QS Ali ’Imran/3:96-97,

إِنَّ أَوَّلَ بَيۡتٖ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكٗا وَهُدٗى لِّلۡعَٰلَمِينَ فِيهِ ءَايَٰتُۢ بَيِّنَٰتٞ مَّقَامُ إِبۡرَٰهِيمَۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنٗاۗ وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ . 
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah bagi) manusia, ialah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) Maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah), menjadi amanlah dia; mengerjakan haji menuju Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, (yaitu bagi) yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana, barangsiapa kafir, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (dan tidak butu) pada seluruh alam.
 

QS al-Hajj/22:34 dan 34 dan 37,

وَلِكُلِّ أُمَّةٖ جَعَلۡنَا مَنسَكٗا لِّيَذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلۡأَنۡعَٰمِۗ فَإِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞ فَلَهُۥٓ أَسۡلِمُواْۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُخۡبِتِينَ . 
Dan bagi setiap umat telah Kami tetapkan syari’at (ketentuan-ketentuan menyangkut) kurban dan tempat penyembelihannya, supaya mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang Dia anugerahkan untuk mereka, yaitu binatang-binatang ternak. Maka, Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu kepada Dia (saja) hendaknya kamu berserah diri. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang tulus (menyerahkan semua urusan kepada Allah swt.), lagi rendah hati (yakni merendahkan diri mematuhi tuntunan Allah swt.).
لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقۡوَىٰ مِنكُمۡۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمۡ لِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُحۡسِنِينَ . 
Sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah daging-dagingnya dan tidak juga darah-darahnya,, tetapi yang dapat mencapainya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah Allah telah menundukkan untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah atas hidayah-Nya (yakni petunjuk-petunjuk-Nya dalam ibadah haji)kepada kamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang muhsin (orang-orang yang selalu berbuat yang lebih baik).
HR. al-Imam Ahmad dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ وَجَدَ سَعَـة فَلَمْ  يُضَـحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاّنا.
Barangsiapa yang memperoleh kelapangan, kemudian tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat kami.
 

Hakekat Haji dan Qurban 

Ibadah haji juga merupakan salah satu sarana melakukan komunikasi antara seorang hamba dengan Khalik-nya. Ibadah ini pertama kali disyari’atkan pada tahun keenam Hijrah, sebagaimana Firman Allah swt. dalam QS Ali ’Imran/3:96-97 tersebut di atas. Kata al-Hajj menurut bahasa berarti menyengaja. Karena itu menurut istilah syari’at Islam, ia berarti menyengaja mengunjungi Ka’bah di Mekah untuk melakukan beberapa rangkaian amal ibadah menurut rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syara’.
 
Haji merupakan rukun Islam yang kelima dan pokok ibadah yang keempat, yang diperintahkan setelah disyari’atkan ketiga pokok ibadah sebelumnya. Ibadah haji mengandung nilai-nilai sejarah. Dari sejak mengenakan pakaian ihram yang melambangkan kezuhudan manusia sebagai latihan untuk kembali kepada fitrahnya yang asli, yaitu sehat dan suci-bersih.  Dengan pakaian seragam putih, mereka berkumpul melakukan Ukuf di ‘Arafah. Kata ukuf berarti berhenti, sedang kata ‘arafah berarti naik-mengenali. Dari makna bahasa ini dapat diperoleh suatu hikmah, bahwa Ukuf di ‘Arafah, pada hakekatnya, adalah suatu usaha di mana secara fisik, tubuh kita berhenti di Padan ‘Arafah, lalu jiwa-spiritual kita naik menemui Allah swt. Ukuf di ‘Arafah ini memberikan rasa keharuan dan menyadarkan mereka akan yaumul mahsyar, yang ketika itu, manusia diminta untuk mempertanggung jawabkan atas segala yang telah dikerjakannya selama di dunia. Di Padan ‘Arafah itu, manusia insaf dengan sesungguhnya akan betapa kecilnya dia dan betapa agungnya Allah, serta dirasakannya bahwa semua manusia sama dan sederajat di sisi Allah, sama-sama berpakaian putih-putih, memuji, berdoa, sambil mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam.
 
