Pernahkah kita tersenyum puas, sementara ada air mata yang mengalir diam-diam karena kebijakan atau keputusan kita?
Pernahkah kita duduk di kursi kehormatan, namun sesungguhnya berdiri di atas punggung orang-orang lemah yang tak mampu melawan?
Berapa banyak keberhasilan kita yang diam-diam berhutang pada kebisuan mereka yang tak punya suara?
Sudahkah kita bertanya kepada hati kita sendiri, apakah semua ini benar-benar halal bagi jiwaku? Ataukah ini sekadar kepuasan ego yang dilumuri duka orang lain?
Apakah langkah kita menuju sukses diridhoi, atau justru diiringi rintihan mustadh‘afin yang tidak sempat berkata "tidak"?
Pernahkah kita merasa bahagia, namun tiba-tiba hati menunduk tanpa sebab?
Pernahkah kita menggenggam kemenangan, namun tangan terasa dingin, seolah ada kesedihan orang lain yang tertinggal di sela jemari?
Di balik tepuk tangan, pernahkah kita dengar bisikan lirih yang tak terdengar telinga, tapi menggetarkan dada, sebuah rintihan dari jiwa-jiwa yang kita lewati begitu saja dalam perjalanan menuju puncak?
Hidup adalah panggung sementara, dan kita hanyalah pelintas dalam drama ilahi yang tak selalu disambut dengan lampu sorot. Kadang, dalam gelapnya ruang batin, kita harus jujur bertanya; adakah kebahagiaanku hari ini dibangun di atas derita yang tak bersuara?
Zaman telah berubah. Tapi nurani, tak pernah usang. Ia tetap mengetuk, meski pelan, agar kita tak lupa bahwa ada duka yang tidak meledak, hanya mengalir diam-diam.
Ada penderitaan yang tak menuntut, hanya mendoakan dalam hening. Dan ada kezaliman yang tak menampar, tetapi membekas di langit sebagai doa yang menggugat.
Betapa sering manusia memanggul mahkota kesuksesan yang gemerlap, namun kakinya berdiri di atas punggung orang lemah.
Betapa mudah kita melangkah tanpa menoleh, lupa bahwa setiap tapak yang kita pijak, bisa jadi adalah tulang belakang dari mereka yang tak sempat membela diri.
Apakah kita sungguh kuat, atau kita hanya terlihat kuat karena banyak yang memilih diam?
Apakah kita benar-benar terhormat, atau hanya berdiri di panggung yang disusun dari keterpaksaan, ketakutan, atau ketidaktahuan orang lain?
Kita harus berani merenung, karena hidup bukan sekadar tentang seberapa tinggi kita mendaki, tapi seberapa suci jalan yang kita pilih untuk sampai ke sana.
Bahagia yang sejati tak pernah lahir dari luka orang lain. Dan kesuksesan yang diridhai langit, tak pernah tumbuh dari air mata yang kita abaikan.
Tulisan ini adalah lentera kecil, menyibak kabut ego, menyuarakan suara yang terpendam, mengajak kita kembali pada kejujuran yang terlupa.
Sebab, hanya dengan itulah jiwa akan merasa ringan, dan langkah tak lagi dihantui oleh bisik-bisik azab dari langit.
Maka mari kita duduk sejenak. Diam. Dengarkan suara hati yang jujur. Dan bertanya sekali lagi.
Apakah yang kita sebut sebagai bahagia… sungguh layak kita rayakan?”
Jika pertanyaan-pertanyaan ini membuat hati kita bergetar, maka bersyukurlah. Karena hati yang masih mampu bergetar adalah hati yang belum mati.
Inilah panggilan nurani. Panggilan untuk kembali, dari kesenangan semu menuju kejujuran hakiki.
Menelisik makna filosofis dan Spiritual
Kebahagiaan bukanlah prestasi pribadi semata. Ia adalah pancaran keadilan, buah dari ketulusan, dan hasil dari perjuangan yang tidak mencederai hak orang lain.
Tetapi hari ini, dalam riuhnya dunia, sebagian kita mungkin tergoda untuk meraih bahagia dengan jalan pintas, memanfaatkan kelemahan sesama.
