Gambar Akal, yang Sering Kita Lupakan

Di sebuah sore yang masih panas, di sudut kota, tapi masih bernuansa desa, aku melihat seorang bocah sedang menggambar sesuatu di tanah dengan ranting kering. “Ini rumah, ini langit, ini Allah di atas,” katanya dengan polos, matanya bening, wajahnya tak tahu bahwa ucapan itu bisa membuat para ustaz berdebat berjam-jam. Aku tersenyum. Anak kecil itu sedang berpikir. Ia sedang memakai akalnya — mungkin dengan cara yang sederhana, tapi sungguh murni. Dan aku teringat pada satu ayat yang begitu sering kita dengar, namun entah kenapa jarang benar-benar kita renungkan:

“La’allakum tatafakkarun… la’allakum ta‘qilun”

“Agar kamu berpikir… agar kamu berakal.”


Al-Qur’an menyebut ulil albab — orang-orang yang berakal. Tapi ini tentu bukan tentang orang pintar, yang hafal banyak teori, bukan pula tentang yang fasih menafsirkan rumus dan hadis. Ulil albab adalah mereka yang hatinya bening dan pikirannya jernih. Mereka yang melihat dunia bukan hanya dengan materi, tapi juga dengan makna. Ironisnya, justru di zaman yang penuh sekolah, universitas, dan gelar, yang katanya era “cerdas”, kita sering kehilangan akal, dalam arti yang sebenarnya.


Di kali lain, aku duduk di warung kopi sederhana di tepi jalan yang bising. Di pinggir jalan yang ramai itu, ada dua lelaki yang saling berteriak karena urusan parkir motor. Aku dengar satu di antara mereka berkata, “Saya tidak mau rugi, biar seribu”. Seribu rupiah, hanya itu. Dan aku teringat ayat yang bunyinya seperti teguran lembut tapi tajam: “As-syayṭānu ya‘idukum faqrā wa ya’murukum bil faḥsyā’I, Wallāhu ya‘idukum maghfiratan minhu wa faḍlā.” “Setan menjanjikan kamu kemiskinan dan menyuruhmu berbuat keji. Sedang Allah menjanjikan ampunan dan karunia.” Aku ingin berdiri dan berkata: “Saudaraku, sesungguhnya bukan uang seribu yang sedang engkau pertahankan, tapi bisikan setan yang sedang kau menangkan.” Tapi aku diam. Karena, kadang nasihat hanya bergema di kepala, tapi tak sampai ke dada.


Kita hidup dalam dunia yang penuh janji palsu tentang kekayaan dan kesuksesan. Dan setan, dengan segala kecerdikannya, tak lagi muncul dengan tanduk dan asap hitam, seperti dalam sinetron Ram PuunJabi. Ia kini, setan itu, hadir dalam bentuk promo diskon, rasa takut miskin, rasa ingin dipuji. Ia berbisik: “Kalau kau tak menipu sedikit, kau akan kalah.” Dan kita mengangguk dengan sopan.

Padahal, di sisi lain, Allah menjanjikan sesuatu yang sederhana tapi pasti: ampunan dan karunia, namun sayangnya, karunia itu tak bisa dilihat mata. Ia hanya bisa dirasakan oleh hati yang mau berpikir.


Suatu hari lagi, aku bertemu seorang kakek di masjid kecil. Bajunya lusuh, tangannya kasar. Tapi wajahnya tenang, seperti seseorang yang telah menyelesaikan urusan panjang dengan dunia. Setelah salat, kami berbincang. “Aku dulu miskin sekali,” katanya, “tapi setiap kali aku jujur, selalu ada saja rezeki datang. Bukan uang, kadang cuma nasi bungkus, tapi cukup.” Aku mengangguk, dan membatin. Mungkin inilah ulil albab  orang yang mampu melihat keajaiban kecil sebagai tanda kebesaran Tuhan. Orang yang ketika diuji tidak bertanya, “Mengapa aku?”, tapi berkata, “Apa yang bisa kupelajari dari ini?” Mereka berpikir, bukan sekadar menghitung. Mereka berakal, bukan sekadar cerdik.


Kita sering mengira “akal” itu hanya untuk menyusun strategi hidup, menyusun konsep, program dan strategi kegiatan: bagaimana jadi kaya, bagaimana sukses, bagaimana kegiatan dapat terlaksana dengan baik. Tapi di dalam Al-Qur’an, akal selalu disebut dalam konteks mengenal Allah. Ia bukan alat untuk menipu hidup, tapi untuk menyingkap maknanya hidup.


Akal yang sehat bukan yang cepat menangkap peluang, tapi yang cepat sadar akan kebenaran. Dan karena itulah, ulil albab bukan sekadar berpikir, tapi juga mengingat.

“Alladzina yadzkurunallaha qiyaman wa qu‘udan wa ‘ala junubihim, wa yatafakkaruna fi khalqis samawati wal-ard.”

