Oleh: Kamaruddin Amin (Pembantu Rektor Bidang Kerja Sama UIN Alauddin) Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan ketiga perguruan tinggi tersebut, karena they are incomparable. UIN Alauddin yang sebelumnya IAIN berdiri tahun 1965, Cornell University berdiri tahun 1865, sementara Harvard University, yang sebelumnya hanya college, universitas tertua di Amerika, berdiri pada tahun 1636. Dari perspektif kematangan umur saja sudah tidak patut dibandingkan. Dari sisi anggaran yang merupakan decisive factor peningkatan kualitas pendidikan juga tidak perlu dibandingkan, karena lagi-lagi they are incomparable. Tulisan ini mencoba melihat hal-hal apa saja yang realistis yang patut ditiru dari perguruan tinggi terkemuka dunia sebagai refleksi sederhana penulis setelah melakukan benchmarking ke perguruan tinggi tersebut. Dalam space terbatas ini, penulis akan menyoroti dua hal saja. Concern dan Komitmen Guru Besar Bukan hanya di Harvard, dan Cornell University, tapi juga di seluruh perguruan tinggi terkemuka, baik di negara maju maupun di negara berkembang, guru besar adalah status yang sangat prestisius yang merupakan common dream para akademisi. Di perguruan tinggi maju, guru besar adalah sarana aktualisasi diri akademik secara maksimal dan pengabdian total terhadap pendidikan dan penelitian. Konsekuensinya, guru besar bukan hanya otoritatif secara formal dalam merepresentasikan keahliannya, tapi memang benar-benar representasi dari ilmunya. Di samping itu, sebagai bagian dari profesionalisme, mereka sangat paham akan bidang dan keahlian serta otoritasnya, sehingga mereka tidak pernah merasa otoritatif untuk berbicara di luar keahliannya. Untuk menjadi guru besar memang tidak mudah. Di Jerman misalnya, persyaratan formal minimal untuk menjadi profesor harus mengantongi gelar Habilitation, gelar setelah DOKTOR yang membutuhkan waktu lebih lama dan lebih serius daripada DOKTOR. Karya-karya mereka tentu telah menghiasi lemari-lemari perpustakaan dunia dan menjadi rujukan utama (primary sources) para pencari ilmu. Oleh karena itu, Doktor bukanlah gelar akademik tertinggi dan akhir dari sebuah pencarian ilmu, tapi awal dari sebuah lawatan akademik serius. Dengan kata lain, disertasi adalah awal dari sebuah karya akademik serius dan akan menyusul karya-karya lain yang lebih serius. Hal ini terefleksi dari karya-karya para petualang ilmu di negara maju. Karya setelah disertasi jauh lebih serius ketimbang disertasi itu sendiri. Karakter pencari ilmu seperti itu tentu mereka yang memilih untuk mewaqafkan hidupnya menjadi akademisi dan tentu berbeda ketika menjadi politisi, birokrat atau pejabat. Karakter guru besar seperti yang digambarkan di atas setidaknya memiliki dua manfaat langsung terhadap peningkatan kualitas pengajaran dan penelitian; pertama, materi dan transfer ilmunya tentu berkualitas tinggi karena, di samping benar-benar ahli di bidangnya, mereka memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan materi ajarnya. Kedua, sebagian besar materi ajarnya adalah hasil penelitiannya sehingga lebih bersifat otoritatif dan empiris (salah satu karakter utama research university adalah materi ajar para guru besar adalah hasil penelitiannya). Rasanya tidak fair membandingkan kinerja dan produktivitas guru besar di negara maju tanpa melihat sistem dan driving force realitas tersebut. Di perguruan tinggi maju, status guru besar bukan hanya memiliki prestise sosial yang tinggi tapi reward finansialnya memang sepadan dengan statusnya. Seorang guru besar tidak perlu berpikir untuk mencari side job yang mendatangkan income tambahan, sehingga mereka bisa konsentrasi penuh untuk meningkatkan kinerja dan produktivitasnya. Ini mungkin salah satu alasan mengapa mereka lebih produktif dan lebih fokus. Adakah korelasi signifikan antara produktivitas dan reward? Dengan kata lain, kalau para guru besar kita diapresiasi sama atau diberi reward yang layak, akankah mereka seproduktif dan sefokus seperti di perguruan tingi maju? Semoga, dengan asumsi bahwa kalau kebutuhan dasar, sekunder atau bahkan kebutuhan lux sudah terpenuhi, ke mana lagi mereka akan beraktualisasi diri kalau bukan pada habitat dan naluri dasar mereka, yakni pengajaran, penelitian dan pengabdian. Sistem Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) Fenomena globalisasi yang multidimensional dapat dipastikan akan menembus dunia perguruan tinggi, baik dalam bentuk ?invasi? para ahli dari perguruan tinggi maju, maupun penetrasi dalam bentuk jarak jauh lewat internet (distant learning