Apakah pergantian tahun benar-benar menandai perubahan, atau hanya pergantian angka yang kita rayakan dengan euforia kosong?
Apakah kembang api yang meledak di langit mampu menerangi hati yang lama gelap oleh kerakusan, kebencian, dan kelelahan moral?
Ataukah kita sekadar berlari dari luka lama, sambil menipu diri dengan harapan instan bernama “tahun baru”?
Setiap akhir Desember, kota-kota berubah menjadi panggung cahaya. Langit dihiasi letupan warna, jalanan dipenuhi tawa, musik, dan hitungan mundur yang terasa sakral.
Namun di balik dentuman itu, ada sunyi yang tidak terdengar, yakni sunyi nurani yang semakin jarang diajak bicara. Kita merayakan pergantian waktu, tetapi lupa bertanya, apa yang benar-benar berubah dalam diri kita?
Al-Qur’an telah lama mengingatkan bahwa perubahan sejati tidak lahir dari kalender, melainkan dari keberanian menata batin:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri.”
(QS. ar-Ra‘d: 11)
Ayat ini adalah tamparan lembut namun tegas. Ia mematahkan ilusi bahwa waktu adalah penyelamat. Waktu hanyalah saksi. Manusialah pelakunya.
Kembang api menyala, tetapi mengapa nurani tetap redup? Karena kita terlalu sibuk menghias luar, sementara bagian dalam dibiarkan retak.
Kita sibuk menyusun resolusi, tetapi enggan menata orientasi hidup. Kita ingin hidup lebih baik, namun enggan meninggalkan kebiasaan yang merusak.
Rasulullah SAW. mengajarkan bahwa ukuran perubahan bukan pada usia atau tahun, melainkan pada kualitas hari yang dijalani. Para ulama menuntun kita :
مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ فِي زِيَادَةٍ
“Barang siapa hari ini lebih baik daripada kemarin, maka ia berada dalam keuntungan.”
Riwayat ini tidak romantis. Ia jujur dan menuntut. Ia menanyakan kemajuan yang nyata, bukan harapan yang diulang tiap tahun tanpa bukti.
Sayyidina ‘Umar bin al-Khaththab RA. bahkan lebih keras dalam mengingatkan diri dan umatnya:
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab.”
Di sinilah letak kegagalan kita di setiap pergantian tahun, kita merayakan, tetapi jarang menghisab. Kita menghitung detik menuju tahun baru, tetapi enggan menghitung dosa, kelalaian, dan kezaliman yang belum ditebus.
Padahal Al-Qur’an mengingatkan dengan nada yang getir:
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
“Demi waktu, sungguh manusia benar-benar berada dalam kerugian.”(QS. al-‘Ashr: 1–2)
Kerugian itu bukan karena waktu berjalan, tetapi karena kita membiarkan waktu berlalu tanpa makna.
Imam al-Ghazali menulis dengan getir:
الأَيَّامُ صَنَادِيقُ أَعْمَالِكَ فَافْتَحْهَا بِالْخَيْرِ
“Hari-harimu adalah kotak-kotak amalmu, maka isilah ia dengan kebaikan.”
Namun hari-hari kita sering diisi bukan dengan kesadaran, melainkan pelarian, dimana hiburan berlebihan, amarah yang dipelihara, dendam yang disimpan, dan keserakahan yang disamarkan sebagai ambisi.
Tahun baru akhirnya hanya menjadi ritual kolektif pelupa, bukan momentum muhasabah. Kita meniup terompet, tetapi menutup telinga dari jeritan nurani. Kita menyalakan kembang api, tetapi membiarkan api keserakahan membakar empati sosial.
Padahal perubahan tidak menuntut gegap gempita. Ia menuntut kejujuran. Keberanian untuk berkata: “Aku belum baik. Aku harus berubah.”
Rasulullah SAW. bersabda:
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ
“Orang cerdas adalah yang menghisab dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati.”
(HR. at-Tirmidzi)
Maka jika kembang api telah padam, biarlah nurani justru menyala. Jika kalender berganti, biarlah arah hidup ikut berubah. Jangan ulangi beban lama dengan kemasan baru. Jangan wariskan luka yang sama ke tahun berikutnya.
Karena sejatinya, tahun baru bukan soal apa yang kita rayakan, tetapi apa yang kita tinggalkan dan apa yang dengan sadar kita perbaiki.
Jika tidak, maka kembang api akan terus menyala setiap tahun, sementara nurani tetap gelap, dan kita (tanpa sadar) terus memikul beban lama di pundak yang semakin rapuh.
Dan pada saat itu, bukan tahun yang gagal berubah, melainkan kita yang gagal belajar.
Pasda akhirnya yang harus hadir dalam jiwa, pikiran dan laku kita bahwa tahun boleh berganti, kembang api boleh kembali menyala dan memenuhi langit malam, tetapi jika nurani terus kita biarkan tertidur oleh kebiasaan lama dan kejujuran yang kita tunda, maka sejatinya kita tidak sedang melangkah ke masa depan, melainkan hanya mengulang masa lalu dengan usia yang kian menua dan beban yang semakin berat.
Karena perubahan sejati tidak lahir dari gemerlap perayaan atau pergantian angka di kalender, melainkan dari keberanian menyalakan kembali nurani, menghitung diri dengan jujur, dan melangkah sadar menuju hidup yang lebih bermakna sebelum semuanya benar-benar terlambat.
#Wallahu A’lam Bish-Shawab
Alat AksesVisi