AKAL DAN SYARIAT MENUJU TAAT
Dalam muqadimah kitab al-Mustashfa, Imam al-Ghazali menerangkan bahwa akal itu sebagai hakim, sedangkan syariat sebagai saksi. Artinya, hakim tak bisa memutus perkara tanpa acuan (dalil) atau keterangan dari saksi. Sedangkan keterangan saksi tak bisa dijalankan tanpa adanya keputusan dari hakim.
Di sini Imam Al-Ghazali mengaitkan relasi antara akal dan syariat sebagaimana layaknya sebuah persidangan. Kita pahami bahwa saksi yang adil dan hakim yang bijak akan melahirkan keputusan yang maslahat.
تَنَاطَقَ قَاضِي الْعَقْلِ وَهُوَ الْحَاكِمُ الَّذِي لَا يُعْزَلُ وَلَا يُبَدَّلُ، وَشَاهِدُ الشَّرْعِ وَهُوَ الشَّاهِدُ الْمُزَكَّى الْمُعَدَّلُ، بِأَنَّ الدُّنْيَا دَارُ غُرُورٍ لَا دَارُ سُرُورٍ،
Nah, menurut Imam al-Ghazali, ternyata akal dan syariat; hakim dan saksi, telah sepakat bahwa dunia itu tempatnya tipu daya.
Dunia yang sementara ini bukanlah tempat untuk kita meletakkan kebahagiaan yang hakiki. Maka akan bisa lepaslah aturan syariat dan hilanglah akal sehat gara-gara kita tertipu oleh dunia.
Hanya mereka yang menempuh ketaatan yang akan selamat, yaitu melalui ilmu dan amal. Imam al-Ghazali meletakkan keduanya sebagai bagian dari ketaatan. Ada yg taat kepada Allah melalui amalannya, dan ada pula yang melalui ilmunya. Dan yang utama adalah dengan ilmu sebagai bagian dari amal. Maka sudah selayaknya ilmu yang kita pelajari dan amal yang kita jalani itu sebagai sarana menuju ketaatan kepada Allah Swt.
وَالطَّاعَةُ طَاعَتَانِ عَمَلٌ وَعِلْمٌ، وَالْعِلْمُ أَنْجَحُهَا وَأَرْبَحُهَا، فَإِنَّهُ أَيْضًا مِنْ الْعَمَلِ
Komplit sudah: akal yang sehat dipadukan dengan dalil syariat akan melahirkan ilmu dan amal sebagai bentuk ketaatan hamba kepada Sang Khaliq. Sami’na wa Atha’na.
Tabik, Nadirsyah Hosen