Kakek Ibnu Athaillah adalah seorang terkenal di masanya dan termasuk di antara mereka yang menolak tasawuf.
Ibnu Athaillah pun seperti kakeknya sebelum ia mengenal tasawut.
Ia sebelumnya biasa berujar, "Tidak ada selain ahli ilmu lahir. Kaum itu (para sufi) mengklaim berbagai hal besar yang ditolak oleh syariat lahir.”
Kalimat, manakala telah bertemu dengan Abul Abbas al-Mursi, pemikirannya berubah, bahkan seluruh hidupnya berubah. ia sendiri menceritakan apa yang terjadi pada dirinya sesudah pertemuan pertama itu:
Kemudian, aku datang ke rumah pada malam itu namun tak kutemukan sesuatu pun pada diriku yang menerima kumpul dengan keluarga sebagaimana kebiasaanku. Aku mendapati sebuah perasaan aneh yang aku tak tahu. Aku pun menyendiri di suatu tempat seraya memandang langit dengan bintang-bintangnya dan segala keajaiban kuasa Allah yang diciptakan-Nya di langit. Hal itu membawaku untuk kembali lagi kepadanya (kepada Abil-'Abbas al-Mursi).
Aku pun mendatanginya lalu aku diizinkan untuk menemuinya. Manakala aku masuk ke menemuinya, ia benar-benar berdiri serta menyambutku dengan berseri-seri dan mendekati, sehingga aku benar-benar terkejut dan merasa diriku tak pantas diperlakukan seperti itu.
Yang pertama kukatakan kepadanya: “Wahai tuanku, aku, demi Allah, mencintaimu”
Ia berkata, “Semoga Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintaiku.”
Aku kemudian mengadukan kepadanya berbagai keresahan dan kesedihan yang kurasakan. Ia mengutarakan:
Keadaan seorang hamba itu empat (dan) tidak ada kelimanya: nikmat, musibah, taat, dan maksiat.
Jika engkau berada pada keadaan nikmat tuntutan kebenaran kepadamu adalah syukur Jika engkau berada pada keadaan musibah tuntutan kebenaran kepadamu adalah sabar. Jika engkau berada pada keadaan maksiat, tuntutan kebenaran kepadamu adalah istigfar Jika engkau berada pada keadaan taat, tuntutan kebenaran kepadamu adalah menyaksikan pemberian karunia-Nya kepadamu,
Aku lalu bangun dari sisinya dengan seolah-olah berbagai keresahan dan kesedihanku adalah baju yang telah dilepaskan olehnya.
Beberapa waktu setelah itu, ia bertanya kepadaku, “Bagaimana keadaanmu?”
Aku menjawab, “Kutelisik keresahan (pada diriku) namun tak kutemukan”
Ia berpetuah, “Tetaplah begitu. Demi Allah, sungguh jika engkau tetap begitu, engkau benar-benar akan menjadi mufti dalam dua mazhab.” Yang dimaksudnya ialah mahzab ahli syariat, ahli ilmu lahir, dan mazhab ahli hakikat, ahli ilmu batin. Dikutip dari kitab Min Ma'arif al-Sadah al-Sufiyyah karya Syekh Muhammad Khalid Tsabit..