Gambar ”Al-Qur’an, Kitab Mantra atau Buku Bacaan?” (17)

Sudah jadi tradisi dalam masyarakat Muslim Indonesia menjalani malam ke-17 dari bulan Ramadan dengan memperingati Nuzulul Qur’an. Atau malam turunnya Al-Qur'an untuk pertama kalinya kepada Nabi saw. Beragam acara atau seremoni untuk itu diadakan di masjid-masjid maupun dalam bentuk acara kenegaraan. 

Bentuk peringatan Nuzulul Qur’an yang paling umum adalah di masjid-masjid sebelum pelaksanaan salat tarawih. Jamaah mendengarkan ceramah seorang ustaz tentang peristiwa malam turunnya Al-Qur’an dan tema-tema lain sekitar Al-Qur’an. Biasanya, setelah itu jemaah menyantap penganan ringan sebelum berlanjut bersalat tarawih.

Selama Ramadan, seperti halnya di negeri-negeri Muslim lainnya, masyarakat Muslim Indonesia terlihat lebih giat membaca Al-Qur’an. Banyak orang yang mampu menamatkan membacanya (30 juz) hingga minimal tiga kali selama Ramadan. Mereka tahu, membaca kitab suci ini termasuk amalan yang akan dilipatgandakan pahalanya jika dilakukan di bulan suci ini.

Karena hanya lebih intens dibaca di bulan Ramadan, Al-Qur’an nampak sebagai bacaan musiman saja, bukan bacaan harian. Tentunya itu tidak tepat dilekatkan bagi para pengkaji Al-Qur’an, pembaca (qari’), penghafal (hafiz), santri dan murid-murid di taman pengajian Al-Qur’an. Juga bagi orang-orang yang baginya membaca Al-Qur’an sudah bukan lagi sekadar kebiasaan, tapi kebutuhan. Sebagai bacaan musiman, tak jarang mushaf Al-Qur’an hanya sejenak keluar dari lemari penyimpanan di bulan Ramadan.

Bagi kaum Muslim Non-Arab, seperti orang Indonesia, membaca Al-Qur’an tanpa memahami artinya tentu saja bukan suatu hal yang sia-sia. Sebab, membacanya merupakan bagian dari ritual agama dan tetap mendapatkan pahala. Teks-teks agama dan karya-karya para ulama sudah menjelaskan itu secara eksplisit.

Menarik bahwa berbagai lembaga pengajaran Al-Qur’an di Indonesia  umumnya hanya mengutamakan pengajaran kemampuan “membaca” kita suci itu bagi kalangan siswa. Bagaimana memahami isinya, baik dengan belajar bahasa Arab maupun dengan membaca terjemahannya, itu belum dipandang bagian dari pengajaran kitab suci itu. 

Karena itu, dapat dikatakan, bagi banyak kaum Muslim, ayat-ayat Al-Qur’an masih lebih berfungsi sebagai bacaan ritual, hafalan, doa-doa penolak bala (azimat) atau pemurah rezeki. Tentu saja, ayat-ayat Al-Qur'an juga menjadi ornamen dalam bentuk lukisan atau ukiran kaligrafi yang digantung di dinding masjid, rumah dan kantor. Selain pembacaan (tilawah) dan penghafalannya (tahfiz) dilombakan dalam bentuk MTQ di tingkat lokal, nasional dan internasional.

Pembaca Al-Qur’an yang tidak (merasa perlu berusaha) memahami maknanya tetap berharap memperoleh pahala dari setiap huruf yang mereka baca. Dengan membacanya, mereka juga mengaku memeroleh ketenteraman jiwa. Tidak jarang, juga kesembuhan dari penyakit jasadi dan kesehatan badani.

Menarik menanyakan, apa fungsi lain dari membaca Al-Qur’an bagi kaum Muslim yang tidak mampu memahami maknanya dalam bahasa Arab? Apakah ada jalan lain bagi mereka untuk memahami Al-Qur’an tanpa harus mempelajari bahasa Arab secara mendalam, seperti dilakukan para santri di pesantren? 