Ibadah thawwaf dan sa’i yang dilakukan secara serempak dalam suasana khusyu’ mengesankan keagungan Allah. Bacaan-bacaan yang dikumandangkan mensucikan dan mentauhidkan Allah memberi makna bahwa kaum muslim harus hidup dinamis, senantiasa penuh gerak dan perjuangan, bahkan pengorbanan demi untuk menggapai keridhaan Allah swt. Peristiwa sa’i mengingatkan manusia akan perlunya hidup sehat disertai usaha sungguh-sungguh dan perjuangan habis-habisan dalam meraih kesehatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan paripurna.
 
Pada bulan haji, umat Islam se dunia mengadakan pertemuan tahunan secara besar-besaran, yang pesertanya berdatangan dari seluruh penjuru dunia, yang terdiri atas berbagai bangsa. Mereka semua dipersatukan di bawa lindungan Ka’bah. Ka’bah-lah yang menjadi lambang persatuan dan kesatuan umat. Pertemuan seperti inilah yang perlu dimanfaatkan oleh umat Islam dalam rangka pembinaan dan pembangunan masyarakat Islam baik nasional maupun internasional.
 
Dengan menunaikan ibadah haji, umat Islam di dorong untuk menjadi manusia yang luas gerak dan pandangan hidupnya, yang dapat menambah ilmu dan pengalaman dengan berbagai bahasa. Melalui perkenalan itu lahir saling pengertian yang lebih baik, rasa hormat, dan saling harga-menghargai di antara sesama umat Islam dari berbagai penjuru dunia.
Syarat ”mampu dan kuasa”, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS Ali ’Imran/3:97 sebagaimana tersebut di atas, telah ditetapkan oleh Allah untuk menunaikan ibadah haji, mendidik setiap umat Islam agar mereka menjadi kuat dan sehat dalam bidang harta benda, fisik, dan rohani untuk dapat melakukan ibadah haji, yang sifatnya wajib hanya sekali seumur hidup. Karena itu, syarat ini pula mengisyaratkan bahwa haji merupakan ibadah fisik, ibadah rohani, dan ibadah dana.
 
Dalam pada itu, haji sebagai ibadah fisik, ibadah rohani, dan ibadah dana, bertujuan untuk memusatkan segala yang dimiliki hanya tertuju kepada Allah, dan dilaksanakan bukan di tempat yang sepi, melainkan di tempat berkumpulnya orang banyak. Boleh jadi, orang yang menjalankan ibadah haji ditemani oleh isterinya, namun ia tidak boleh berbicara dengan dia yang merangsang nafsu birahi; boleh jadi, ia ditemani oleh musuhnya, namun ia tidak diperbolehkan bertengkar dengan dia; ini semua dimaksudkan agar ia mendapat pengalaman rohani yang tinggi, bukan sekedar pengalaman rohani orang pertapa, yang memutuskan hubungan dengan dunia luar (orang banyak) dan bukan pula pengalaman rohani orang yang menjalankan ibadah di pojok yang sepi, melainkan pengalaman rohani orang yang tinggal di daerah keramaian yang penuh kesibukan, yang ditemani oleh isterinya, kawan-kawannya, dan musuh-musuhnya, sebagai ujian menuju suatu kehidupan paripurna, yakni sehat dan bahagia fisik dan rohani di dunia dan selamat di akhirat kelak.
 
Ibadah haji yang mulia tapi berat ini, erat pula kaitannya dengan perintah ber-qurban. Kurban, dari segi bahasa Al-Quran "qurbân" yang terdiri atas kata "qurb" berarti dekat, dengan imbuhan "ân" berarti sempurna, sehingga ia berarti "kedekatan yang sempurna". Kata ini ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak 3 kali, di antaranya QS. Al-Ma'idah,5:27. Dalam istilah keagamaan, pada mulanya kata "qurbân" berarti "segala sesuatu yang digunakan mendekatkan diri kepada Allah". Dahulu, orang-orang musyrik menjadikan penyembahan berhala dan dewa-dewa sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Ketika ditegur oleh para nabi tentang cara penyembahan itu, mereka berkata, مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى (الزُّمَرْ،39: 3)" (Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya). Kemudian arti "qurbân" menyempit, yang biasa juga dinamai udhiyah (karena dilaksanakan pada hari raya idul adha), sehingga pengertiannya menjadi "binatang tertentu yang disembelih pada hari raya Ied al-Adha dan tiga hari sesudahnya (hari-hari tasyriq), dalam rangka menaati dan mendekatkan diri kepada Allah swt. 
 

Kembali ke Sejarah Qurban.

