Oleh: Muhsin Mahfudz, Kandidat Doktor Tafsir UIN Alauddin Makassar Entah dari mana muasal istilah "Serambi Madinah" hingga menjadi icon Sulawesi Selatan dalam menggambarkan kehidupan keagamaan masyarakatnya. Apakah istilah ini hanya latah dengan sebutan "Serambi Mekah" untuk Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Atau apakah karena dahulu orang-orang yang hendak ke Madinah, Saudi Arabia, melalui daratan Sulawesi sebagaimana orang-orang yang hendak menunaikan ibadah haji ke Mekah melalui NAD? Agaknya sulit menelusuri jawabannya dalam catatan sejarah, tetapi ketika orang menyebut Sulawesi Selatan dengan "Serambi Madinah", sepertinya yang dimaksud adalah penggambaran atas tingkat religiusitas masyarakatnya yang sangat kental dengan nilai-nilai Alquran. Terbukti, istilah itu juga sering dijadikan jawaban simplistik bagi semangat pelaksanaan Syariat Islam di Sulawesi Selatan. Mari sejenak menengok catatan sejarah, bagaimana nilai-nilai ajaran Alquran bersanding dengan budaya Sulsel. Sejak Abad ke 16 M, pengajaran Alquran sudah mulai menggeliat di bumi Celebes yang dibawah oleh ustaz keliling dari Aceh, Minangkabau, Kalimantan Selatan, Jawa, Semenanjung Melayu dan Timur Tengah. Hanya saja, pengajaran Alquran dilakukan terbatas dalam kalangan istana, itupun objek pembahasannya terbatas pada masalah-masalah keluarga dan disatukan dalam adat istiadat yang disebut pangadareng atau pangadakkang. Hingga La Memmang To A'pamadeng berkuasa di Wajo (1821-1825), pengaruh Islam bercorak Wahabi yang dibawa oleh ulama dari Tanah Suci mulai berkembang di kalangan bangsawan Bugis. Mereka menentang kepercayaan takhyul, menghancurkan tempat-tempat keramat, bahkan berusaha menerapkan Syariat Islam seperti hukum rajam bagi pezina dan potong tangan bagi pencuri (Christian Pelras, 2005:340). Tetapi itu tidak berlangsung lama karena pengajaran Islam yang bercorak sufistik dianggap lebih egalitarian dan lebih bisa berasimilasi dengan ragam budaya lokal, terutama setelah ajaran Khalwatiyah Syekh Yusuf al-Makassari (1627-1699 M.) mulai menyebar dan berpengaruh luas, sekitar tahun 1810 (Martin Van Bruinessen, 1991:251). Pengaruh Islam Timur Tengah di Sulawesi Selatan semakin intens setelah banyaknya masyarakat muslim melakukan perjalanan haji sekaligus belajar di Tanah Suci, antara 1846 hingga 1900. Di antara orang Sulawesi yang belajar di sana adalah AGH Maddeppungeng dari Mandar dan AGH Abdullah dari Labuang, Maros (Mattulada, 1983:263). Kemudian disusul oleh AGH Muhammad As'ad (1907-1952) yang kembali ke Sengkang, Wajo, 1928 setelah belajar di Madrasah al-Falah Mekah, kemudian mendirikan Madrasah Arabiah Islamiah (MAI) Sengkang dua tahun kemudian, 1930. Dari MAI Sengkang inilah kemudian lahir ulama-ulama terkemuka di Selawesi Selatan seperti, AGH Abd Rahman Ambo Dalle (1900-1996), AGH Daud Ismail (1908-2006), AGH Marzuki Hasan (1917-2006), AGH Abduh Pabbaja, AGH Abd Muin Yusuf (1920-2004), AGH Junaid Sulaiman (1921-1996) dan sebagainya. Setelah menyebar ke berbagai wilayah di Sulsel, murid-murid AGH Muhammad As'ad mentransformasikan pemikirannya ke dalam berbagai bidang pengetahuan dengan sangat mempertimbangkan kondisi sosial di mana mereka menyebarkan pemikirannya. Meskipun "Mazhab As'adiyah" yang bercorak fikih masih terbaca jelas dalam kiprah mereka, beberapa di antaranya akhirnya consern di bidang studi al-Qur'an. Sebutlah misalnya, AGH Daud Ismail, AGH Abduh Pabaja, AGH Marzuki Hasan dan AGH Abd Muin Yusuf. Dengan demikian, perkembangan Islam di Sulsel telah melalui masa-masa sulit dalam upaya bersanding dengan budaya pribumi; ada masa ekstremis, proses akulturasi dan moderasi. Kebijakan Berwawasan Qurani Peran Ulama Sulawesi Selatan sebagai agen perubahan, sebagaimana di atas, menunjukkan bahwa nilai-nilai Alquran tidak dapat dipisahkan dari perkembangan pemahaman Islam di Sulawesi Selatan. Asimilasi antara budaya dan ajaran Islam sudah sangat menyejarah. Tidak heran jika kemudian pemerintah Sulawesi Selatan didesak untuk tidak saja menyerahkan tugas memberikan pemahaman ajaran Alquran di atas pundak ulama semata, tetapi mereka juga harus mengambil bagian agar masyarakat muslim tidak terserabut dari nilai-nilai Qurani yang diperjuangkan oleh ulama Sulsel. Boleh jadi, sebagai respons atas kehawatiran tersebut lahirlah Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pendidikan Alquran, kemudian diterjemahkan oleh beberapa Pemkab dalam bentuk intensifikasi pengajaran Alquran, seperti Bulukumba, Bantaeng, Gowa, Makassar, dan Pangkep. Lebih jauh, beberapa Pemkab yang disebutkan telah menjalin kerja sama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin