QS al-Baqarah/02:197,

ٱلۡحَجُّ أَشۡهُرٞ مَّعۡلُومَٰتٞۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلۡحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي ٱلۡحَجِّۗ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ يَعۡلَمۡهُ ٱللَّهُۗ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ .

Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, maka barangsiapa yang mewajibkan (atas dirinya) untuk berhaji di dalamnya (bulan-bulan itu), maka tidak ada rafats (bercampur dengan isteri, cumbu-rayu, dan berkata cabul), tidak ada kefasikan (berucap atau berbuat sesuatu yang melanggar norma-norma susila dan agama) dan tidak ada bantah-bantahan di dalam haji. Dan apa pun yang kamu kerjakan berupa kebaikan, (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah kamu! Maka, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal bersih, murni, dan cerah!

QS Ali ’Imran/3:96-97,

إِنَّ أَوَّلَ بَيۡتٖ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكٗا وَهُدٗى لِّلۡعَٰلَمِينَ فِيهِ ءَايَٰتُۢ بَيِّنَٰتٞ مَّقَامُ إِبۡرَٰهِيمَۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنٗاۗ وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ .

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah bagi) manusia, ialah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) Maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah), menjadi amanlah dia; mengerjakan haji menuju Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah, (yaitu bagi) yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana, barangsiapa kafir, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (dan tidak butu) pada seluruh alam.

HR. al-Imam Ahmad dari Jabir bin ‘Abdullah, bahwa sanya Nabi saw. bersabda;

اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ له جَزَاءٌ الا الْجَنَّـةَ.

Haji Mabrur tidak ada imbalan lain baginya kecuali surga.

Prolog.

Musim atau waktu haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, yaitu bulan Syawwal, Dzulqa’idah, dan 9 Dzulhijjah, ditambah malam ke-10, yakni malam lebaran Ied al-Adha. Ayat pertama di atas tidak menyebut kata musim atau waktu  dalam redaksi ayat. Hal itu, untuk memberi kesan bahwa bulan-bulan itu sendiri memiliki kesucian pada dirinya dan akibat terlaksananya ibadah haji ketika itu. Kesan ini, pada gilirannya, mengharuskan setiap orang, baik yang melaksanakan haji maupun yang tidak, untuk menghormatinya dan tetap memelihara kesuciannya dengan menghindari bukan hanya peperangan, akan tetapi juga segala macam dosa.

Bulan-bulan yang dimaklumi, yakni bulan yang sudah diketahui oleh  masyarakat Arab sejak sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. Maka barangsiapa yang mewajibkan atas dirinya dengan  menetapkan niat untuk melaksanakan haji dalam bulan-bulan itu, maka hendaklah ia mengetahui bahwa tidak ada rafats, tidak ada kefasikan, dan tidak ada juga jidal, yakni pertengkaran di dalam masa mengerjakan haji. Anak kalimat “dalam bulan-bulan itu” mengisyaratkan bahwa ibadah haji dapat terlaksana walaupun tidak dilaksanakan sepanjang bulan-bulan tersebut. Dengan demikian, waktu haji bukan seperti waktu puasa Ramadhan, yang harus dilaksanakan sejak awal Ramadhan hingga akhirnya, kecuali yang memiliki uzur (halangan) yang dapat dibenarkan mengganti puasanya pada hari-hari yang lain.

Bulan-bulan tertentu yang telah dimaklumi atau diketahui itu, antara lain merupakan waktu permulaan berniat untuk melaksanakan haji. Niat berhaji sebelum bulan-bulan tersebut di atas tidak sah menurut banyak ulama. Pada sisi lain, walau waktunya demikian panjang, yakni 2 bulan 10 hari, namun ada malam-malam haji yang tidak sah dilaksanakan kecuali pada hari-hari tertentu, seperti wukuf di ‘Arafah yang tidak boleh sebelum tanggal 9 Dzulhijjah, tidak juga setelah terbitnya fajar 10 Dzulhijjah. Waktu yang berkepanjangan itu, antara lain, dimaksudkan untuk memantapkan niat, melakukan persiapan bekal jasmani dan rohani, serta melakukan perjalanan yang hingga kini—lebih-lebih di masa lalu—membutuhkan waktu yang cukup lama.

Pengertian.

