Berbeda dengan nuansa keagamaan di Kanada, minimal di Provinsi Nova Scotia (yang telah diulas pada tulisan sebelumnya), di sejumlah kota di negara Paman Sam, atau Amerika Serikat (AS), penampakan individu dan kelompok Muslim di ruang publik cukup menonjol.
Di kota Philadelphia, di negara bagian Pennsylvania, misalnya, tidak sulit menjumpai warga Muslim setempat. Pria Muslim biasanya dapat ditandai dengan peci “haji” yang mereka kenakan dalam berbagai warna dan model. Sementara perempuan Muslimah dapat diidentifikasi dengan hijab mereka (jilbab dan gamis), juga dalam beragam warna dan gaya.
Di ibukota pertama AS ini, penampakan warga keturunan Afrika atau yang berkulit hitam lebih dominan. Begitu juga yang menjadi pemeluk Islam di kota ini, umumnya dari kelompok etnis ini, yang biasa disebut Afro-Amerika.
Pada 2011, Pew Research Center menemukan, secara nasional ada 40 persen Muslim kelahiran Amerika Serikat adalah keturunan Afrika. Di masa-masa berikutnya, kelompok ini mulai disaingi oleh gelombang imigran Muslim dalam jumlah cukup besar dari sejumlah negara di Timur Tengah dan Asia Selatan.
Hingga awal 2000-an, di Philadelphia terdapat beberapa Pusat Islam (Islamic Centre) yang mengelola musala atau masjid. Misalnya, Al-Aqsa Islamic Society, Masjid Muhammad, dan United Muslim Mosque. Di antara yang terbesar adalah “Makkah Masjid”, yang dikelola oleh Hyderabad House Inc.
Yang disebut terakhir adalah organisasi nirlaba yang didirikan oleh warga Muslim keturunan India-Pakistan. Menariknya, di samping Makkah Masjid ini, di sisi jalan yang sama, berdiri satu gereja Protestan. Makkah Masjid dapat menampung sekitar 700 jemaah untuk bersalat Jum’at. Lebih banyak lagi jemaah untuk salat dua hari raya.
Sebelum menjadi masjid kelompok Sunni ortodoks pada 1964, bangunan ini digunakan sebagai kuil (temple) oleh kelompok the Nation of Islam (NOI) yang ketika itu dipimpin Malcom X. NOI adalah gerakan agama dan politik untuk perjuangan hak-hak warga kulit hitam AS. Ia didirikan pada Juli 1930 di Detroit, Michigan, oleh Wallace Fard Muhammad. Meskipun berlabel Islam, prinsip keagamaannya sangat berbeda dengan tradisi Islam ortodoks.
Di kota tempat kemerdekaan AS diproklamirkan ini terdapat dua perguruan tinggi besar. Yang satu, Universitas Pensylvania atau Upenn (yang termasuk dalam kelompok universitas elite di Amerika, atau Ivy League). Yang lainnya, Universitas Temple, di mana saya mengambil program studi S2 yang kedua dalam bidang Studi Agama-agama pada 2003-2005.
Universitas ini memiliki program Studi Islam yang reputasi akademiknya pernah menjadi salah satu yang terbaik di AS. Di sini pernah mengajar sarjana dan pemikir Muslim terkemuka seperti alm. Prof. Ismail Raji’ al-Faruqi dan istrinya alm. Prof. Lamiya al-Faruqi, Prof. Seyyed Hossein Nasr (sejak 1985 pindah ke George Washington University), alm. Prof. Mahmoud M. Ayoub dan Prof. Khalid Y. Blankinship.
Sebelum saya, tentu saja sudah banyak sarjana Indonesia yang menamatkan kuliah S2 dan S3 di Temple. Yang lebih dikenal mungkin adalah Dr. M. Alwi Shihab dan Prof. Yusni Sabi (Rektor IAIN Ar-Raniri Aceh pada masanya). Setelah saya, menyusul antara lain dua sarjana Muslim yang bernama depan sama: Kiyai Achmad Munjid dan Tuan Guru Ahmad Rafiq. Sebenarnya, ada Ahmad yang lain lagi, Kiyai Akhmad Sahal. Tapi dia kuliah di kampus tetangga, Universitas Pennsylvania.
Jarak Makkah Masjid dengan Universitas Temple cukup dekat, sekitar tiga blok saja (sekitar 1 km). Makanya, banyak mahasiswa Muslim dari kampus tersebut memilih melaksanakan salat Jum’at di sana. Walau di Temple juga diadakan Jumatan di Student Center. Beberapa professor Muslim dari jurusan kajian agama Temple juga menjadi khatib tetap di masjid ini, termasuk Prof. Ayoub dan Prof. Khalid yang sudah disebutkan di atas.
