Selain profil para mubalig kelana (yang sudah diulas pada seri tulisan #12), para penghafal Al-Qur’an (Ar. ḥāfiẓ, jamaknya ḥuffāẓ) juga beroleh banyak ‘berkah’ (Bug. barekka') selama bulan Ramadan.
Setidaknya, sejak belasan tahun terakhir, banyak pengurus masjid di Indonesia berpacu dengan waktu menjelang Ramadan tiba untuk mendapatkan seorang hafiz dengan bacaan fasih dan indah untuk menjadi imam tarawih.
Di masa lalu, imam tarawih biasanya adalah warga setempat yang sudah lama menjadi imam rawatib atau imam tetap di masjid yang sama. Tidak jarang, mereka itu sudah berusia lanjut. Bacaan Al-Qur’an mereka pun kerap sudah kurang fasih dan tidak sesuai aturan ilmu tajwid (misalnya karena gigi sudah banyak yang tanggal). Mereka juga jarang yang sudah hafal Al-Qur’an 30 juz seperti banyak imam rawatib muda saat ini.
Sekarang, semakin banyak pengurus masjid yang mendatangkan seorang hafiz dari luar daerah untuk menjadi imam di masjid mereka. Selain salat tarawih, biasanya mereka juga mengimami salat berjemaah lainnya selama Ramadan, termasuk salat Jum’at dan idulfitri.
Tentu saja pengurus masjid harus menyiapkan insentif atau honorarium yang layak dan sesuai untuk mereka yang mungkin tidak salah jika disebut ‘imam kontrak’ ini. Itu belum termasuk biaya transportasi dan akomodasi buat mereka selama bertugas sebulan penuh.
Tampaknya, selain kefasihan dan keindahan bacaan, jumlah hafalan imam tarawih telah menjadi salah satu daya tarik baru bagi jemaah untuk memilih melakukan salat tarawih di masjid tertentu. Maka, para pengurus masjid pun m memandang semakin perlu ‘mengontrak’ imam salat tarawih yang bagus selama Ramadan. Jika kukuh tidak mau ikuti tren ini, siap-siap saja jemaah beralih ke lain masjid, yang imamnya seorang hafiz dan qari.
Beberapa masjid malah memprogramkan agar imam tarawih menamatkan bacaan 30 juz Al-Qur’an selama memimpin salat tarawih selama Ramadan. Untuk tujuan itu, hanya seorang hafiz yang dapat melakukannya.
Pengurus masjid dapat mendapatkan imam tarawih lewat dua cara. Pertama, mereka mengontak langsung calon imam yang dikenal (terkenal) atau highly recommended. Kedua, mereka mengirimkan surat permohonan ke lembaga-lembaga pendidikan tahfiz al-Qur’an yang memang mengizinkan dan mempersiapkan santri mereka menjadi imam salat tarawih di mana pun mereka diundang.
Salah satu lembaga seperti itu adalah program Tahfiz Al-Qur’an Masjid Jami’ (TQMJ) di Kota Sengkang, Kab. Wajo. Dalam rangka penulisan disertasi doctoral saya, lembaga ini menjadi salah satu objek penelitian saya selama setahun di 2012. TQMI ini adalah salah satu dari beberapa lembaga pengajaran menghafal Qur’an di bawah kordinasi Pondok Pesantren As’adiyah Pusat di Sengkang.
Satu di antara program tahfiz al-Qur’an 'formal' tertua di Sulsel ini didirikan oleh AGH. Muhammad As’ad al-Bugisy (1907-1952) pada 1928. Dua tahun sebelum beliau mendirikan al-Madrasah al-Arabiyyah al-Islamiyah (MAI) pada 1930. MAI ini kemudian berganti nama menjadi Madrasah As’adiyah, lalu menjadi Pondok Pesantren As’adiyah.
Sejauh ini sudah ada ratusan alumni TQMJ, yaitu siswa yang telah berhasil menghafal 30 juz dan mendapatkan gelar “al-hafiz”. Beberapa alumninya tercatat pernah berhasil menjuarai MTQ bidang tahfiz Al-Qur’an di tingkat nasional dan internasional yang diadakan di beberapa negara berbeda.
Lebih banyak lagi alumni lembaga pendidikan ini yang telah menjadi imam rawatib di masjid-masjid di Sulawesi Selatan dan daerah lain. Termasuk di masjid-masjid raya dan masjid agung di ibukota-ibukota provinsi dan kabupaten. Seorang alumninya bahkan masih tercatat hingga kini (2021) sebagai salah satu dari beberapa imam rawatib di Masjid Istiqlal Jakarta.