Ibadah haji merupakan salah satu sarana melakukan komunikasi antara seorang hamba dengan Khalik-nya. Ibadah ini pertama kali disyari’atkan pada tahun keenam Hijrah, sebagaimana Firman Allah swt. dalam QS Ali ’Imran/3:96-97. Kata al-Hajj menurut bahasa berarti menyengaja. Karena itu menurut istilah syari’at Islam, ia berarti menyengaja mengunjungi Ka’bah di Mekah untuk melakukan beberapa rangkaian amal ibadah menurut rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syara’. Haji merupakan rukun Islam yang kelima dan pokok ibadah yang keempat, yang diperintahkan setelah disyari’atkan ketiga pokok ibadah sebelumnya, yakni: ibadah salat, ibadah puasa Ramadhan, dan ibadah zakat.

Hikmah di Balik Sejarah Pelaksanaan Ibadah Haji.

Ibadah haji mengandung nilai-nilai historis. Dari sejak mengenakan pakaian ihram yang melambangkan kezuhudan manusia sebagai latihan untuk kembali kepada fitrahnya yang asli, yaitu sehat dan suci-bersih.  Dengan pakaian seragam putih, mereka berkumpul melakukan Ukuf di ‘Arafah. Kata ukuf berarti berhenti, sedang kata ‘arafah berarti naik-mengenali. Dari makna bahasa ini dapat diperoleh suatu hikmah, bahwa Ukuf di ‘Arafah, pada hakekatnya, adalah suatu usaha di mana secara fisik, tubuh kita berhenti di Padan ‘Arafah, lalu jiwa-spiritual kita naik menemui Allah swt. Ukuf di ‘Arafah ini memberikan rasa keharuan dan menyadarkan mereka akan yaumul mahsyar, yang ketika itu, manusia diminta untuk mempertanggung jawabkan atas segala yang telah dikerjakannya selama di dunia. Di Padan ‘Arafah itu, manusia insaf dengan sesungguhnya akan betapa kecilnya dia dan betapa agungnya Allah, serta dirasakannya bahwa semua manusia sama dan sederajat di sisi Allah, sama-sama berpakaian putih-putih, memuji, berdoa, sambil mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam.

Ibadah thawwaf dan sa’i yang dilakukan secara serempak dalam suasana khusyu’ mengesankan keagungan Allah. Bacaan-bacaan yang dikumandangkan mensucikan dan mentauhidkan Allah memberi makna bahwa kaum muslim harus hidup dinamis, senantiasa penuh gerak dan perjuangan, bahkan pengorbanan demi untuk menggapai keridhaan Allah swt. Peristiwa sa’i mengingatkan manusia akan perlunya hidup sehat disertai usaha sungguh-sungguh dan perjuangan habis-habisan dalam meraih kesehatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan paripurna.

Pada bulan haji, umat Islam se dunia mengadakan pertemuan tahunan secara besar-besaran, yang pesertanya berdatangan dari seluruh penjuru dunia, yang terdiri atas berbagai bangsa. Mereka semua dipersatukan di bawa lindungan Ka’bah. Ka’bah-lah yang menjadi lambang persatuan dan kesatuan umat. Pertemuan seperti inilah yang perlu dimanfaatkan oleh umat Islam dalam rangka pembinaan dan pembangunan masyarakat Islam baik nasional maupun internasional.

Dengan menunaikan ibadah haji, umat Islam didorong untuk menjadi manusia yang luas gerak dan pandangan hidupnya, yang dapat menambah ilmu dan pengalaman dengan berbagai bahasa. Melalui perkenalan itu lahir saling pengertian yang lebih baik, rasa hormat, dan saling harga-menghargai di antara sesama umat Islam dari berbagai penjuru dunia. Syarat ”mampu dan kuasa”, sebagaimana firman Allah swt. dalam QS Ali ’Imran/3:97, telah ditetapkan oleh Allah untuk menunaikan ibadah haji, mendidik setiap umat Islam agar mereka menjadi kuat dan sehat dalam bidang harta benda, fisik, dan rohani untuk dapat melakukan ibadah haji, yang sifatnya wajib hanya sekali seumur hidup. Karena itu, syarat ini pula mengisyaratkan bahwa haji merupakan ibadah fisik, ibadah rohani, dan ibadah dana.

Bekal Ibadah Haji.

Jemaah Haji adalah tamu-tamu Allah swt. Dia yang mengundang mereka melalui Pesuruh-Nya Nabi Ibrahim, as. Di balik undangan itu, ada pesannya kepada para undangan, sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Baqarah/2:197, seperti tersebut di atas, “Datanglah dengan membawa bekal”. Bekal inilah yang akan menentukan “Layanan Tuan Rumah” kepada para tamu. Rumahnya tanpa warna-warni, mengesankan kesederhaan, namun bangunan itu dapat mengarah kemampuan jua, dari mana pun Anda masuk selama membawa bekal, Anda akan diterimanya.