“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan berbaring, dan mereka berpikir tentang penciptaan langit dan bumi.”

zikir dan pikir, dua sayap untuk terbang menuju kedewasaan spiritual. Zikir tanpa pikir membuat kita fanatik. Pikir tanpa zikir membuat kita sombong. Dan keduanya, jika berjalan bersama, melahirkan manusia yang tenang.

Aku teringat kisah lama, tentang seorang tukang batu, yang kami panggil untuk membangun masjid di daerah yang jauh, tempat tugas saya yang dulu. Setiap kali dia meletakkan batu bata, dia selalu berkata pelan: “Bismillah.” Ia tak pernah kuliah, tak tahu arti ulil albab. Tapi aku yakin, di sisi Allah, mungkin dia lebih tinggi dari banyak sarjana yang kehilangan makna. Suatu hari, tembok yang dibangunnya, roboh karena hujan deras. Aku pikir dia akan marah. Mungkin marah kepada yang mengajarkannya untuk mengucapkan bismillah, Tapi dia hanya menatap reruntuhan itu, tersenyum, lalu berkata: “Mungkin ini cara Allah mengajarkanku untuk bekerja lebih baik lagi.” Aku terdiam lama, mengamati respon dan bahasa tubuhnya. Mungkin itulah akal yang sejati, bukan sekadar logika, tapi kebeningan dalam membaca tanda-tanda Tuhan.


Akal yang sehat tahu: yang menakutkan bukan miskin harta, tapi miskin makna. Banyak orang kaya, tapi hatinya sempit. Banyak yang sukses, tapi wajahnya tak bahagia. Mereka takut kehilangan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah mereka miliki, yaitu rasa cukup. Dan itulah jebakan halus dari “janji setan” itu.

Sementara Allah menjanjikan ampunan dan karunia. Tapi siapa yang peduli pada ampunan, ketika mata hanya sibuk mencari diskon? Siapa yang mendambakan karunia, ketika jempol kita lebih sibuk menilai hidup orang lain di layar ponsel?


Mungkin karena itu Al-Qur’an berkali-kali mengulang: “Afa la ta‘qilun? Afa la tatafakkarun?”“Tidakkah kamu berpikir? Tidakkah kamu berakal?”


Pertanyaan yang sebenarnya bukan untuk mereka di masa lalu, tapi untuk kita generasi yang punya Google, dan ChatGPT tapi kehilangan waktu merenung. Pernah aku membaca atau mungkin mendengar: “Manusia modern adalah makhluk yang bisa menaklukkan bintang, tapi gagal menaklukkan hatinya sendiri.” Dan aku rasa, itu benar. Mungkin karena kita lupa bahwa akal itu bukan hanya alat untuk mencipta mesin, tapi untuk mengenal Diri dan Pencipta. Kita menguasai dunia, tapi tak lagi mengenali arah pulang. Akal yang TAK diiringi zikir, pelan-pelan berubah menjadi setan yang halus. Dan di situlah letak kehancuran manusia modern: mereka tidak kehilangan ilmu, mereka kehilangan hikmah.


Tulisan ini bukan untuk menggurui atau menyinggung siapa pun. Tulisan ini karena aku sendiri sering tersesat dalam pikiranku. Kadang takut miskin, takut gagal, takut tak berasap, takut kehilangan. Dan dalam ketakutan itu, aku sadar itulah suara halus dari ayat itu: “As-syayṭānu ya‘idukumul faqrā” Setan menjanjikan kemiskinan. Bukan karena dia ingin kita miskin harta, tapi karena dia ingin kita miskin keyakinan.


Dan setiap kali aku nyaris percaya, selalu pula aku berharap, ada satu bisikan lembut lain yang datang, seperti cahaya kecil di ujung lorong: “Wallāhu ya‘idukum maghfiratan minhu wa faḍlā.” “Allah menjanjikan ampunan dan karunia.” Ampunan, untuk kesalahan berpikirku. Karunia, untuk setiap langkah kecil menuju-Nya.


Di awal sore yang masih panas tadi, bocah kecil, menatap gambar rumahnya di tanah. “Rumah ini nanti aku isi dengan keluarga yang baik,” katanya. Aku menatapnya lama. Mungkin, di hadapan Allah, anak kecil itulah ulil albab yang sebenarnya: berpikir, bermimpi, dan percaya pada kebaikan. Mungkin akal yang sejati bukan tentang menjadi pandai, tapi tentang menjadi jernih. Dan di antara semua keajaiban yang Allah berikan kepada manusia, akal adalah yang paling halus, tapi juga paling mudah ternoda. Karena itu, mungkin di setiap penghujung sore, saya perlu terus berdo’a: “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk ulil albab, orang yang berpikir dengan hati, dan merasa dengan akal.” ***