Peran Benjamin Frederik
Mattes, seorang misionaris Belanda, yang ditugaskan ke Sulawesi Selatan, sangat urgent dalam membakukan Bahasa Bugis-Belanda pada pertengahan abad ke-19. Pada tahun 1856, Mattes menyusun sebuah kamus bahasa Bugis-Belanda menjadi salah satu upaya pertama untuk mendokumentasikan dan membakukan bahasa ini secara sistematis.1)
Jika ada yang meragukan kesempurnaan kamus ini. Itu adalah wajar, mengingat era penciptaannya di pertengahan abad ke-19 lalu, bahkan bagi saya perlu mendapat apresiasi sebagai karya perintis.

Aksara Bugis nampaknya lebih mudah dibakukan daripada aksara Makassar.2)
Ada beberapa alasan mengapa aksara Bugis—atau "sulapa eppa" yang berarti "empat sisi" karena bentuk aksaranya yang berbentuk persegi—dinilai lebih mudah untuk dibakukan dibandingkan dengan aksara Makassar. Salah satunya adalah struktur dan bentuk aksara Bugis yang lebih teratur dan sederhana, dengan jumlah karakter yang lebih terbatas serta lebih mudah dibaca dan diadaptasi untuk kebutuhan tulis-menulis sehari-hari.3)

Di sisi lain, aksara Makassar yang disebut "aksara jangang-jangang" (huruf burung) memiliki bentuk yang lebih rumit dan hiasan yang lebih banyak, membuatnya sulit untuk diadaptasi ke dalam sistem penulisan yang lebih umum dan praktis pada masa itu. Penggunaan aksara Bugis yang lebih efisien dan fleksibel mungkin menjadi alasan mengapa bahasa ini menjadi lebih mudah dibakukan dan diajarkan. Perlu dijelaskan bahwa pelajaran sejarah yang saya dapatkan adalah sejarah memiliki hubungan yang bersifat rasional. Saya melihat bangsa Indonesia masa kini, walau katanya sudah memasuki era 5.0. tetapi masih ada yang berpaham klenik yang irrasional. Jika ada sejarah irrasional dinamakan sejarah sakral dan tidak akan dipelajari di perguruan tinggi.

MENJAWAB PERTAYAAN NETIZEN TENTANG ORISINALITAS POTO SULTAN ALAUDDIN DAN HASANUDDIN

Gambar atau poto Sultan Alauddin dan Sultan Hasanuddin, apakah orisinal atau hanya rekaaan seniman. Disini urgensi mengetahui sejarah perkembangan fotografi, yaitu nanti abad ke-19 baru dalam proses penyempurnaan itu pun masih black-white dan memakai plat tims dalam membuat poto dan nantilah abad ke-20 baru berwarna serta sempurna. Sedang masa hidup Sultan Alauddin dan Sultan Hasanaddin adalah di era abad ke-17. 
Karena itu dapat dipahami jika gambar Nabi Isa yang ada di Eropa menyerupai orang Eropa, sedang gambar Nabi Isa yang ada China menyerupai orang China, dan di Jawa menyerupai orang Jawa sesuai yang mereka imajinasikan. Demikian pula Sultan Alauddin dan Sultan Hasanuddin, menurut saya adalah hasil rekayasa atau perkiraan para seniman.
Menurut Wawancara saya dengan almarhum Drs. H. Amir Said bahwa adalah hasil inisiasi beliau yang diminta pada seniman yang memiliki kemampuan bermimpi menembus dimensi waktu ke abad-17 dan dengan hasil ijtihadnya ia mampu menghasilkan gambar Sultan Alauddin yang di pasang di kantor pusat UIN di Samata. Tetapi dalam wawancara saya pada mantan warek II, Drs. K.H. Muhammad Ahmad bahwa "Sejak masa kami gambar itu belum pernah diputuskan oleh senat," kata belia dalam wawancara tiga hari lalu. Saya tidak bermaksud agar civitan akademika alauddin menjadi skeptis melihat gambar itu. Walau jika skeptis tidak jadi masalah jugs bagi seorang akademisi. Menurut yang saya pahami dan ajarkan ke mahasiswa bahwa sejarah itu rasional. Jika ada sejarah irrasional itu adalah sejarah sakral yan tidak dipelajari di perguruan tinggi. Sekali pun bangsa Indonesia sedang hidup di era 5.0 namun masih percaya pada klinik yang irrasional. Umat Islam beruntung karena dari pada skeptis, lebih baik agama mereka melarang menggambar Allah swt.
تفكروا في خلق الله ولاتتفكر في ذاته
Sekali lagi fotografi yang sempurna baru saja ditemukan abad ke-20, sedang Sultan Alauddin dan Hasanuddin hidup pada Abad ke-17.
Dengan keterbatasan informasi visual di masa lalu, gambaran tokoh-tokoh ini sering kali disesuaikan dengan identitas masyarakat yang menggambarkannya, memberikan kesan bahwa sosok tersebut "lebih dekat" dan "lebih relevan" bagi mereka. Jadi, skeptisisme terhadap keaslian gambar Sultan Alauddn dan Hasanuddin atau tokoh sejarah lain adalah hal yang wajar, karena lebih merupakan interpretasi daripada dokumentasi.

