Gambar Air Mata Kania


Hari itu hujan turun perlahan, membasahi kota dan menambah sendu suasana. Dedaunan bergoyang pelan, langit muram, dan angin membawa dingin yang meresap hingga ke tulang. Entah kenapa, rasanya warna hari itu sebiru hatiku.


Di ruang praktik, seorang wanita duduk di hadapanku. Usianya 39 tahun. Namanya Kania. Tatapannya kosong, matanya sembab. Ia menarik napas panjang sebelum berkata pelan, nyaris berbisik:


"Dok… mungkin ini kali terakhir saya datang ke sini."


Aku menoleh cepat. "Kenapa? Mau pindah kota?"


Kania menggeleng pelan. Air mata jatuh satu per satu, membasahi pipinya.


"Suami saya… memberi ultimatum. Kalau bulan ini saya belum hamil juga, dia akan menikah lagi."


Aku tercekat. Ada sesak yang menghimpit di dada. Kata-katanya seperti duri yang menghujam halus tapi dalam. Aku tak bisa berkata-kata. Hanya menatapnya dengan perasaan yang campur aduk: sedih, marah, dan getir.


"Kami sudah menikah 10 tahun, Dok… Semua sudah kami coba. Dari herbal sampai program hamil. Ini dokter yang ketujuh saya datangi. Tapi belum ada hasil. Saya lelah. Tetangga, keluarga, semua menyudutkan saya. Padahal… bukan mau saya seperti ini…"


Kania menunduk. Tangisnya pecah lagi. Ia mencoba menghapus air mata dengan tisu, tapi air itu terlalu deras, seperti hujan di luar sana.


Aku menggenggam tangannya. Hangat tubuhnya terasa bergetar. Aku tahu, bukan hanya tubuhnya yang gemetar. Tapi juga hatinya. Penuh luka. Luka yang tak terlihat mata.


Fakta yang Harus Diketahui


"Kania… sebelum kita bicara lebih lanjut, ada beberapa fakta medis yang perlu kamu tahu." Aku menarik kursi lebih dekat. "Menurut WHO, *1 dari 6 orang di dunia mengalami masalah infertilitas*. Itu sekitar 17,5