Sejarah menginformasikan bahwa kurban, dahulu, dalam pengertian keagamaan itu, hampir selalu dikaitkan dengan manusia. Penduduk Mexico, misalnya, yang menyembah dewa matahari mempersembahkan jantung dan darah manusia; orang-orang Viking yang mendiami Skandinavia, menyembah dewa Odin, kurban yang mereka persembahkan adalah pemuka agama; di Timur Tengah, suku Kan'an yang bermukim di Irak, mengurbankan bayi untuk dewa Ba'al; sedang di Mesir, penduduknya mempersembahkan gadis cantik untuk dewi Sungai Nil. 
 
Islam mensyari'atkan kurban, yang sejarahnya kembali kepada peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim bersama putranya, Ismail. Ketika itu, sudah ada pemikir yang mulai sadar tentang kekeliruan mengurbankan manusia. Mereka beranggapan bahwa "manusia terlalu mahal untuk dijadikan kurban demi Tuhan". Karena itu, Allah swt. melalui Nabi Ibrahim a.s. menjelaskan bahwa tiada sesuatu yang mahal dikurbankan bila panggilan Tuhan telah datang. Saat itu, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim agar menyembelih anaknya, sebagai bukti bahwa manusia pun dapat dikurbankan bila panggilan Ilahi tiba. Allah selalu harus berada di atas segala-galanya, itulah bukti iman yang sejati.
 
Setelah perintah penyembelihan tersebut sampai kepada Ibrahim, ia pun melaksanakannya sesuai kemampuannya. Namun, Allah dengan kuasa-Nya, pada saat Ibrahim menghunjamkan dan menggerakkan pisau untuk menyembelih sang anak sebagai kurban, tiba-tiba Ismail a.s. tergantikan dengan seekor domba besar (QS.al-Shaffat, 37:102-107). Digantinya Ismail a.s. dengan seekor domba, bukan karena manusia terlalu mahal dikurbankan demi karena Allah, akan tetapi ia dibatalkan demi kasih sayang Allah kepada manusia, sekaligus sebagai penetapan awal pula diharamkannya tradisi pengurbanan kepada Tuhan dengan kurbannya adalah manusia. Peristiwa ini pula menjadi dasar disyari'atkannya kurban yang dilakukan pada hari raya haji.
 

Hikmah.

Kurban disyari'atkan guna mengingatkan manusia bahwa jalan menuju kesejahteraan dan kebahagiaan membutuhkan pengorbanan. Akan tetapi, yang dikurbankan bukan manusia, bukan pula nilai-nilai kemanusiaan, tetapi binatang, yang jantan, sempurna umur, dan tidak cacat, sebagai pertanda bahwa pengurbanan harus ditunaikan, dan yang dikurbankan adalah sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia, seperti rakus, ingin menang sendiri, mengabaikan norma, nilai, dan sebagainya. Pada sisi lain, orang berkurban jangan menduga bahwa binatang ternak yang dikurbankan itu akan pasti diterima Allah, jika tidak disertai dengan keikhlasan dan ketakwaan kepada-Nya. Sebab, yang sampai kepada Allah bukan darah atau dagingnya, tetapi ketakwaan pelakunya (QS. Al-Hajj,22:37).
 
Ketakwaan itu tercermin antara lain, ketika daging kurban dibagi-bagikan. Meskipun yang berkurban dianjurkan memakan sebagian dari binatang kurbannya sepertiga, tetangganya sepertiga (kaya-miskin), dan sepertiga untuk para fakir-miskin. Namun, yang terbaik tentunya adalah membagi-bagikan sebagian besar daging kurban itu kepada mereka yang membutuhkan (QS. Al-Hajj,22:36). Sungguh, manusia semua bergelimang dengan dosa, sehingga jarak mereka dengan Tuhan semakin jauh, untuk mendekatkan kepada-Nya, salah satu caranya adalah dengan berkurban. Dalam HR. al-Imam Ahmad dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda: "Siapa yang memiliki kelapangan, tetapi dia tidak mau berkurban, janganlah dia mendekati tempat salat kami", lihat hadis di atas.
 

