Bila kita beda dalam furū‘ yang terbuka, Itu bukan dinding, tapi jendela cahaya. Bukan luka, tapi ladang hikmah bersemi, Rahmat tersembunyi bagi hati yang bersih dan berani.
Bukan satu warna yang mewarnai langit Islam, Melainkan pelangi ijtihad yang merangkul dalam salam. Tesis bertemu antitesis—lahirkan sintesis, Seperti kata Hegel: itulah hidup yang dinamis.
Umar bin Abd al-‘Azīz pernah berkata lantang, Ketika di Madinah, cukup satu saksi dan sumpah yang tenang. Sebab masyarakatnya jujur dalam setiap gerak, Namun di Damaskus, dua saksi jadi langkah bijak.
Ia tahu, hukum bukan batu kaku, Tapi cermin zaman dan wajah yang baru. Fleksibel, adil, tak mengikat tanpa alasan, Karena Tuhan tak bebankan yang di luar kemampuan.
“Seandainya para sahabat tak pernah berbeda,” Kata Umar penuh makna, “Niscaya tak ada keringanan bagi manusia.” Maka perbedaan adalah pelipur, bukan derita.
Imam al-Syāfi‘ī di makam Abu Ḥanīfah bersujud dalam hening, Tak membaca qunūt, meski itu keyakinan yang sering. Tak pula ia sujud sahwi, meski itu tuntunan hatinya, Karena yang ia bawa lebih tinggi: adab dan cinta.
Murid-murid terdiam, bertanya dalam hati, Beliau menjawab: “Ini karena penghormatan yang sejati.” Betapa agung warisan ulama terdahulu, Yang saling merangkul, bukan memukul satu sama satu.
Perbedaan bukan duri dalam tubuh umat, Tetapi rahmat yang melapankan, kata H. Fadli Luran Dan taman dengan bunga yang bervariat. Mari pelihara khazanah ini dengan jiwa lapang, Agar Islam terus hidup—bijak, damai, dan terang.
Kompleks GPM, 11 Juni 2025