Ada “Tata cara protokoler” yang ditetapkannya, akan tetapi pasti menimbulkan tanya atau bahkan tawa, jika bekal yang di bawa tidak cukup, betapa tidak, para tamu diminta mengelilingi rumah, mondar-mandir antara dua bukit, melontar dengan batu-batu kecil, mencium batu hitam, pakaian yang dikenakan pria tidak boleh berjahit, alas kaki jangan menutup mata kaki, dan bila pakaian telah dikenakan, jangan lagi berhias, bersisir, atau menggunting kuku, mencabut bulu pun bila dilakukan terkena denda, apalagi bercumbu, membunuh binatang,  atau mencabut tumbuhan. Di sekeliling rumah-Nya banyak sekali pengunjung, sehingga banyak kepentingan yang dapat berbenturan dan ada juga penggoda, bahkan Iblis dan setan cukup banyak berkeliaran menanti mangsa atau mencari pengikut. Di sini kalau bekal tidak cukup, bukan rumah Tuhan yang dijumpai, akan tetapi sarang Iblis yang dihuni.

Bekal yang terbaik adalah takwa” sebagaimana tersebut pada ayat pertama di atas (QS al-Baqarah/2:79). Itu pesan Allah swt., yang menjelaskan jenis bekal. Takwa adalah nama bagi kumpulan simpul-simpul keagamaan, mencakup, antara lain: pengetahuan, ketabahan, keikhlasan, kesadaran akan jatidiri, serta persamaan manusia dan kelemahannya di hadapan Allah swt. Dengan bekal pengetahuan, sang tamu akan sadar bahwa apa yang dilihat dan dilakukannya merupakan simbol-simbol yang sarat makna dan apabila dihayati akan mengantarnya masuk dalam lingkungan Ilahi, ia akan menyadari, misalnya: rumah-Nya yang mengarah ke seluruh arah itu, melambangkan Allah yang berada di seluruh arah, dan ketika kesadaran ini muncul, tanpa segan para tamu akan mencium, atau paling tidak melambai ke batu hitam itu karena itulah lambang “Tangan Tuhan” yang diulurkan untuk menerima para tamu yang telah mengikat janji setia.

Dengan bekal kesadaran akan persamaan manusia dan kelemahannya di hadapan Allah, para tamu akan menanggalkan atribut-atribut “kebesaran” pada saat ia menanggalkan pakaian sehari-harinya dan mengenakan pakaian ihram (pakaian khusus para tamu itu) dan sejak itu, ia tidak akan cepat tersinggung apalagi marah, karena rasa kebesarannya telah pupus sejak ia memiliki bekal itu. Langkah pertama untuk memperoleh dan memelihara bekal itu, adalah meluruskan niat, karenanya singkirkan segala rayuan, hapus semua iming-iming duniawi,  dan hadapkan wajah kepada-Nya semata. Nilai setiap perbuatan ditentukan oleh niat pelakunya, itu keterangan pesuruh-Nya “Nabi Muhammad saw.”, dan karena itu pula, sejak dini dipesankan: “Sempurnakanlah haji dan umrah demi karena Allah swt. semata” (QS al-Baqarah/2:196).

Penyempurnaan Agama.

Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. mengishahkan bahwa seorang Yahudi mengucapkan di hadapan khalifah ‘Umar Ibnu al-Khattab bahwa ada ayat dalam kitab suci tuan, seandainya kepada kami ditujukan, maka hari turunnya kami jadikan sebagai hari lebaran. Ayat apa yang Anda maksud, tanya ‘Umar. Orang Yahudi menjawab, “Hari ini orang-orang kafir telah berputusasa untuk (mengalahkan) agamamu, karena itu jangan takut kepada mereka, takutlah kepada-Ku, hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, telah Ku-cukupkan untukmu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu” (QS al-Maa’idah/05:03). Orang Yahudi tadi mengatakan, “Aku tahu hari dan tempat turunnya, hari Jum’at, sore, Tahun ke-10 Hijrah, saat Nabi Muhammad saw. sedang Wukuf di ‘Arafah, dengan mengendarai untanya “Al-Ghadbaa’ ”.

