Apakah perbedaan memang ditakdirkan untuk dipertentangkan, atau justru untuk disatukan?
Mengapa sesuatu yang lahir dari kehendak Tuhan sering kali berujung pada pertengkaran manusia?
Dan di tengah dunia yang kian gaduh oleh klaim kebenaran, masihkah kita mampu melihat perbedaan sebagai rahmat, bukan ancaman?
Pertanyaan-pertanyaan ini mengajak kita berhenti sejenak dari kebiasaan menghakimi, lalu menundukkan hati untuk merenung.
Sebab perbedaan bukanlah kecelakaan sejarah, melainkan ketetapan Ilahi yang sarat makna.
Dunia tidak diciptakan dengan satu warna, satu suara, dan satu cara pandang. Justru dalam keragaman itulah kehidupan menemukan dinamika dan keseimbangannya.
Allah berfirman dengan sangat jelas:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.”(QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan perbedaan bukanlah untuk saling meniadakan, tetapi untuk saling memahami.
Namun dalam praktik kehidupan sosial, perbedaan sering kali kehilangan maknanya. Ia berubah menjadi alat pembeda kasta, bahan bakar konflik, bahkan pembenaran untuk menyingkirkan yang lain.
Padahal, setiap perbedaan adalah potongan mozaik yang bila disusun dengan kesadaran akan membentuk keindahan.
Seperti anyaman, kekuatannya tidak lahir dari satu helai benang, tetapi dari pertautan banyak helai yang saling menguatkan. Benang yang berdiri sendiri mudah putus, tetapi ketika disatukan, ia mampu menahan beban.
Rasulullah SAW. mengingatkan kita tentang nilai persaudaraan dan keterikatan sosial:
lالْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin bagi mukmin yang lain seperti bangunan, saling menguatkan satu sama lain.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Bangunan tidak mungkin kokoh jika seluruh batunya sama bentuk dan ukurannya. Ia justru kuat karena perbedaan fungsi setiap bagian.
Demikian pula masyarakat. Ketika perbedaan dipahami sebagai peran, bukan ancaman, maka kebersamaan akan menemukan maknanya.
Namun mengapa perbedaan begitu mudah memicu konflik? Karena sering kali manusia lebih sibuk membela identitas daripada menjaga kemanusiaan.
Ego kelompok mengalahkan nurani, dan kebenaran dipersempit menjadi milik satu golongan. Inilah yang dikritik oleh para sahabat Nabi. Umar bin Khattab RA. pernah berkata:
“نَحْنُ قَوْمٌ أَعَزَّنَا اللَّهُ بِالإِسْلَامِ، فَمَهْمَا ابْتَغَيْنَا الْعِزَّةَ بِغَيْرِهِ أَذَلَّنَا اللَّهُ”
“Kita adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam. Jika kita mencari kemuliaan dengan selainnya, niscaya Allah akan menghinakan kita.”
Kemuliaan Islam bukan terletak pada klaim mayoritas atau keseragaman, melainkan pada akhlak yang memanusiakan.
Islam datang bukan untuk menghapus perbedaan, tetapi untuk mengelolanya dengan adab.
Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa perbedaan pendapat adalah keniscayaan dalam kehidupan manusia:
“الِاخْتِلَافُ فِي الرَّأْيِ رَحْمَةٌ إِذَا أُدِيرَ بِالْحِكْمَةِ”
“Perbedaan pendapat adalah rahmat apabila dikelola dengan kebijaksanaan.”
Di sinilah letak tantangan kita hari ini. Bukan pada perbedaannya, tetapi pada cara kita menyikapinya. Ketika perbedaan dihadapi dengan ilmu, ia melahirkan kebijaksanaan. Ketika dihadapi dengan emosi, ia melahirkan perpecahan.
Al-Qur’an mengingatkan agar kita tidak terjebak dalam konflik yang menguras energi dan melemahkan persatuan:
وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ
“Dan janganlah kamu saling berselisih, karena kamu akan menjadi lemah dan hilang kekuatanmu.”(QS. Al-Anfāl: 46)
Ayat ini bukan larangan untuk berbeda, melainkan peringatan agar perbedaan tidak berubah menjadi permusuhan. Sebab ketika energi habis untuk bertengkar, kekuatan kolektif pun menguap.
Dalam konteks sosial yang lebih luas, kebersamaan yang dianyam dari perbedaan membutuhkan sikap rendah hati untuk mengakui keterbatasan diri. Ali bin Abi Thalib RA. berkata dengan sangat bijak:
“قِيمَةُ كُلِّ امْرِئٍ مَا يُحْسِنُهُ”
“Nilai seseorang ditentukan oleh apa yang ia kontribusikan dengan baik.”
Bukan latar belakangnya, bukan identitasnya, tetapi manfaatnya bagi sesama. Inilah ukuran kebersamaan yang sejati.
Pada akhirnya, anyaman kebersamaan bukanlah proyek instan. Ia membutuhkan kesabaran, empati, dan keberanian untuk mendengar.
Ia menuntut kita untuk menahan ego, membuka hati, dan melihat manusia lain bukan sebagai lawan, tetapi sebagai mitra dalam menunaikan amanah kehidupan.
Jika perbedaan kita rawat dengan kesadaran spiritual, ia akan menjadi jalan untuk saling mendekat kepada Allah. Sebab Allah sendiri menciptakan keberagaman sebagai tanda kekuasaan-Nya. Dan ketika kita mampu menjadikannya kekuatan, maka kebersamaan tidak lagi rapuh, tetapi kokoh dan bermakna.
Maka mari kita bertanya pada diri sendiri, apakah kita ingin menjadi benang yang mudah putus karena berdiri sendiri, atau bagian dari anyaman yang kuat karena saling menguatkan?
Jawaban atas pertanyaan itulah yang akan menentukan masa depan kebersamaan kita, sebagai individu, sebagai masyarakat, dan sebagai bangsa.
#Wallahu A’lam Bish-Shawab
Alat AksesVisi