Arisan merupakan tradisi sosial yang telah mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia. Sebagai salah satu bentuk kearifan lokal, arisan sering kali menjadi sarana untuk mempererat tali silaturahmi, memperkuat solidaritas sosial, serta mendukung kebutuhan ekonomi secara kolektif. 

Dalam pelaksanaannya, arisan tidak hanya mencerminkan semangat gotong royong, tetapi juga menjadi wadah untuk membangun kebersamaan di tengah kesibukan kehidupan modern.

Namun, seiring perkembangan zaman, fenomena arisan menghadapi tantangan baru, terutama dalam menjaga kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip syariah. 

Dalam Islam, setiap aktivitas muamalah (interaksi sosial dan ekonomi) harus memenuhi kaidah syariah, yang menekankan pada keadilan, transparansi, dan larangan terhadap riba, gharar (ketidakjelasan), serta dharar (kerugian). Pertanyaan pun muncul: sejauh mana praktik arisan sebagai kearifan lokal dapat tetap relevan dengan tuntutan ketaatan terhadap syariat Islam?

Tinjauan fiqhi terhadap arisan memberikan perspektif penting dalam memahami aspek-aspek hukum dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sebagian ulama melihat arisan sebagai aktivitas yang diperbolehkan selama tidak melibatkan unsur-unsur yang diharamkan, seperti riba atau ketidakadilan. Di sisi lain, arisan yang disalahgunakan baik untuk kepentingan pamer, persaingan status sosial, maupun praktik ekonomi yang tidak adil dapat menyimpang dari semangat awalnya sebagai media tolong-menolong.

Pendekatan kontemporer terhadap fenomena arisan tidak hanya mempertimbangkan dimensi syariah, tetapi juga aspek sosial, ekonomi, dan psikologis yang melekat dalam praktik ini. 

Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji arisan dari perspektif fiqhi kontemporer, dengan menyoroti peran kearifan lokal dalam memperkuat ukhuwah Islamiyah, sekaligus memastikan kepatuhannya terhadap prinsip-prinsip syariah. Kajian ini juga akan didukung dengan dalil-dalil syar'iy untuk memberikan pandangan yang komprehensif terhadap fenomena arisan dalam konteks Islam.

I. Dimensi Sosial dan Budaya

Arisan berfungsi sebagai media sosial yang mempererat silaturahmi. Dalam Islam, menjalin hubungan sosial yang baik adalah salah satu bentuk ibadah. Allah SWT berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran."
(QS. Al-Ma’idah: 2)

Arisan yang dilakukan dengan tujuan memperkuat ukhuwah dan gotong royong mencerminkan semangat ta’awun (tolong-menolong). Namun, jika dalam praktiknya hanya untuk pamer atau menimbulkan kesenjangan sosial, maka ini bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

II. Dimensi Ekonomi

Arisan dapat dianggap sebagai salah satu bentuk tabungan kolektif. Ini sesuai dengan prinsip Islam yang menganjurkan untuk merencanakan keuangan secara baik. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ فِي عَمَلِهِمْ
"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik dalam pekerjaannya."
(HR. Thabrani)

Dalam konteks arisan, perencanaan keuangan yang baik melalui tabungan bersama adalah praktik yang dianjurkan, selama tidak ada unsur riba atau gharar (ketidakjelasan). Namun, jika arisan dijadikan ajang untuk memaksakan kontribusi yang melebihi kemampuan peserta, hal ini dapat menimbulkan dharar (bahaya) yang dilarang dalam Islam.

III. Dimensi Psikologis dan Spiritual

Secara psikologis, arisan dapat memberikan rasa puas dan bahagia, terutama ketika giliran seseorang menerima hasil. Namun, jika dilakukan karena tekanan sosial atau persaingan status, hal ini bertentangan dengan prinsip qana’ah (menerima dengan cukup). Rasulullah SAW bersabda:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
"Kekayaan itu bukan karena banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kaya hati."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Arisan yang dilakukan dengan niat murni membantu sesama dapat menjadi ibadah. Namun, jika diiringi niat untuk pamer atau persaingan status, maka akan mendistorsi nilai spiritual di dalamnya.

IV. Dimensi Syariah

Tinjauan Fiqhi Kontemporer terhadap Fenomena Arisan

Karena arisan  adalah praktik sosial yang umum dalam masyarakat Indonesia dan beberapa negara lainnya. maka dalam konteks Islam, aktivitas ini dapat dinilai dari segi hukum syariah, apakah sesuai atau tidak dengan prinsip-prinsip Islam. Kajian fiqhi kontemporer terhadap arisan melibatkan analisis terhadap akad yang digunakan, potensi manfaat, serta risiko yang mungkin terjadi, seperti riba atau gharar.

Definisi dan Karakteristik Arisan

Dalam tinjauan karakteristik kegiatan ini , maka arisan adalah aktivitas pengumpulan dana secara kolektif oleh sekelompok orang, yang kemudian diberikan secara bergilir kepada para peserta sesuai urutan tertentu. Praktik ini sering kali tidak melibatkan keuntungan finansial tambahan (riba), sehingga sekilas terlihat sederhana. Namun, dalam konteks fiqhi, penting untuk memahami apakah akad yang terlibat memenuhi prinsip syariah.

Hukum Arisan dalam Islam

1. Prinsip Dasar dalam Muamalah

Dalam Islam, hukum asal muamalah adalah mubah (boleh), kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Kaidah fikih menyebutkan:

الأصل في المعاملات الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
"Hukum asal dalam muamalah adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya."

Selama arisan tidak melibatkan unsur riba, gharar (ketidakjelasan), atau dharar (bahaya), maka hukumnya diperbolehkan.

