Tersebutlah seorang ahli ibadah (‘abid) yang atas izin Allah SWT diberi usia panjang hingga 500 tahun. Selama hidupnya, ia memanfaatkan usia tersebut hanya untuk beribadah kepada Allah, hingga pada saat kematian mendekatinya, ia pun memohon agar Allah mewafatkannya dalam keadaan sujud.

Kisah tentang ‘abid ini diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim dan dicantumkan oleh Al-Hafiz Al-Mundziri dalam At-Targhib wa At-Tarhib. Rasulullah SAW mendengar cerita ini dari Malaikat Jibril. Jibril menyampaikan, “Baru saja aku meninggalkanmu, wahai Muhammad. Demi zat yang mengutusmu dengan kebenaran, sesungguhnya Allah memiliki seorang hamba yang telah beribadah kepada-Nya selama 500 tahun, di sebuah puncak gunung yang terletak di tengah lautan.”

نَقَلَ الْحَافِظُ الْمُنْذِرِيُّ عَنْ جِبْرِيلَ قَوْلَهُ: يَا مُحَمَّدُ، وَاللَّهِ الَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ إِنَّ لِلَّهِ عَبْدًا قَدْ عَبَدَ اللَّهَ خَمْسَ مِائَةِ سَنَةٍ عَلَى قِمَّةِ جَبَلٍ فِي بَحْرٍ.

"Jibril berkata, ‘Wahai Muhammad, demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, sesungguhnya Allah memiliki seorang hamba yang beribadah kepada-Nya selama 500 tahun di atas gunung di tengah lautan.’"

Dalam hadits ini, dijelaskan bahwa ‘abid tersebut hidup di puncak gunung yang luasnya sekitar 50 hasta (sekitar 22,5 meter). Laut mengelilingi gunung itu sejauh 4.000 farsakh (sekitar 166.000 km). Gunung tersebut diberi sumber air sebesar ibu jari yang memancarkan air tawar untuk kebutuhan ibadahnya, dan di sana juga tumbuh pohon delima yang memberikan buah matang setiap malamnya sebagai makanannya.

Setiap sore, ‘abid tersebut turun dari gunung untuk berwudhu dan memakan buah delima sebelum melaksanakan sholat hingga malam. Menjelang ajalnya, ia berdoa kepada Allah agar diwafatkan dalam keadaan sujud, serta memohon agar jasadnya tetap utuh dan berada dalam posisi sujud hingga hari kebangkitan.

Malaikat Jibril melanjutkan ceritanya, “Allah SWT mengabulkan doanya, dan setiap kali kami turun ke bumi dan kembali ke langit, kami melihatnya dalam keadaan sujud.”

قَالَ جِبْرِيلُ: وَقَدْ أَجَابَ اللَّهُ دُعَاءَهُ، وَكُنَّا إِذَا نَزَلْنَا وَعُدْنَا نَرَاهُ قَائِمًا سَاجِدًا.

"Jibril berkata, ‘Allah telah mengabulkan doanya, dan setiap kali kami turun dan kembali naik, kami melihatnya dalam keadaan sujud.’"

Pada hari kiamat, ketika ‘abid itu dihadapkan kepada Allah SWT, Allah berfirman, "Masukkanlah hamba-Ku ini ke surga dengan rahmat-Ku." Namun, sang ‘abid berkata, “Ya Allah, masukkanlah aku ke surga karena amal perbuatanku.”

Allah SWT kembali berfirman, “Masukkanlah ia ke surga dengan rahmat-Ku.” Namun, ia tetap memohon agar masuk surga karena amal perbuatannya. Lalu, Allah SWT memerintahkan para malaikat untuk menimbang antara amal ibadah selama 500 tahun dengan nikmat penglihatan yang diberikan kepadanya.

Ternyata nikmat penglihatan tersebut sudah sebanding dengan amal ibadahnya selama 500 tahun. Setelah dihitung lebih jauh, nikmat-nikmat Allah lainnya lebih besar dari amal perbuatannya. Ketika diperintahkan ke neraka karena keangkuhannya, sang ‘abid pun bergegas memohon rahmat Allah agar diizinkan masuk surga.

Allah SWT kemudian bertanya, “Siapakah yang menciptakanmu dari ketiadaan?”

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: مَنْ الَّذِي خَلَقَكَ مِنْ عَدَمٍ؟

"Allah SWT berfirman, ‘Siapa yang menciptakanmu dari ketiadaan?’"

