Perbedaan pendapat dalam masalah furūʾ (cabang hukum Islam) sesungguhnya menyimpan dua hikmah penting: mendorong dinamika berpikir dan memberi kelapangan hati bagi setiap Muslim.
1. Dinamika Berpikir Menurut filsafat Hegel, pertentangan gagasan melahirkan kemajuan berpikir: sebuah tesis akan mengundang antitesis, dan dari keduanya lahirlah sintesis baru. Proses ini berulang tanpa henti, memperkaya kedalaman pemahaman kita—tak sekadar jawaban “ya” atau “tidak,” melainkan jawaban yang dibentuk oleh perjalanan waktu dan konteks sosial.
Contohnya, saat Umar bin Abd al‑Azīz menjabat sebagai gubernur Madinah, ia menetapkan bahwa gugatan cukup dihadirkan satu saksi, karena penggugat sanggup bersumpah sebagai “saksi” kedua. Keputusan itu lahir dari keyakinannya pada kejujuran masyarakat Madinah. Namun, ketika ia menjadi khalifah di Damaskus, ia kembali mewajibkan dua saksi. Masyarakat Syiria—yang tengah giat berdagang—dinilai kurang dapat diandalkan, sehingga syarat satu saksi dan satu sumpah dirasa kurang memadai. Kebijakan beliau menunjukkan betapa putusan hukum dapat berubah mengikuti kondisi sosial setempat.
2. Memberi Kelapangan Hati Perbedaan pendapat adalah rahmat karena membuka ruang pilihan yang luas bagi setiap Muslim sesuai kemampuan dan kondisi masing‑masing. Allah SWT berfirman bahwa Dia tidak membebani seseorang melebihi kesanggupannya (QS. 2:282). Dengan adanya multipleksitas pendapat para sahabat, kita diberi alternatif amalan terbaik yang tetap sah dan meringankan.
Umar bin Abd al‑Azīz pernah menegaskan, “Seandainya para sahabat Nabi ﷺ tidak berbeda pendapat, niscaya kita tidak akan mendapat keringanan apa pun.” Ketidaksepakatan mereka menandakan kasih sayang Tuhan yang mengizinkan fleksibilitas ijtihād dalam batas syar‘i.
Sejarah awal Islam penuh teladan toleransi dan tawadhu‘ dalam berhukum. Diceritakan, suatu saat Imam al‑Syāfi‘ī shalat Subuh di masjid yang di dalamnya terdapat makam Imam Abū Ḥanīfah di Baghdad. Saat i‘tidad pada rakaat kedua, beliau tidak membaca qunūt, dan setelah tahiyat tidak melakukan sujud sahw—padahal aqīdahnya mewajibkan sujud sahw bila meninggalkan qunūt. Murid‑murid tercengang, hingga kemudian beliau menjelaskan bahwa itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan (li‑iḥtirām) kepada Imam Abū Ḥanīfah.
Contoh‑contoh tersebut menggarisbawahi bahwa sikap toleran terhadap perbedaan dalam furūʾ memiliki akar sejarah yang kuat, dan warisan ini akan terus mewarnai umat Islam hingga generasi mendatang.
Wassalamu’alaikum. Kompleks GPM, 9 Mei 2025