Implikasinya di Indonesia,

Mari kita tengok pula negeri tercinta Indonesia yang elok dan indah ini, semoga para pemimpin kita hasil Pilpres 2019, yang terpilih secara demokratis, memiliki komitmen untuk menyejahterakan dan membahagiakan rakyat, serta mempunyai visi yang jelas tentang masa depan bangsa, karena sudah memasuki tahun ke-75 bangsa kita sebagai bengsa yang merdeka dan berdaulat. Namun, sebagian rakyat kita tetap saja menderita, mereka belum merdeka dari kemiskinan dan ketertindasan, sementara para pemimpin tidak banyak yang punya kepekaan terhadap kondisi mereka yang dihimpit penderitaan lahir dan batin. Pesta pora yang melampaui batas dalam upacara perkawinan dan berbagai bentuk upacara lain masih saja kita saksikan di mana-mana, seakan-akan hidup ini bergerak dari pesta ke pesta, dari upacara ke upacara mewah. Kehadiran bencana berupa Pandemi Covid-19 ini, kemungkinan besar hal seperti inilah yang mau diluruskan sebagai salah satu hikmahnya, agar bangsa Indonesia mau belajar dan membangun budaya hidup sederhana.
 
Belum keluar dari penderitaan rakyat, memasuki tahun 2020 M., bangsa kita malah tambah menjerit lagi akibat ditimpa musibah secara beruntun, baik gempa bumi seperti yang terjadi di Lombok sana, longsor dan banjir baru-baru ini di Jeneponto dan Bantaeng, termasuk melemahnya nilai rupiah atas dollar AS, bahkan lebih parah lagi dengan kehadiran bencana yang bersifat global Pandemi Covid-19 yang sedang mewabah ini. Oleh sebab itu, falsafah qurban yang telah diwariskan nenek kita Ibrahim-Ismail a.s. jangan sampai terlupakan. Negeri tercinta ini sangat memerlukan pengorbanan dari kita semua, khususnya dari para pemimpin dan elit ekonomi agar keadilan sosial-ekonomi  yang menjadi tujuan proklamasi kemerdekaan kita tahun 1945 tidak hanya terdengar dalam retorika politik, tetapi secara berangsur dan pasti, kita wujudkan dalam kehidupan bersama. Semangat ber-qurbân yang menyatu dengan seluruh bangunan iman kita, jangan sampai dibunuh dan dibinasakan oleh kebiasaan sebagian kita yang telah lupa daratan dan lupa lautan. Hidup dunia ini pasti akan bermuara dengan kematian yang tidak kuasa kita tolak dan kita hindari. Sebelum kita sampai ke muara itu, marilah kita susun niat yang kuat dan bulatkan tekad di bawah semangat solidaritas Islam untuk menyelamatkan masa depan negeri yang elok dan permai ini.
 
Dengan semangat qurbân, negeri tercinta ini, mari kita hadapi dengan penuh optimisme. Kita bangun bersama dengan bermula dari niat yang suci karena Allah, kemudian dibarengi dengan tindakan nyata secara profesional dan ikhlas, insya'Allah akan berakhir dengan kemajuan dan kepuasan batin. Negeri tercinta ini merindukan insan-insân yang mau berkurban, khususnya dalam berjihad melawan Pandemi Covid-19 yang sedang mewabah sekarang ini, yang sudah menelan ribuan jiwa dan puluhan ribu jiwa yang telah terinfeksi positif; tentu dengan mengindahkan dan menegakkan secara berdisiplin tinggi protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, sehingga ia dapat secara berangsur-angsur dan pasti kita cegah, kurangi, dan bahkan usir dari bumi Indonesia. 
 
Perjalanan bangsa kita belumlah sampai ke batas yang kritis sehingga  Allah tidak mau lagi menolong kita. Orang baik masih banyak di kalangan anak bangsa ini. Merekalah yang diharapkan akan tampil ke depan menyelamatkan hari depan kita semua. Dengan modal dasar nilai-nilai rohani yang kuat sebagai lepasan dan alumni bulan suci Ramadhan yang baru saja usai, termasuk nilai-nilai rohani dari kesalehan spiritual dan kesalehan sosial, yang diteladankan oleh Ibrahim-Ismail a.s. itu; kita bangun kembali bangsa yang masih terseok-seok ini. Kita tidak boleh tenggelam dalam lautan pesimisme, sebab hanya akan mempertinggi tempat jatuh suatu bangsa. Kita perbaiki mana yang rusak selama ini, dan jangan kita rusak lagi, jika memang kita tidak mau menjadi bangsa yang terkutuk. 
 