programme), terutama bagi perguruan tinggi yang sudah memiliki sistem ICT yang perfect seperti Harvard, Cornell dan sebagian besar perguruan tinggi di negara maju bahkan sebagian di negara berkembang juga telah memiliki sistem ICT tersebut. Sebagai contoh, University of Michigan telah menghasilkan lebih dari 14.000 alumni di luar Amerika Serikat lewat program seperti ini. Pada tahun 2001, Messachusetts Institute of Technology (MIT) mencanangkan sebuah program spektakuler yang menarik perhatian dunia, Open Course Ware, yang membutuhkan dana USD 100 juta dan membutuhkan waktu sepuluh tahun untuk merancangnya. Program tersebut bertujuan untuk menciptakan sebuah model transfer ilmu di era internet yang dapat dijangkau oleh semua orang. Bahannya adalah bahan kuliah yang diajarkan di MIT. Demikian pula, sejumlah perguruan tinggi dunia telah melakukan kerja sama pengajaran jarak jauh. Harvard, Cornell, Michigan (USA), Freiburg, Heidelberg (Jerman), McGill University (Canada), Fudan University (China), University of Auckland (Selandia Baru), Lund University (Swedia), University of Glasgow (Inggris) telah melakukan kerja sama pengajaran dan penelitian jarak jauh. UCLA dengan Kyoto melakukan kerja sama dengan menggunakan hubungan berkecepatan tinggi yang dinamakan TIDE (Transpacific Interactive Distance Education) dengan menawarkan kuliah secara simultan di kedua sisi lautan pasifik. Kuliah yang diberikan di satu universitas ditransmisikan ke universitas lain melalui kecepatan tinggi, sehingga dosen dan mahasiswa dapat bertanya jawab jarak jauh. Terlepas dari dampak positif dan negatifnya, suka atau tidak suka, sadar atau tidak, inilah fenomena globalisasi yang kadang-kadang datang lebih cepat daripada kesiapan kita untuk menerimanya. UIN Alauddin sebagai perguruan tinggi yang masih ?bayi? dan tidak dapat dibandingkan dengan perguruan tinggi yang disebutkan di atas, harus menyadari realitas tersebut dan melakukan langkah-langkah antisipatif untuk mempersiapkan diri merespons realitas tersebut. Apa yang harus dilakukan oleh UIN Alauddin dalam merespons realitas tersebut? Globalisasi adalah fenomena yang memunculkan berbagai wajah, interpretasi dan pendapat yang mendorong munculnya berbagai dampak dramatis pada manusia, budaya dan masyarakat. Ia berdampak multi dimensional yang menyangkut berbagai bidang kegiatan dan interaksi lintas batas dan lintas kontinen, termasuk ekonomi, politik sosial budaya, lingkungan personal, etika dan lain-lain. Globalisasi menghadirkan tantangan serius bagi universitas. Globalisasi membuka kesempatan baru dan keuntungan potensial, namun sekaligus risiko dan ancaman. Namun kita punya alasan untuk optimis bahwa globalisasi dapat diarahkan agar dapat lebih memanusiakan. Globalisasi memberi ruang untuk memikirkan kembali dan memperkuat peran perguruan tinggi yang menawarkan kebenaran, harapan, perikemanusiaan, perdamaian, persatuan, pembangunan sosial yang berkelanjutan, kekerasan, ketiadaan toleransi dan lain-lain. Perguruan tinggi memang harus meningkatan kualitas pelayanan sebagai pemberi pedoman universal dan referensi praktis untuk menanamkan dan mengembangkan globalisasi yang bertoleransi (compassionate globalization). Di sinilah relevansi peran UIN Alauddin yang memiliki visi misi integrasi, yang secara detail telah dijelaskan oleh Rektor UIN Alauddin di harian ini minggu lalu. Di samping itu, sadar akan realitas bahwa keterlibatan ICT dalam pengelolaan Perguruan Tinggi bukan lagi sebuah pilihan melainkan sebuah keharusan mutlak, maka lewat proyek pengembangan dan upgrading UIN Alauddin, UIN akan mengembangkan sistem dan infrastruktur ICT untuk merespons realitas globalisasi dan untuk mendukung akselerasi realisasi visi dan misi UIN Alauddin. Perguruan Tinggi maju seperti yang disebutkan di atas telah menerapkan teknologi tersebut bukan hanya untuk administrasi manajemen pendidikan, melainkan sebagai media utama dalam penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar, riset dan pengembangan serta pelayanan kepada masyarakat. Akhirnya, meskipun mimpi untuk menyamai perguruan tinggi seperti yang dideskripsikan di atas masih jauh di depan, dua poin bahasan tulisan ini bukanlah sesuatu yang mustahil terwujud di masa yang akan datang. Bahkan sedang dalam proses ke arah tersebut; guru besar yang fokus dan committed semakin bertambah dan sistem ICT yang sedang dikembangkan. As long as we have a wish, persistence and determination, a bar of iron when continually rubbed will turn into a needle. Start having determination now!