Tidak keliru orang Yahudi itu, dalam Islam hanya ada dua hari raya. Ied al-Fithr  sebagai hari peletakan batu pertama ajaran Islam, karena pada bulan Ramadhan pertama kali al-Qur’an turun, dan hari raya Ied al-Adha’, di mana kita rayakan peletakan bata terakhir ajaran Islam, karena ketika itu diproklamirkan sempurnanya bangunan agama Islam, bahkan ketika itu—menurut sementara ulama—putus sudah hubungan langit dan bumi, di mana berakhir sudah wahyu-wahyu Ilahi.

Menarik untuk dihayati bahwa QS al-Ma’idah/05:03 di atas mengaitkan antara keputusasaan orang kafir, dan larangan takut kepada mereka dengan kesempurnaan agama Islam. Keterkaitan itu, menurut pakar al-Qur’an, mengandung ancaman tersirat, keterkaitan itu berarti, bahwa ketidaksempurnaan pelaksanaan agama, mengundang optimisme musuh, bahkan melahirkan keberanian mereka untuk menindas kaum muslimin. Bila Anda ingin bukti, pelajari saja sejarah umat ini sepeninggal Nabi Muhammad saw.

Hari raya peletakan bata terakhir dari ajaran Islam (Hari Raya Ied al-Adha’) hendaknya dapat menjadikan umat Islam, lebih menghayati lagi ajaran agamanya, dan lebih mengenal betapa berbeda beragama secara hakiki dan beragama secara imitasi. Tahukah Anda bedanya? Saya sadurkan tulisan DR. Ahmad Amin, seorang pujangga Mesir kenamaan, agar semakin jelas bedanya, dengan ungkapannya, “Tahukah tuan perbedaan antara sutera asli dan sutera tiruan, antara harimau dengan gambarnya, antara api yang sedang menyala dengan kata “api” yang keluar dari mulut yang hampa? Tahukah tua beda antara manusia yang hilir mudik bekerja dengan patung yang dipajang dietalase, diberi baju layaknya manusia? Tahukah tuan beda antara sang Ibu yang menangisi putrinya yang wafat dan wanita yang dibayar untuk menangis? Kalau tuan tahu membedakannya, maka begitu pulalah kiranya perbedaan antara beragama dengan benar dan beragama secara tiruan. Dalam agama tiruan, shalat hanya gerak tubuh belaka, haji hanya perjalanan tamasya, tiada lain, upacara ritual hanya bak adegan sandiwara. Demikian seterusnya”.

Sungguh wajar bagi setiap muslim untuk bercermin, menatap diri pada hari raya kesempurnaan agama itu, dan bertanya: “Telah sesuaikah sikapnya dengan ajaran Islam? Brenar, sudahkah cara ia beragama? Sudahkah diperkenankannya firman Allah: “Masuklah kalian seluruhnya di dalam agama Islam”.

Haji Akbar.

Hakekat “Haji Akbar” dalam perspektif al-Qur’an berbeda dengan pemahaman manusia umumnya. Manusia umumnya memahami bahwa haji akbar itu adalah apabila wukuf di ‘Arafah jatuh pada hari Jum’at. Sedangkan Haji Akbar perspektif al-Qur’an adalah berbeda dengan pandangan manusia umumnya. Namun tidak perlu gusar, karena pada hari apa pun jatuhnya wukuf, haji Anda tetap dinamai Haji Akbar, karena ibadah haji dinamai oleh al-Qur’an al-Hajj al-Akbar (Haji Besar/Haji Akbar), sedang ‘Umrah, yang tanpa wukuf di ‘Arafah itu, dinamai al-Hajj al-Ashghar (Haji Kecil).

Pada Tahun ke-9 Hijrah, Nabi Muhammad saw. mengangkat Abu Bakar ra. sebagai Amir al-Hajj, dan setelah keberangkatan beliau ke Mekkah, turunlah QS al-Taubah/9:3, yang terjemahnya: “Dan (inilah) permakluman dari Allah dan Rasul-Nya (Nabi Muhammad saw.) kepada manusia pada Hari Haji Akbar, bahwa Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik, demikian juga Rasul-Nya. Kemudian, jika kamu (kaum musyrik) bertaubat, maka ia (taubat itu) baik bagi kamu; dan jika kmu berpaling, maka ketahuilah bahwa kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan gembirakanlah orang-orang kafir dengan siksa yang pedih”, maka Ali bin Abiy Thalib diutus untuk menyampaikan maklumat Allah dan Rasul-Nya kepada seluruh manusia. Hari proklamasi itulah dinamai oleh al-Qur’an dengan Yaum al-Hajj al-Akbar (Hari Haji Akbar).