Selama beberapa bulan pertama, saya tinggal di satu dari delapan kamar di bangunan berlantai tiga di bagian depan Makkah Masjid. Setelah anak-istri menyusul, kami tinggal di apartemen berlantai tiga di samping kiri masjid. Baik masjid maupun apartemen adalah milik Hyderabad House Inc. Sewa kamar di masjid dan apartemen tersebut relatif lebih rendah dibanding standar normal sewa apartemen di kawasan sekitar.
Syarat penyewa apartemen ini harus dari keluarga Muslim, terutama pelajar dari luar negeri. Makanya, sejak lama beberapa kamar apartemen ini sudah menjadi langganan tetap mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di Temple. Selain itu, walau tidak tertulis, mereka juga harus bisa turut memakmurkan masjid atau menjadi "pemuda masjid".
Makanya, selama tinggal di sana, saya sering bertugas sebagai imam rawatib, muazzin tetap salat Jum’at, dan naib khatib salat Jum'at. Kadang saya membandingkan, salat berjemaah saya di masjid selama kuliah di AS mungkin lebih konsisten daripada saat kembali ke tanah air. Mungkin juga lebih saleh. Kawan-kawan biasa bercanda, gimana tidak agamis, tinggal di masjid, kuliah di kuil (temple). Hehehe.
Selama Ramadan, aktivitas komunitas Muslim di Philadelphia cukup menonjol. Banyak masjid lokal menawarkan penganan berbuka puasa, juga kelas khusus pengajaran Al-Qur'an dan agama. Toko-toko bahan makanan halal, toko buku Islam, dan busana Muslim juga tidak sulit dijumpai di beberapa sudut kota.
Warga Indonesia di sana cukup besar, ditaksir sekitar 5000-an orang di awal 2000-an. Bahkan, ada satu kawasan kota di mana “cita rasa Indonesia” begitu kentara dan terasa. Hal itu, misalnya, karena setiap saat kita dapat menjumpai orang-orang dan restoran Indonesia. Kawasan itu disebut South Philly karena lokasinya memang di kawasan selatan kota.
Saat saya kuliah di sana, warga Muslim asal Indonesia di kota itu berjumlah sekitar 500-an orang. Mereka cukup aktif mengadakan pengajian bulanan dari rumah ke rumah. Saya seringkali membawakan ceramah agama (pengajian), termasuk ceramah tarawih pada acara tarawih keliling yang diadakan sekali sepekan selama Ramadan.
Pernah juga satu kali saya menyampaikan khotbah idulfitri. Tempat salatnya adalah di aula indoor di lantai dasar satu kompleks lembaga pendidikan Kristen. Makanya, di ruangan itu masih terlihat ornamen-ornamen dan simbol-simbol religius yang biasa dijumpai di gereja-gereja.
Salat idulfitri dihadiri oleh sekitar 300-an jemaah asal Indonesia dan Malaysia. Setelah salat idulfitri jemaah melanjutkan dengan acara halal bi halal. Selain bincang-bincang santai antar jemaah, juga disajikan aneka hidangan makanan Indonesia khas lebaran. Aneka ragam makanan itu disiapkan oleh ikatan komunitas Muslim Indonesia yang cukup aktif di kota itu.
Beberapa tahun setelah saya kembali ke tanah air, kawan-kawan Muslim Indonesia di sana malah sudah mampu mengadakan masjid sendiri. Namanya Masjid Al-Falah. Memang tidak begitu besar karena hanya mengkonversi sebuah rumah berlantai dua menjadi masjid. Lantai satu difungsikan sebagai ruang salat. Lantai dua dijadikan kamar inap tamu, termasuk untuk mubalig dari luar Philly yang diundang ceramah di masjid tersebut.
Sejak itu, hampir semua aktivitas sosial, ibadah, pengajaran dan dakwah Islam warga Muslim Indonesia di Philadelphia dipusatkan di Masjid al-Falah. Selama masih aktif kuliah, ketiga pakar agama yang bernama depan Ahmad di atas adalah di antara mubalig tetap di masjid ini. Dengan mubalig sekaliber itu, bisa dibayangkan betapa dahsyat topik-topik kajian di masjid itu, khususnya selama Ramadan.
Sebenarnya masih ada satu Ahmad lagi, yaitu putra sulung kami: Ahmad Ishraqi Halim. Tapi karena saat itu Ahmad Ishraqy baru berusia 1,5 tahun, maka dia belum bisa ikut klub tri-Ahmad senior untuk mencerahkan Amerika.[]