2. Unsur yang Membatalkan Kehalalan Arisan

Beberapa unsur yang perlu dihindari dalam arisan agar tetap sesuai syariah:

Riba: Tambahan nilai uang dari peserta tertentu sebagai keuntungan.

Gharar: Ketidakjelasan tentang mekanisme atau ketentuan pengelolaan dana.

Dharar: Memberatkan peserta dengan kewajiban yang tidak mampu dipenuhi. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu."
(QS. An-Nisa: 29)

Hadis Nabi SAW juga mengingatkan:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
"Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain."
(HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Pandangan Ulama tentang Arisan

1. Pendapat Ulama Kontemporer

Mayoritas ulama kontemporer membolehkan arisan, dengan catatan bahwa:

1. Tidak ada unsur riba dalam bentuk tambahan uang.

2. Sistem pengelolaan dana dilakukan secara transparan dan adil.

3. Tujuan utamanya adalah membantu sesama, bukan untuk memperkaya diri atau pamer.

2. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)

MUI menyatakan bahwa arisan hukumnya boleh selama tidak bertentangan dengan syariat. Hal ini didasarkan pada prinsip ta’awun (tolong-menolong) dalam kebaikan. Allah SWT berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran."
(QS. Al-Ma’idah: 2)

3. Qaul Sahabat dan Ulama Salaf

Meskipun arisan sebagai praktik tidak dikenal di masa Nabi atau sahabat, prinsip-prinsip dasar dari muamalah seperti mudarabah (kerjasama usaha) dan qardh hasan (pinjaman tanpa bunga) dapat dijadikan rujukan.
Ibnu Qudamah menyatakan:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
"Setiap pinjaman yang mendatangkan keuntungan adalah riba."
(Al-Mughni, 6/436)

Dalam konteks arisan, jika ada peserta yang mendapatkan keuntungan tambahan berupa uang atau fasilitas tertentu, maka hal ini harus dihindari agar tidak termasuk riba.

Dimensi Positif Arisan dalam Perspektif Islam

1. Menguatkan Ukhuwah Islamiyah
Arisan dapat menjadi sarana mempererat hubungan sosial antaranggota masyarakat. Ini sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW:

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
"Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya bagaikan bangunan, saling menguatkan."
(HR. Bukhari dan Muslim)

2. Melatih Perencanaan Keuangan
Dengan arisan, peserta belajar menabung dan merencanakan keuangan dengan baik. Ini sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan hidup hemat dan tidak boros. Allah SWT berfirman:

وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا ۞ إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara setan."
(QS. Al-Isra: 26-27)

Solusi untuk Praktik Arisan yang Sesuai Syariah

1. Menghindari Riba
Hindari tambahan uang sebagai keuntungan bagi pihak tertentu. Semua peserta harus mendapat perlakuan yang sama.

2. Transparansi dalam Pengelolaan
Pengelola arisan harus memberikan informasi jelas mengenai mekanisme dan aturan yang disepakati bersama.

3. Memastikan Niat yang Benar
Arisan dilakukan dengan niat membantu sesama, bukan untuk tujuan pamer atau mencari keuntungan duniawi. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Arisan jika dikelola sesuai prinsip syariah, dapat menjadi sarana positif untuk memperkuat hubungan sosial dan membantu stabilitas ekonomi individu. Namun, perlu diwaspadai potensi pelanggaran syariah seperti riba, gharar, atau tujuan yang tidak sesuai. Oleh karena itu, praktik arisan harus dilakukan dengan pengelolaan yang baik, niat yang benar, serta senantiasa mengacu pada nilai-nilai Islam.

Penutup dan Kesimpulan

Arisan merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang memiliki peran penting dalam mempererat solidaritas sosial, membangun kebersamaan, dan mendukung kebutuhan ekonomi secara kolektif. Sebagai tradisi yang telah mengakar di masyarakat, arisan tidak hanya menjadi sarana tolong-menolong, tetapi juga simbol dari semangat gotong royong yang menjadi ciri khas budaya Indonesia.

Dalam perspektif fikhi kontemporer, arisan pada dasarnya diperbolehkan selama praktiknya tidak melanggar prinsip-prinsip syariah. Prinsip tersebut mencakup larangan terhadap riba, gharar (ketidakpastian), dan dharar (kerugian), serta memastikan adanya keadilan dan transparansi dalam pengelolaannya. Oleh karena itu, pelaksanaan arisan harus memperhatikan aspek-aspek hukum Islam, seperti kesepakatan yang jelas antara peserta, tidak adanya unsur paksaan, dan tujuan yang sesuai dengan nilai-nilai syariah.

Meski demikian, arisan juga menghadapi tantangan modern, terutama ketika praktiknya disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, persaingan status sosial, atau melibatkan transaksi yang tidak adil. Dalam konteks ini, kearifan lokal harus diharmonisasikan dengan ajaran Islam agar nilai-nilai spiritual dan sosial tetap terjaga. Dengan pendekatan yang bijak, arisan dapat menjadi sarana yang tidak hanya memperkuat ukhuwah Islamiyah, tetapi juga mendukung perekonomian umat secara halal dan beretika.

Sebagai penutup, arisan dapat terus dipertahankan sebagai tradisi selama pelaksanaannya sesuai dengan syariat Islam. Penting bagi setiap individu dan komunitas untuk memastikan bahwa praktik arisan mencerminkan nilai-nilai keislaman, seperti keadilan, kejujuran, dan keberkahan. Dengan demikian, arisan tidak hanya menjadi tradisi yang bermanfaat secara sosial dan ekonomi, tetapi juga menjadi ladang amal yang mendekatkan umat kepada Allah SWT. #Wallahu A'lqm Bishawab.