Al-Imam al-Qurthubiy mengemukakan dalam Kitab Tafsirnya beberapa pendapat tentang Haji Akbar, di antaranya: Haji Akbar adalah hari Wukuf di ‘Arafah (kapan pun terjadinya). Inilah pandangan Mazhab Abu Hanifah dan itu pula yang dikatakan oleh al-Imam al-Syafi’i; sedang Imam Malik dan al-Thabariy berpendapat bahwa hari Haji Akbar adalah hari lebaran Ied al-Adha’. Pendapat serupa dikemukakan pula oleh Ulama Besar Syi’ah Muhammad Husain al-Thaba’Thaba’i dalam kitab tafsirnya, bahwa jatuhnya Wukuf di ‘Arafah pada hari Jum’at merupakan suatu keistimewaan, tidak dapat disangkal, karena ketika itu,  salat Jum’at dan Wukuf terlaksana dalam sehari. Namun, bukan karena ini, haji menjadi Haji Akbar. Maklumat Allah yang disampaikan pada hari Haji Akbar itu adalah bahwa: 1) Allah swt. dan Rasul-Nya berlepas diri (tidak merestui) siapa pun yang mempersekutukan-Nya; 2) Kekuasaan Allah tidak terbendung oleh siapa pun; 3) Perjanjian (walau terhadap musuh/orang musyrik) harus tetap dijunjung tinggi.

Sedangkan Maklumat Nabi Muhammad saw. disampaikannya pada Haji Akbar (Haji Perpisahan), isinya, antara lain, adalah: 1) Persatuan dan kesatuan umat manusia harus terus dipelihara, tiada perbedaan antara seseorang dengan lainnya kecuali atas dasar pengabdian; 2) Jiwa, darah, kehormatan, harta benda, harus dijunjung tinggi; 3) Orang-orang lemah, seperti wanita harus dibela; dan 4) Penindasan dalam bidang ekonomi harus dihapuskan.

Tujuan Ibadah Haji.

Haji sebagai ibadah fisik, ibadah rohani, dan ibadah dana, bertujuan untuk memusatkan segala yang dimiliki hanya tertuju kepada Allah, dan dilaksanakan bukan di tempat yang sepi, melainkan di tempat berkumpulnya orang banyak. Boleh jadi, orang yang menjalankan ibadah haji ditemani oleh isterinya, namun ia tidak boleh berbicara dengan dia yang merangsang nafsu birahi; boleh jadi, ia ditemani oleh musuhnya, namun ia tidak diperbolehkan bertengkar dengan dia; ini semua dimaksudkan agar ia mendapat pengalaman rohani yang tinggi, bukan sekedar pengalaman rohani orang pertapa, yang memutuskan hubungan dengan dunia luar (orang banyak) dan bukan pula pengalaman rohani orang yang menjalankan ibadah di pojok yang sepi, melainkan pengalaman rohani orang yang tinggal di daerah keramaian yang penuh kesibukan, yang ditemani oleh isterinya, kawan-kawannya, dan musuh-musuhnya, sebagai ujian menuju suatu kehidupan paripurna, yakni sehat dan bahagia fisik dan rohani di dunia dan selamat di akhirat kelak. Ibadah haji yang mulia tapi berat ini, erat pula kaitannya dengan perintah ber-qurban (Al-Ma'idah,5:27).

Pesan-pesan Allah swt.

Hari ini usai sudah ibadah haji, para jama’ah telah bersiap kembali, ada pesan Allah yang bermula tertuju kepada mereka yang baru saja menyelesaikan ibadah haji, namun ditujukan pula kepada seluruh kaum muslimin, bahkan diamalkan secara populer walau hanya setengah maksudnya oleh hampir semua muslim. Sahabat Nabi saw. Anas bin Malik, suatu ketika dikunjungi oleh sekelompok kaum muslimin:

“Do’akan kami”, kata mereka!

رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ حَسَنَةٗ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ. 

Tuhan Pemelihara kami, anugerahilah kami hasanah (segala yang baik) di dunia dan hasanah (segala yang baik) di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.