Hanya dengan semangat persaudaraan dan persatuan yang kuat, yang mampu membangun kembali peradaban Indonesia yang segar, adil, sejahtera, jauh dari korupsi yang masih mewabah sekarang ini. Jika ingin nama kita senantiasa dikenang dengan baik, lakukanlah amal-amal kebajikan dalam hidup ini.  Nabi Ibrahim a.s. adalah Nabi yang sangat diagungkan oleh seluruh agama samawi, antara lain karena kesediaannya mengorbankan putera kesayangannya hanya karena Allah swt. Lebah menjadi terhormat dan disebut namanya dalam al-Qur’an, karena ia dapat memberi manfaat kepada manusia berupa madu yang bisa menjadi obat untuk semua penyakit. Alam raya yang kita tempati ini begitu kita cintai karena ia memberikan kepada kita segala sesuatu yang dapat kita jadikan sebagai sumber kehidupan. Karena itu, nilai seorang hamba di sisi Tuhannya sangat ditentukan oleh sejauh mana pengorbanannya yang telah diberikan kepada-Nya melalui kesalehan spiritual dan kesalehan sosial terhadap sesama, termasuk lingkungan hidup sekitar, bahkan terhadap dirinya sendiri karena menurut al-Qur’an, betapa banyak manusia yang menzalimi dan menganiaya dirinya sendiri.
 
Kita semua dituntut untuk turut berkurban sesuai tugas dan profesionalisme masing-masing, demi suksesnya keluarga, instansi di mana kita bekerja, masyarakat, bangsa, dan agama. Bapak-bapak yang mendapat amanah dari Allah sebagai pemimpin negara, ber-qurbân-lah demi tegaknya persamaan, persaudaraan, dan keadilan sosial menuju kesatuan dan persatuan bangsa, serta kesejahteraan dan kebahagiaan hidup, yang menjadi dambaan kita semua, utamanya rakyat kecil, sehingga keadilan tidak hanya ditemukan di gedung-gedung pengadilan, tetapi juga ditemukan di mana-mana, baik dikeramaian kota maupun dikesunyian desa-desa yang terpencil. Jangan sampai yang terjadi, justeru di gedung pengadilan pun sudah susah ditemukan keadilan apalagi di tengah-tengah masyarakat, tentu sesuatu yang sangat ironis.
 
Adik-adik remaja pun dituntut turut ber-qurbân dengan memanfaatkan masa remaja untuk melengkapi diri dengan modal ilmu pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam menghadapi tanggung jawab masa depan dalam membangun bangsa, negara, dan agama. Bersihkan diri dari kebiasaan-kebiasaan yang salah dan tercela. Jangan berbangga karena telah mengkonsumsi barang-barang yang haram, minuman keras dan narkoba. Teladanilah mereka yang telah sukses dalam kebajikan dan jangan meniru jejak langkah orang tua yang telah mengotori lembaran hidupnya dengan bermacam-macam perbuatan yang memalukan. Siapkan diri untuk menjadi pemimpin hari esok yang cerah, luhur, dan mulia. 
 
Akhirnya, dalam era reformasi yang penuh kompetitif ini, pengorbanan kita dalam wujud membangun kualitas-kualitas diri, keluarga, agama, masyarakat, bangsa dan negara sangat dibutuhkan. Mari kita arahkan pengorbanan itu untuk membangun daerah kita menuju baldah thayyibah wa rabb ghafûr, serta berusaha mengatasi masalah-masalah yang mendesak terutama yang  berhubungan dengan pendidikan, ekonomi, kesehatan, pemerintahan, lingkungan, pangan, kebakaran, gempa bumi, longsor dan banjir, serta bencana Pandemi Covid-19, yang sudah menelan banyak korban, kemiskinan, pengangguran, PHK, serta kekacauan dan kerusuhan yang terjadi di mana-mana; dengan menampilkan semangat pengorbanan dan kerja keras yang dibarengi etos kerja yang tinggi, perilaku sopan, ramah, lemah lembut, dan bersikap rasional dalam mengambil tindakan sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Tentu semua ini jauh lebih produktif. Kemudian setelah itu, kita buat agenda baru mengenai apa yang harus dilakukan setelah krisis-krisis yang sifatnya mendesak dan mengglobal di atas, dapat diatasi. Dewasa ini sudah cukup banyak orang berkurban, hanya sayang masih ada saja manusia yang rela mengurbankan manusia lain demi kepentingan sesaat, padahal ia telah memiliki kelapangan, sungguh menyedihkan. Semoga momentum di bulan Haji dan ibadah kurban, kita sudah persiapkan diri jauh sebelumnya sebagai bukti kecintaan kita kepada Allah dan Rasul-Nya Muhammad saw., sekaligus sebagai rasa tanggung jawab kita terhadap masa depan Islam dan umat Islam  serta masyarakat, agama. Dan bangsa Indonesia. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!