Seorang ulama terkemuka di satu pesantren di Sulsel, pernah memberi saran tentang ini. Kata beliau, selain berupaya menamatkan membaca Al-Qur’an selama Ramadan, seseorang sebaiknya juga secara paralel berupaya menamatkan membaca kitab terjemahannya. Dengan begitu, kata beliau, ada peluang bagi orang seperti itu mendapatkan makna khusus dan kesan personal tentang pesan-pesan Al-Qur’an yang dibacanya.

Memang menjadi satu paradoks, banyak yang mengaku sangat menghormati dan mencintai kitab suci mereka tapi hanya melulu membacanya tanpa rasa penasaran untuk memahami isinya, termasuk lewat terjemahan. Padahal saat ini, selain terjemahan Kemenag, sudah banyak versi atau alternatif terjemahan di toko-toko buku maupun dalam format digital.

Jangan sampai, ada orang yang begitu bersemangat “membela Al-Qur’an” di saat dia sendiri belum dapat membacanya, apalagi memahaminya maknanya. Bisa saja terjadi, di satu sisi mereka getol ikut aksi yang diyakini bertujuan membela Al-Qur'an, tapi prilaku dan sikap mereka justru melanggar pesan-pesan terpenting dari kitab suci yang mereka bela, karena membacanya hingga tamat pun tidak pernah, apalagi membaca terjemahannya.

Memang, secara bahasa, Al-Qur’an berarti bacaan. Maka, jika tidak dibaca ia kehilangan relevansinya. Namun membaca Al-Qur’an seharusnya tidak seperti membaca sebuah formulasi mantra, yang perlu dilakukan dengan ritme cepat dan tanpa perlu memahami artinya. Peringatan Allah: “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Quran karena hendak cepat-cepat (menguasainya)” (75:16), tapi “Bacalah Al-Qur’an itu dengan tartil (pelan-pelan)” (73:4).

Namun, bahkan makna "membaca" di sini pun harus dipahami secara luas. Membaca bukan sekadar soal mengeja dan memahami rangkaian huruf, kata dan kalimat. Dalam ilmu hermeneutika, membaca teks bisa berarti dialog interpersonal antara pembaca dan pengarang. Begitulah cara benar membaca buku-buku yang serius.

Selain itu, aktivitas membaca itu tidak selalu terkait dengan usaha untuk mengingat atau menghafal setiap pesan dari teks yang dibaca. Jika begitu, bagaimana mungkin dapat menghafal buku-buku yang tebalnya hingga ratusan halaman. Membaca adalah proses menyerap makna dari realitas tekstual, trans-tekstual, dan kontekstual di luar diri kita yang membawa perubahan dalam diri pembaca secara mental, intelektual dan spiritual. 

Dalam perspektif seperti itu, ketika seseorang sedang membaca Al-Qur’an, yang terjadi seharusnya adalah proses dialog antara dia dengan Allah, sebagai sumber pewahyuan Al-Qur'an (author). Membaca adalah salah satu proses taqarrub, mendekatkan diri pembaca dengan sang pengarang kitab suci. 

Nabi saw diriwayatkan pernah berkata: "Siapa yang ingin berkomunikasi dengan Allah maka bacalah Al-Qur'an!” Ali bin Abi Thalib r.a. pernah berkata, “Istanthiq Al-Qur’an!” (Ajaklah Al-Qur’an berbicara!). Penyair dan filsuf Muslim asa India-Pakistan, Dr. Muhammad Iqbal (1877-1938) pernah diberi pesan oleh ayahnya: “Bacalah Al-Qur’an seolah-olah ia diturunkan kepadamu!” 

Oleh karena itu, tidak ada salahnya sesekali membaca Al-Qur’an seolah-olah membaca buku-buku sastra dan filsafat, di mana dibutuhkan waktu yang lama, perhatian yang intens, cermat, kritis sekaligus penuh gairah bergumul secara personal dan intelektual dengan Sang Pengarangnya []