“Singkat nian doamu”, kata mereka. “Apa lagi yang kalian inginkan lebih dari itu? Kebajikan dunia dan akhirat telah kumohonkan?”. Doa Anas bin Malik di atas diangkat dari pesan Allah dalam QS al-Baqarah/2:201 di sana setelah diperintahkan kepada para Jama’ah yang baru saja selesai melaksanakan ibadah haji agar banyak menyebut/mengingat Allah swt.—setelah selesai pesan ini—diinformasikan bahwa, “Ada orang yang berkata dan/atau berdoa: “Anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia” (tanpa memohon kebajikan di akhirat. Dan ada pula yang menggabungkannya, seperti doa Anas di atas. Hal ini ditegaskan dalam QS al-Baqarah/2:202, yang terjemahnya: “Mereka semua akan memperoleh bahagian dari usaha mereka”.

Ada dua hal yang perlu digarisbawahi dari informasi tersebut. Pertama, ucapan atau doa mereka dinamai oleh al-Qur’an usaha. Ini sebagai isyarat bahwa doa memang salah satu bentuk dari usaha manusia. Karena itu, ia hendaknya selalu harus disertai dengan usaha, bukan sekadar ucapan belaka. Pilu hati melihat yang hanya pandai memohon dan berkepanjangan pula tanpa dibarengi usaha. Mereka bermohon, tapi tidak berusaha. Kedua, ayat di atas menjanjikan setiap doa/usaha akan diperkenankan Allah swt., semua akan memperoleh bahagian: “Siapa yang menghendaki (berusaha memperoleh) kesenangan hidup duniawi, maka Kami segerakan baginya apa yang dikehendakinya, bagi orang yang Kami kehendaki”. Ayat ini terlihat dalam QS al-Isra’/17:18, demikian juga tentunya bagi mereka yang berusaha memperoleh kebajikan duniawi dan ukhrawi. Intinya, sekali lagi adalah “usaha”.

Mengenai “kebajikan duniawi”, ayat di atas tidak menjelaskannya, akan tetapi “Silahkan mengisi wadah itu dengan kebajikan apa pun yang Anda inginkan”, namun tak ada salahnya kita dengarkan sedikit perincian para pakar. Kata mereka, kebajikan duniawi meliputi: afiat, rezeki yang memuaskan, rumah luas, kendaraan menyenangkan, pasangan cantik/gagah, ilmu bermanfaat, amal shaleh, nama harum, dan sebagainya. Sedangkan kebajikan ukhrawi meliputi, antara lain: rasa aman ketika makhluk lain ketakutan, hisab/perhitungan yang ringan di Padang Mahsyar, kenikmatan memandang Wajah Allah swt., dan sebagainya.

Akhirnya, haji sebagai ibadah fisik, ibadah rohani, dan ibadah dana, bertujuan untuk memusatkan segala yang dimiliki hanya tertuju kepada Allah, dan dilaksanakan bukan di tempat yang sepi, melainkan di tempat berkumpulnya orang banyak. Dengan bekal kesadaran akan persamaan manusia dan kelemahannya di hadapan Allah, para tamu akan menanggalkan atribut-atribut “kebesaran” pada saat ia menanggalkan pakaian sehari-harinya dan mengenakan pakaian ihram (pakaian khusus para tamu itu) dan sejak itu, ia tidak akan cepat tersinggung apalagi marah, karena rasa kebesarannya telah pupus sejak ia memiliki bekal itu. Langkah pertama untuk memperoleh dan memelihara bekal itu, adalah meluruskan niat, karenanya singkirkan segala rayuan, hapus semua iming-iming duniawi,  dan hadapkan wajah kepada-Nya semata. Nilai setiap perbuatan ditentukan oleh niat pelakunya, itu keterangan pesuruh-Nya “Nabi Muhammad saw.”. Sungguh wajar bagi setiap muslim untuk bercermin, menatap diri pada hari raya kesempurnaan agama itu, dan bertanya: “Telah sesuaikah sikapnya dengan ajaran Islam? Benar, sudahkah benar cara ia beragama? Sudahkah diperkenankannya firman Allah: “Masuklah kalian seluruhnya di dalam agama Islam”. Seluruh rangkaian ibadah haji diakhiri dengan doa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. Itulah yang dimohonkan atau itulah yang harus diusahakan, bukan saja oleh mereka yang baru menunaikan ibadah haji, akan tetapi setiap muslim yang telah mampu membaca doa, yang selama ini dikenal dengan doa sapu jagad itu. Semoga kita berhasil menggelarkan isinya dalam kehidupan dunia dan akhirat. Selamat jalan para hujaj, semoga bekal yang di bawa tidak kurang, tidak pula tercecer, berjatuhan sedikit-sedikit. Demikian, wa Allah a'lam, semoga!