Sang ‘abid menjawab, “Engkau, wahai Rabb.”

Allah bertanya lagi, “Siapakah yang memberimu kekuatan untuk beribadah selama 500 tahun?”

مَنْ الَّذِي مَنَحَكَ قُوَّةً لِتَعْبُدَنِي خَمْسَ مِائَةِ سَنَةٍ؟

"Siapa yang memberimu kekuatan untuk beribadah kepada-Ku selama 500 tahun?"

Lalu Allah SWT bertanya, “Siapakah yang memberimu tempat di atas gunung di tengah samudra, dengan air tawar dari laut yang asin, serta pohon delima yang berbuah setiap malam?”

‘Abid itu menjawab, “Engkau, wahai Rabb.”

Akhirnya Allah SWT berfirman, "Semua itu adalah karena rahmat-Ku. Dengan rahmat-Ku pula engkau masuk surga. Masukkanlah hamba-Ku ini ke dalam surga, karena dia adalah sebaik-baik hamba yang mengakui rahmat-Ku."

فَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى: وَبِرَحْمَتِي أَدْخُلُكَ الْجَنَّةَ، وَإِنَّكَ مِنْ خِيَارِ عِبَادِي.

"Allah berfirman, ‘Dengan rahmat-Ku engkau masuk surga, dan sesungguhnya engkau termasuk hamba-Ku yang terbaik.’"

Demikianlah, sang ‘abid dimasukkan ke dalam surga. Lalu Malaikat Jibril menutup kisah tersebut dengan berkata, “Wahai Muhammad, segala sesuatu terjadi hanya dengan rahmat Allah.”

خَتَمَ جِبْرِيلُ: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّ كُلَّ شَيْءٍ يَكُونُ بِرَحْمَةِ اللَّهِ.

"Jibril berkata, ‘Wahai Muhammad, semua terjadi hanya dengan rahmat Allah.’"


Intisari dan Pelajaran

Kisah ini memberikan kita pandangan mendalam tentang esensi rahmat Allah dalam setiap aspek kehidupan, bahkan bagi seorang ahli ibadah (‘abid) yang telah beribadah selama 500 tahun. Kisah ini juga mengingatkan kita bahwa:

1. Ibadah Tanpa Rahmat Allah Tidak Menjamin Surga

Ibadah ‘abid selama 500 tahun ternyata tidak cukup untuk sebanding dengan satu nikmat penglihatan yang Allah anugerahkan kepadanya. Ini menegaskan bahwa masuk surga bukan sekadar hasil usaha, tetapi atas rahmat Allah yang tak terhingga.


2. Kesombongan Menyangkut Amal Dapat Menyebabkan Kerugian

Sikap ‘abid yang menuntut surga karena amalnya mengajarkan bahwa keangkuhan dalam ibadah, bahkan bagi ahli ibadah, dapat menjatuhkan diri sendiri. Kesadaran akan kekurangan dan ketergantungan mutlak kepada Allah harus senantiasa ada dalam hati kita.


3. Rahmat Allah adalah Sumber Segala Nikmat

Segala nikmat, mulai dari kehidupan, kesehatan, hingga kemampuan beribadah, adalah pemberian Allah semata. Dengan demikian, perbuatan kita harus dilandasi dengan rasa syukur dan pengakuan akan rahmat-Nya yang meliputi segala sesuatu.


4. Ibadah adalah Sarana Mendekatkan Diri dan Mengharapkan Rahmat Allah

Tidak ada ibadah yang menjadi jaminan surga, tetapi ibadah menjadi jalan untuk meraih kasih sayang Allah. Rahmat-Nya yang tak terbatas lebih dari cukup untuk membawa kita ke dalam surga.


5. Kisah Ini Mengingatkan untuk Selalu Berserah Diri

Kesadaran bahwa segala sesuatu ada dalam kehendak Allah mengajarkan untuk selalu berserah diri, tidak mengandalkan amal sendiri, melainkan memohon rahmat-Nya dalam setiap usaha yang dilakukan.


Sehingga dengan demikian, kisah ini mempertegas bahwa hidup yang penuh dengan ibadah sekalipun memerlukan rahmat Allah untuk membawa kita menuju kebahagiaan abadi di akhirat. Segala usaha dan ibadah kita seharusnya menjadi jalan untuk mendapatkan rahmat Allah, sebab hanya dengan rahmat-Nya seseorang dapat meraih keselamatan dan kebahagiaan yang sejati.