Memang, selain karena kemuliaan status seorang hafiz menurut teks-teks agama, motivasi lain anak-anak usia 12-17 mengikuti program TQMJ adalah menjuarai MHQ tingkat nasional dan internasional. Selain itu, juga dapat menjadi imam rawatib dan imam tarawih seperti telah disebutkan di atas. Tentu saja, masih ada pula di antara mereka yang menjadi hafiz sebagai bagian dari upaya menjadi seorang ulama di masa depan.
Beberapa informan saya di 2012 dari kalangan santri TQMJ mengaku ikut program tahfiz karena setuju dengan pandangan bahwa salah satu bekal terbaik untuk menjadi ulama adalah dengan menghafal Al-Qur’an.
Dalam wawancara saya, beberapa santri mengakui bahwa mereka mengikuti program pendidikan tahfiz karena terinspirasi untuk mengikuti jejak senior mereka yang telah meraih juara kontes tahfiz di level nasional dan internasional.
Saat itu, belum banyak yang tahu jika sejumlah perguruan tinggi terkemuka saat ini juga menawarkan memberi beasiswa khusus pada mahasiswa hafiz. Misalnya dengan menggratiskan pembayaran uang kuliah mereka. Termasuk untuk program studi ilmu kedokteran.
Kembali ke topik imam tarawih. Setiap Ramadan, TQMJ mengirim hingga seratusan santri dan alumninya menjadi imam tarawih atau imam Ramadan ke beberapa tempat, khususnya di kawasan timur Indonesia. Ada juga alumni yang diundang langsung oleh pengurus masjid tanpa melalui atau dikordinasi oleh TQMJ. Yang masih santri, jika ingin ditugaskan menjadi imam, selain sudah balig, mereka juga sudah menghafal minimal lima juz.
Dalam kasus tertentu, ada imam tarawih dari TQMJ yang diundang secara khusus oleh pengurus masjid yang sama selama dua Ramadan berturut-turut. Biasanya ini merupakan satu tanda, jemaah tersebut sangat menyukai bacaan atau pribadi sang imam. Namun, dalam satu wawancara di 2012, direktur TQMJ waktu itu, AGH. Muhammad Yahya (Allah yarham), mengatakan bahwa permintaan seperti itu sudah jarang beliau penuhi.
Salah satu sebabnya, ada beberapa kasus, santri atau alumni seperti ini sebenarnya sedang diupayakan oleh pengurus masjid yang mengundang untuk dinikahkan dengan gadis setempat. Tujuannya jelas, agar santri atau alumni tersebut menjadi warga dan imam tetap di masjid tersebut untuk, jika bisa, selamanya.
Seperti mubalig kelana Ramadan yang diulas pada tulisan #12, para imam Ramadan ini juga tinggal di lokasi tugas selama sebulan penuh. Tempat tugas mereka juga mencakup banyak wilayah di kawasan timur Indonesia, bahkan juga hingga ke Riau dan Jambi di Sumatera.
Seperti mubalig kelana Ramadan yang diulas pada tulisan #12, para imam Ramadan ini juga tinggal di lokasi tugas selama sebulan penuh. Tempat tugas mereka juga mencakup banyak wilayah di kawasan timur Indonesia hingga ke Riau dan Jambi di Sumatera.
Dan seperti mubalig kelana, setelah menunaikan tugas, para imam tarawih ini pun mendapatkan honorarium atau insentif yang jumlahnya variative. Tapi bisa mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah. Tergantung tingkat kesejahteraan kas masjid atau para donaturnya serta tingkat kepuasan mereka atas performa sang imam.
Tentu sebuah tugas mulia sekaligus memerlukan pengorbanan dari para huffaz seperti ini, terutama yang telah berkeluarga. Sebab, selama satu Ramadan penuh, mereka mungkin tidak dapat menikmati kebersamaan dengan istri dan anak-anak mereka.
Dengan kemajuan teknologi media digital, kini kita dapat menyaksikan video saat para huffaz, yang rata-rata muda itu, memimpin salat tarawih di berbagai masjid. Terutama melalu berbagai platform media sosial seperti FB, X, Instagram dan Youtube. Baik secara live streaming maupun relay atau rekaman.
Nah, apa Anda kini sudah memiliki satu imam favorit di antara mereka yang Anda pernah tonton di medsos selama Ramadan ini? Apa alasan Anda memilih dia? Saya biasanya menyaksikan lewat FB Page: "Barakkana Gurutta Channel"