melalui Program D2 IBTQ (Instruktur Baca Tulis Alquran) yang bertujuan mendidik tenaga profesional dalam mengajarkan dan memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai ajaran Alquran, terutama pada tingkat pendidikan dasar. Terlepas dari manfaat yang telah banyak dirasakan oleh masyarakat Sulsel, menurut saya, kebijakan tersebut masih diterjemahkan terlalu artifisial. Kelihatannya, apa yang dimaksud oleh pendidikan Alquran dalam PERDA Nomor 4 tersebut hanya bagaimana masyarakat Sulsel, terutama pada usia sekolah, dapat membaca Alquran. Padahal, PERDA tersebut bisa saja menjadi payung bagi pelaksanaan pendidikan Alquran bagi masyarakat menengah ke atas, dalam arti masyarakat yang sudah mampu membaca Alquran. Mestinya, Pendidikan Alquran lebih tepat dimaknai sebagai upaya memberikan pemahaman bagaimana ajaran Alquran bisa memberikan efek perubahan terhadap masyarakat ke arah yang lebih civilized (beradab). Selama ini, Alquran masih diposisikan terlalu elitis dan formalistis. Sehingga, setiap kebijakan pemerintah atau publik dianggap menyentuh nilai-nilai Alquran jika secara tegas menyebutkan kata "Alquran". Padahal, menurut saya, meskipun suatu kebijakan tidak mencantumkan kata "Alquran" atau "Islam", tidak berarti pula bertentangan dengan nilai-nilai Alquran. Gerakan "Sulsel go green" bisa dijadikan contoh bagaimana mengimplementasikan ajaran Alquran tentang ekologi, bagaimana murkanya Allah jika alam yang sedemikian indah dirusak hanya dengan alasan pembangunan [QS al-A'raf (7): 56]. Meskipun dikampanyekan dengan menggunakan Bahasa Inggris atau bahasa lain, umat Islam tidak perlu resah dan menganggap itu bukan bagian dari ajaran Alquran. Sebaliknya, sudah saatnya ulama ikut berberan aktif menerjemahkan niat baik tersebut kepada umatnya melalui bahasa agama. Ulama Sulsel banyak memberi contoh dalam kehidupan sosial politiknya bagaimana mengusung ajaran Alquran meskipun saat yang sama harus berdiri di antara kondisi yang tidak identik dengan Islam. Ketika Golongan Karya (sebelum disebut Partai Golkar) di masa Orde Baru dianggap sebagai partai yang pure nasionalis di samping PPP yang merupakan partai yang mengusung nama Islam, AGH. Abdurrahman Ambo Dalle dan AGH Abd Muin Yusuf justru lebih memilih bergabung dengan Golkar dari pada PPP. Artinya, mereka lebih mementingkan substansi ajaran Alquran dibanding sekadar mengusung label Islam semata. Dan ternyata, pengaruh mereka dalam perubahan kebijakan politik di Sulawesi Selatan sangat dirasakan. Saya tidak ingin terkesan menyebut-nyebut partai tertentu, tetapi mungkin karena itu, Partai Golkar terkesan lebih dekat dengan ulama dibandingkan dengan partai lain di Sulsel. Sangat berbeda ketika ulama Sulsel di awal abad 19 ingin mengadopsi secara utuh "Islam Wahabi" untuk melabrak segala bentuk praktek takhyul. Mereka akhirnya gagal dan akhirnya hati masyarakat Sulsel direbut oleh "Islam Sufistik" yang lebih substanstif dan egalitarian. Berkaca dari itu, hendaknya kebijakan-kebijakan yang dilahirkan untuk kepentingan publik tidak akan melupakan bagaimana ulama-ulama Sulsel "memayungi" Sulawesi Selatan dengan nilai-nilai Qurani, meskipun tidak menyebut-nyebut kata Alquran dan Islam. Bahkan, ketika memberikan pengantar dalam Kitab Tafsir Bahasa Bugisnya, AGH Abd Muin Yusuf mengemukakan, "Maunitu pekkogi sussana anrengnge perri'na, de'to nawedding ilesseri nasaba naparentangngiha Puang Allah Ta'ala riNabitta kuwammengngi napannessai anrangnge napallebbangngi akkattana Akorangnge. (Bagaimanapun peliknya (menjelaskan Alquran), tidak bisa dihindari karena merupakan perintah Allah Ta'ala kepada Nabi untuk menjelaskan dan menyebarkan kandungan Alquran. Abd Muin Yusuf, 1988:2). Pesan ini menunjukkan bahwa mengimplementasikan pesan moral Alquran jauh lebih substantif dibandingkan dengan sekedar "formalisme Alquran" atau dalam kalimat lain dapat dikatakan bahwa membaca Alquran tanpa memahami apalagi tanpa mengamalkan jauh lebih sedikit pahalanya dibandingkan dengan membacanya dengan paham dan mengamalkan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah. Demikian yang pernah dipesankan oleh Soekarno. Sebagai ajaran impor, nilai-nilai Qurani telah sukses mengawal sejarah perjalanan Sulawesi Selatan sejak bersentuhan dengan budaya pribumi. Bukan saja karena ajarannya yang amat universal, tetapi juga karena pendekatan yang dilakukan oleh ulama beralih dari pendekatan legal formal kepada mengusung substansi ajaran Alquran. Karena itu, sudah saatnya kaum elit dan masyarakat Muslim di Sulawesi Selatan menauladani ulamanya sendiri dalam mengamalkan Alquran. Wallahu a'lam bi al-sawab.