (1879-1955) pernah menulis dalam konteks agama Yahudi bahwa agama hanyalah penjelamaan “takhayul paling kekanak-kanakan” (“For me the Jewish religion like all others is an incarnation of the most childish superstitions”).
 
Begitu juga, beberapa filsuf memandang bahwa agama lebih diperlukan manusia pada fase kanak-kanak. Sebab, potensi akalnya belum sepenuhnya teraktualkan untuk menjadi pemandu dalam hidupnya.

Karena pengetahuannya hanya berasal dari pengalaman empiris yang spontan, seorang bocah masih butuh bimbingan orang dewasa untuk menjalani hidupnya dengan selamat. Misalnya, untuk memberitahu dia tentang bahaya bermain api, memegang benda tajam, menelan zat beracun dan mendekati binatang buas. Jika tidak, tentu si bocah dapat mencelakai diri sendiri. Anak kecil juga cepat mematuhi perintah atau menjauhi larangan jika dijanjikan suatu imbalan atau diancam dengan suatu hukuman.

Menurut filosof, fungsi orang dewasa bagi seorang anak kecil yang akalnya belum sempurna sama dengan fungsi agama bagi manusia yang belum mampu mendayagunakan akalnya. Logikanya, semakin seseorang mampu mengaktualkan potensi akalnya secara optimal kebutuhannya terhadap agama semakin berkurang. 

Faktanya, sejumlah negara sekular atau ateis mampu mencapai tingkatan hidup sejahtera, aman dan damai walau hanya berdasarkan aturan moral-politik yang dibuat warganya secara rasional atau prinsip-prinsip humanisme universal.

Tentu saja pandangan di atas terlalu ekstrim dan mengabaikan peran lain agama yang melampaui domain rasio. Namun, pada ekstrim lain, masih banyak orang dewasa yang mengidap mentalitas kekanak-kanakan dalam beragama karena mengabaikan peran akal. Semua hal mau diagamakan, atau dicarikan justifikasi keagamaannya, walau bisa dibahas atau diselesaikan secara rasional.

Sebagai contoh, seorang pengendara motor yang memakai helm atau pengendara mobil yang memasang sabuk pengaman hanya karena takut ditilang oleh polisi lalu lintas. Karena itu, jika tidak melihat seorang polisi di sekitar jalan raya, mereka tak akan mengenakan helm atau sabuk pengaman. 

Jika mau bersikap dewasa atau berpikir rasional, si pengendara seharusnya mengetahui bahwa helm atau sabuk pengaman itu berfungsi untuk melindungi dirinya dari cedera berat jika terjadi kecelakaan.

Di bulan Ramadan, misalnya, ajaran tentang surga-neraka, halal-haram, dosa-pahala, dan sebagainya, masih menjadi tema rutin ceramah di mimbar-mimbar dakwah. Orang-orang tiba-tiba begitu semangat menjalankan lebih banyak ritual agama daripada di sebelas bulan sebelumnya. 

Semangat seperti itu bukan terutama dipantik oleh pengetahuan tentang manfaat konkret dari ritual-ritual itu dalam kehidupan dunia, tapi karena pahalanya yang berlipat ganda. Juga karena sekadar ada harapan masuk surga dan ketakutan masuk neraka.

Sikap keberagamaan seperti ini tentu persis seperti sifat atau mentalitas seorang anak-anak kecil. Yaitu, mereka begitu patuh jika ada imbalan atau ancaman hukuman. Atau takut melakukan sesuatu hanya jika mengetahui ada seseorang atau sesuatu yang sedang mengawasinya.

Tentu sebuah mentalitas berbahaya jika seorang lebih merasakan “kejauhan” (transendensi) Tuhan daripada “kehadiran”-Nya (imanensi). Seakan Tuhan tidak maha melihat dan mahahadir. Persis seperti prilaku seorang pengendara bermotor yang ugal-ugalan atau pembalap liar di jalan raya yang meyakini bahwa takada polisi yang sedang mengawasinya.

Padahal, aturan berlalu-lintas justru dibuat untuk memastikan keselamatan para pengguna jalan, bukan demi kepentingan aparat polisi lalu lintas. Sama halnya, agama diciptakan untuk memastikan keselamatan manusia di dunia-akhirat, bukan demi kepentingan Tuhan.

Sayang sekali pemeluk agama umumnya tidak mau berusaha memahami dan menikmati manfaat praktis dari setiap ritual agama untuk kehidupan di dunia. Padahal, banyak ulama sudah menunjukkan betapa setiap ajaran agama itu, selain memberika kebaikan atau manfaat ukhrawi, juga manfaat duniawi, atau kekinidisinian. 

Akibatnya, terjadi kegamangan dalam hidup mereka. Kepatuhan pada ajaran agama, atau teks-teks suci agama, hanya terlihat saat berada di rumah-rumah ibadah, atau saat menjalankan ibadah. Tapi saat menjalani aspek hidup yang bersifat “duniawi”, ajaran-ajaran agama tentang bagaimana hidup di dunia secara bermoral dan berkemanusiaan sehingga melahirkan hidup yang damai, harmoni, toleran dan bahagia, cenderung diabaikan. 

Ramadan, terutama ritual puasa, menjadi momentum terbaik membangun mentalitas beragama secara orang dewasa: sadar, rasional, mandiri, berdisiplin, tekun, bertanggung jawab, mengendalikan diri, dan sebagainya. 

Puasa adalah ritus paling jitu untuk menempa sifat disiplin, jujur dan ikhlas. Ketiganya adalah modal utama untuk menjalani hidup secara individual dan komunal dengan damai, harmonis dan bahagia. Pusat pelatihan pendewasaan diri dalam beragama itu ya bernama puasa. []