Gambar *BENARKAH LGBTQ+ BAWAAN LAHIR ?:  Mengurai Mitos, Menghidupkan Fitrah”


Pernahkah  kita menundukkan kepala sejenak dan bertanya kepada diri sendiri, mengapa sebagian manusia merasa terasing dari tubuhnya sendiri? 


Mengapa ada yang mencari identitas baru seolah identitas yang diberikan Tuhan tidak cukup? 


Ataukah sebenarnya di balik semua itu ada luka yang lama disembunyikan, ada suara hati yang tak pernah didengar, ada kekosongan afeksi yang tak pernah terisi, dan akhirnya semua kegelisahan itu diberi nama baru, orientasi seksual?


Pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk menyudutkan siapa pun, tetapi untuk mengajak kita melihat manusia dengan lebih jernih, lebih lembut, dan lebih dalam. 


LGBTQ+ adalah singkatan dari Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, dan Queer/Questioning, yaitu istilah yang digunakan untuk menggambarkan kelompok individu dengan orientasi seksual atau identitas gender yang berbeda dari heteroseksual atau cisgender. Tanda “+” mencakup beragam identitas lain seperti intersex, asexual, dan pansexual. 


Secara keseluruhan, istilah ini berfungsi sebagai payung bagi berbagai ekspresi dan pengalaman seksual serta gender di luar pemahaman tradisional.


Islam selalu memulai pembicaraan tentang manusia dengan satu kata yang agung: fitrah. 


Fitrah adalah rancangan ilahi yang sempurna, cetak biru kemanusiaan yang tidak mungkin salah dan tidak mungkin rusak sejak awal. Allah berfirman:

فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا

“Fitrah Allah yang Dia menciptakan manusia di atasnya.” (QS. Ar-Rum: 30)


Dalam fitrah itu Allah telah menetapkan harmoni penciptaan, perempuan diciptakan sebagai pasangan laki-laki, dan laki-laki sebagai pasangan perempuan. 


Bukan dua laki-laki dan bukan dua perempuan. Karena pernikahan bukan sekadar institusi sosial, tetapi penyingkapan terhadap sunnatullah yang paling dasar.


Allah menjelaskan hal ini dengan sangat indah:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا

“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri.” (QS. Ar-Rum: 21)


Ketika tatanan ini diabaikan, manusia kehilangan arah bukan karena ia jahat, tetapi karena ia keluar dari jalur yang membuat jiwa tenang. 


Di sinilah muncul pertanyaan besar: benarkah LGBTQ+ adalah bawaan lahir? Apakah ia bagian dari takdir genetik manusia?


Ilmu pengetahuan modern, meskipun sering diklaim membenarkan hal ini, justru menyimpulkan sebaliknya. Dalam riset genom terbesar yang dipublikasikan jurnal Science (2019), para ilmuwan menyatakan bahwa tidak ada gen tunggal yang menentukan orientasi seksual. 


Yang ditemukan adalah kombinasi faktor psikologis, trauma masa kecil, pola asuh yang tidak stabil, kebutuhan afeksi yang tidak terpenuhi, dan pengaruh lingkungan yang sangat kuat.


Ini artinya bahwa homoseksualitas bukan sesuatu yang dibawa dari rahim, tetapi sesuatu yang terbentuk seiring pengalaman manusia menghadapi dunia. 


Islam memandang fenomena ini bukan sebagai “kerusakan bawaan”, melainkan sebagai fitrah yang terluka, bukan fitrah yang hilang.


Karena itu Al-Qur’an menggambarkan penyimpangan kaum Nabi Luth bukan sebagai identitas, tetapi sebagai perilaku yang muncul dari pembalikan total terhadap fitrah. Allah berfirman:

أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ

“Apakah kalian mendatangi lelaki dengan syahwat, bukan perempuan?” (QS. An-Naml: 55)


Di ayat lain Allah menyebut:

بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ

“Bahkan kalian adalah kaum yang tidak mengerti.” (QS. An-Naml: 55)


Rasulullah SAW pun bersabda:

لَعَنَ اللهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ

“Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth.” (HR. Ahmad)


Ibnu Abbas berkata:

أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَاعِلُو الْفَاحِشَةِ فِي الرِّجَالِ

“Orang yang paling berat azabnya pada hari kiamat adalah pelaku homoseksual.”


Namun justru pada titik inilah Islam mengajarkan kebijaksanaan lain, keras terhadap perbuatan, namun lembut terhadap pelaku. 


Tidak semua orang yang menyimpang itu jahat, sebagian dari mereka hanyalah manusia yang terluka, tersesat, atau tidak pernah dipeluk oleh kasih sayang yang seharusnya membantu mereka tumbuh dengan seimbang.


Banyak kasus LGBTQ+ berakar pada pengalaman pahit, kekerasan seksual saat kecil, depresi, penolakan orang tua, lingkungan yang buruk, hingga konsumsi konten seksual yang terlalu awal. 


Maka orang yang berbuat salah tidak selalu orang yang melawan Tuhan, terkadang ia hanya orang yang tidak pernah menemukan dirinya. Karena itulah Allah memerintahkan:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

“Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)


Nabi bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَا مُعَسِّرِينَ

“Kalian diutus untuk memudahkan, bukan mempersulit.” (HR. Bukhari)


Maknanya bahwa dakwah bukan menutup pintu, tetapi membuka jendela, bukan menghakimi, tetapi memulihkan, bukan memaksa, tetapi membimbing dengan kasih. 


Mereka yang terjerat penyimpangan masih memiliki jalan pulang yang luas.. Allah sendiri berfirman:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ

“Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka, janganlah berputus asa dari rahmat Allah.” (QS. Az-Zumar: 53)


Ayat ini adalah pelukan langit bagi siapa pun yang ingin kembali menjadi dirinya yang paling murni.


Menyembuhkan LGBTQ+ bukan dimulai dari hukuman, tetapi dari pemulihan jiwa, mengembalikan manusia kepada fitrah yang lama ditinggalkan. 


Proses ini menuntut penguatan iman, terapi psikologis dan spiritual bagi mereka yang terluka, pembenahan relasi keluarga, penjagaan lingkungan dan media dari konten destruktif, serta dakwah dengan kelembutan yang mampu menyentuh hati.


Sebab hati tidak tunduk pada logika atau ancaman, ia tunduk pada cinta, pada keteladanan, pada cahaya yang menyembuhkan. 


Pada akhirnya, persoalan LGBTQ+ bukan hanya soal hukum dan moral, tetapi soal jati diri terdalam manusia.


Apakah kita setia pada rancangan Pencipta, atau tenggelam dalam gelombang budaya yang mengaburkan arti kemanusiaan? 


Apakah kita berpegang pada fitrah yang suci, atau pada rasa yang lahir dari luka? 


Islam datang bukan untuk mencela, tetapi untuk mengembalikan manusia pada dirinya yang paling hakiki, manusia yang utuh, merdeka dari syahwat, dan dekat dengan Tuhan.


Semoga tulisan ini menjadi cermin yang jernih bagi siapa pun yang sedang mencari jalan pulang. 


Semoga fitrah yang sempat redup kembali menyala. Dan semoga kita semua diberi kekuatan untuk melihat manusia bukan dari kesalahannya, tetapi dari kemampuannya untuk kembali kepada cahaya.


Wallahu A’lam bish-Shawab