Kita kembali lagi ke judul di atas bahwa usaha B.F. Mattes sama dengan usaha para ulama yang datang kemudian untuk penyebaran bahasa Bugis di Sulawesi Selatan, tetapi berbeda dalam motivasi, jika Mattes sebagai missionaris termotivasi mendokumentasikan bahasa Bugis, dimaksudkan untuk penyebaran agama Kristen dan penguatan identitas budaya Bugis di Nusantara. Terlebih lagi, pengaruhnya bisa dirasakan dalam memfasilitasi interaksi antara masyarakat Bugis dengan bangsa Eropa, khususnya dalam penyebaran literasi dan agama Kristen pada masa kolonial. B.F. Mattes menurut yang saya pelajari di Leiden dianggap salah seorang misssiologi paling berhasil dari banyak missiologi yang pernah dikirim oleh Belanda di masa kolonial. Berbeda dengan motivasi para ulama yang kembali dari Mekah di abad ke-20, walau pun tujuannya sama yakni  penyebaran bahasa Bugis, para ulama termotivasi untuk penyebaran Islam lewat bahasa Bugis dan sekitanya seperti di Mandar. Di Mandar belajar mengaji wajib lewat bahasa Bugis. Peran mensosialisikan bahasa Bugis berlangsung sejak para ulama pulang dari Mekah, seperti K.H. As'ad yang kembali tahun 1930. Dan berlanjut terus sampai generasi sesudahnya Seperti K.H. Daud Ismail di Soppeng. K.H. Abd. Muin Yusuf di Sidrap, K.H. Ambo Dalle di Pare-pare, dan  sampai kini K.H. Farid Wajdi di Mangkoso, serta di Pesantren As'adiyah di Sengkang. Peran ini nanti dilihat pada tulisan berikutnya yang berjudul, "Peran KH As'ad dan kawan-kawan dalam islamisasi lewat bahasa Bugis", melalui pengajian, via halaman, mass media, radio As'adiyah dan majalah, seperti dapat dibaca pada tulisan selanjutnya.

Wasalam,
Kompleks GPM, 14 Nov. 2024


1) B.F. Mattes, Bugiseche Chrestomathie (Amsterdam G.A. Sains & Zoon 1883)
2) Dikutip dari ChatTransformer.
Kamus Bahasa Bugis-Belanda bisa dilihat di Perpustakaan KITLV Leiden.
3) Lihat Ahmad M. Sewang, "Masyarakat Madani dalam Buku Tuhfatun al Nafis Karya Raja Ali Haji, "Seminar Internasional kerjasama UMI dan Malaya University," 6 Nov. 2024