Gambar "Dukun Sakti"


Malam itu, ruang praktik penuh sesak. Suara batuk, keluhan, dan derap langkah memenuhi udara. Di tengah keramaian, seorang pria masuk sambil menggendong istrinya. Ini bukan adegan romantis seperti di film , tapi karena sang istri tak bisa berjalan alias lumpuh.


Ia segera dibaringkan di tempat tidur periksa. Tak mampu duduk.


Baiklah, kita kenalan dulu.

Namanya Bu Rani, ibu satu anak. Usianya 29 tahun. Suaminya yang setia menemani, mulai bercerita:

“Sudah sebulan, Dok, istri saya tidak bisa jalan. Awalnya cuma sakit perut. Kami berobat ke mantri di kampung, katanya ‘kandungannya turun’. Sejak saat itu, dia tidak bisa jalan lagi.”


Saya mengangguk pelan. Lalu mulai memeriksa — dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pemeriksaan fisik, pemeriksaan dalam, lalu USG. Hasilnya? Semua normal.

Tidak ada tanda-tanda kegawatan. Tidak ada penyakit organik. Kandungannya sehat. Tidak ada yang “turun”.

Tidak ada prolaps uteri. Prolaps uteri adalah istilah medis, nama lain dari turun kandungan.


Semua normal, tapi mengapa ia tak bisa berjalan?

Kutatap matanya.

Dari matanya… saya tahu.

Wajah itu bukan sekadar wajah orang sakit. Itu wajah yang dicekam kecemasan luar biasa. Ini bukan masalah tubuh. Ini masalah pikiran.


Psikosomatik, dugaanku.


Apa itu Psikosomatik?

Psikosomatik berasal dari dua kata: psyche (jiwa) dan soma (tubuh). Ini adalah kondisi ketika masalah psikologis — seperti stres, ketakutan, kecemasan — mempengaruhi kondisi fisik seseorang.


Tubuhnya sehat, tapi pikirannya sedang sakit. Dan yang menarik: gejalanya bisa sangat nyata. Bukan pura-pura. Bukan dibuat-buat.


Seperti pada Bu Rani: nyeri perut, lemas, bahkan tak bisa berjalan, semua itu bisa muncul karena ketegangan jiwa yang mendalam. Mungkin ia menyimpan trauma. Ketakutan. Atau tekanan yang tak bisa ia ungkapkan. Tapi tubuhnya yang “bicara”.


Saya tersenyum.

“Baik, Bu Rani, sekarang boleh turun dari tempat tidur periksa, ya.”


Bu Rani menoleh ragu ke suaminya. Sang suami refleks berdiri, siap membopong istrinya lagi.


“Tunggu dulu, Pak,” kataku sambil tersenyum. “Bapak duduk saja. Ibu bisa turun sendiri, kok.”

Mereka berdua tampak terkejut.

"Ayo, Bu Rani. Ibu bisa. Ibu sehat. Ibu tidak lumpuh. Kandungan ibu normal dan baik-baik saja." 



Saat itu, entah kenapa, saya merasa seperti penjual obat di pasar malam