Ada yang menyusun takhta dari keterbatasan orang lain. Ada yang menjadikan kekurangan orang sebagai tangga untuk naik lebih tinggi. Ada yang memanfaatkan kebodohan, kemiskinan, minimnya akses, bahkan ketergantungan emosional demi menumpuk keuntungan.
Mereka berdagang atas nama empati, menjual kebaikan semu, mengemas egoisme dalam kata “kolaborasi.”
Padahal Rasulullah SAW. bersabda:
“المسلم أخو المسلم، لا يظلمه ولا يُسْلِمُهُ"
"Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, ia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya dalam kesulitan."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Lalu, jika kita menyebut diri saudara, bagaimana bisa kita membangun kebahagiaan di atas rintihan saudara sendiri?
Pesan-pesan Ilahiyah Sebagai Cahaya Jalan
1. Allah melarang memanfaatkan kelemahan dan mengambil hak secara licik
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil…”(QS. Al-Baqarah: 188)
Imam Qurtubi menjelaskan:
"Ini bukan hanya soal harta, tetapi seluruh bentuk pemanfaatan yang tidak adil atas hak orang lain, termasuk akal, jabatan, dan relasi."
2. Doa orang yang terdzalimi tidak ada hijab dengan Allah
“اتَّقُوا دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ"
"Takutlah kalian terhadap doa orang yang dizalimi, karena tidak ada penghalang antara doa itu dan Allah."(HR. Bukhari dan Muslim)
Apakah kita sadar, mungkin ada suara lirih di malam hari yang mengadukan nama kita kepada langit, karena ketidakadilan yang kita tutupi dengan retorika?
3. Allah mencintai keadilan dan membenci kezaliman
“إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَٰنِ..."
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat baik..."(QS. An-Nahl: 90)
Sayyidina Umar bin Khattab berkata:
متى استعبدتم الناس وقد ولدتهم أمهاتهم أحراراً؟"
"Sejak kapan kalian memperbudak manusia, padahal ibu mereka melahirkan mereka sebagai orang merdeka?"(Riwayat Ibnu Abdil Hakam dalam Futuh al-Misr)
Wujud Kejahatan Modern yang Halus”
Eksploitasi intelektual: Mengambil ide dan kerja keras orang lain, lalu mencantumkan nama sendiri.
Eksploitasi akses dan koneksi: Menggunakan pengaruh kekuasaan untuk meloloskan diri dari proses yang adil.
Eksploitasi kebaikan hati, Menggunakan rasa hormat, ketakutan, atau harapan orang lain untuk memaksa mereka memberi sesuatu tanpa rela.
Eksploitasi sosial dan emosional, Menjadi “baik” untuk mengambil keuntungan dari kepercayaan orang lemah, lalu meninggalkan mereka saat tidak lagi dibutuhkan.
Ini semua bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi bentuk kedzaliman modern yang terbungkus rapi.
Kemuliaan Hakiki , Bukan Kemewahan Palsu
Hidup bukan tentang siapa yang paling tinggi berdiri, tapi siapa yang paling sedikit menyakiti saat ia berdiri.
Karena orang-orang yang naik ke puncak dengan cara menginjak orang lain, kelak akan jatuh, bukan karena tiupan angin, tapi karena tanah yang mereka langkahi ternyata menyimpan luka dan doa.
“وَلَا تَحْسَبَنَّ ٱللَّهَ غَٰفِلًا عَمَّا يَعْمَلُ ٱلظَّٰلِمُونَ"
"Dan janganlah kamu mengira bahwa Allah lengah terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim."(QS. Ibrahim: 42)
Jalan Lurus Setelah Merenung
1. Bangunlah sukses yang diberkahi, bukan yang dikutuk air mata.
2. Pilihlah keberkahan daripada popularitas kosong.
3. Jangan bangga naik jabatan jika itu mengorbankan yang lemah.
4. Jangan bersyukur atas bisnis yang tumbuh dari keterpaksaan dan kebodohan orang lain.
5. Ingat, Allah tidak buta. Nurani kita pun tahu.
Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain."
Dan seburuk-buruk manusia adalah yang merasa bahagia, sementara rintihan orang lemah menjadi soundtrack dari kesuksesannya.
Wallahu A’lam Bis-Sawab