Hari ini saya ke kampus----setelah sekian lama ‘bertelur’ di rumah----untuk mengurus berkas-berkas persyaratan pengambilan ijazah. Kesan pertama yang saya dapat saat memasuki gerbang kampus adalah: semarak dengan gambar-gambar atribut kampanye. Oh, rupanya dalam waktu dekat akan ada PEMILMA (Pemilihan Mahasiswa).

Buat yang belum tau, PEMILMA bukan sejenis pil yang bisa diminum saat mules. PEMILMA adalah ‘pesta demokrasi’ yang diadakan setiap tahun (dua periode atau dua semester) di awal tahun menjelang semester ganjil usai. Disini, beberapa mahasiswa menjadi kandidat ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan, Ketua Senat Mahasiswa Tingkat Fakultas/Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Tingkat Fakultas, dan Presiden Mahasiswa/Ketua BEM Tingkat Universitas. Sistem pemilihannya kayak di Indonesia; dibagi per fakultas dan tiap-tiap pengurus BEM-F bertanggung jawab di wilayah mereka masing-masing.

***

Empat tahun silam, saya masih ‘mahasiswa ingusan’ dan ‘belum berlumur dosa’. Polos banget. Di masa-masa maba, ada beberapa senior yang melakukan ‘pendekatan-pendekatan’ pada kami, angkatan 2009. Kita yang waktu itu masih culun abis, tentu nggak pernah tau bahwa kelak mereka ini mendekati kita untuk ‘tujuan tertentu’.

Menjelang PEMILMA, mulailah beberapa kandidat dikenalkan kepada kita melalui poster-poster atau penjabaran visi-misi mereka dalam kelas saat kami menanti dosen yang belum menunjukkan tanda-tanda keberadaannya. Terus terang, saya waktu itu kurang paham dengan pemaparan visi-misi mereka. Ataukah, otak saya yang saat itu masih rada tulalit dengan istilah-istilah mereka? Entahlah.

Saya masih ingat sekali, ada beberapa kandidat yang sangat ambisius menduduki kursi kepemimpinan. Dia rajin sekali melakukan pendekatan sama kita, anak 2009. Kalo ada waktu senggang dan kebetulan kita ketemu, dia pasti nanya-nanya dengan sok akrab:

“Siapa lagi nama ta?”
“Orang mana ki?”
“Dari sekolah mana ki dulu dek?”
“Dimana ki tinggal?”
“Kos-kosan ki atau tinggal sama orang tua?”
And bla bla bla bla.

Penting amat ya mereka tau hal-hal yang di atas. Oke, saya tau mereka pengen terlihat akrab. Tapi kok kesannya sangat kepo ya?

***

Beberapa hari menjelang PEMILMA, mereka----melalui tim sukses----bakal gencar melancarkan doktrin-doktrin untuk memilih jagoan mereka saat ‘pesta’ itu tiba. Mereka nggak pernah tau kawan dan lawan, pokoknya saling hantam dan sikut sudah menjadi hal yang biasa----meskipun cuma dilakukan secara tersembunyi. Lagi-lagi, kata yang paling sering mereka keluarkan adalah:

“Dia orang ini, atas nama solidaritas pilihlah dia.”
“Si A dari jurusan itu, atas nama solidaritas kami mohon suaranya.”
“Si B itu kandidat ini, atas nama solidaritas pilihlah dia. Kalo kamu pilih dia, pasti kami akan pertimbangkan kamu menjadi pengurus.”
Eng-ing-eng, beginilah kira-kira gambaran dari pemilma yang menjunjung tinggi solidaritas. Nggak jauh beda ya sama pemilu yang diadain di Indonesia?

***

Saat pemilma berlangsung, terkadang masih ada calon yang menyelipkan sekali lagi ‘doktrin’ mereka agar jangan lupa memilih mereka. Saya masih ingat kata-kata si calon saat dia mengantre di belakang saya untuk memberi hak suara.
“Dek, minta tolong ka ini nah. Pilih ka.”

Pardon, you beg to me? Jujur, ini membuat saya sangat miris waktu itu. Apakah si calon ini melihat saya sebagai sekedar komoditi yang bisa dicocok hidungnya kesana kemari kayak kebo? Salahkah saya bila saya tidak memilih kandidat tersebut karena hati nurani? Apakah saya dianggap tidak solid hanya karena bukan kandidat itu yang saya pilih? Lebih tinggi mana sebetulnya, hati nurani ataukah ambisi seorang kandidat?

Saya marah, karena saya bukanlah Shinichi Kudo yang bisa mengungkapkan kenyataan----sepahit apapun----dengan ekspresi datar. Saya hanyalah seorang anak yang berani menyuarakan kebenaran lewat permainan kata. Seandainya saya bisa seperti tokoh manga yang saya kagumi itu, pasti saya akan berteriak di depannya.
“TOLONG, BERHENTILAH MEMPERMAINKAN PERASAAN SAYA! SAYA BUKAN KERBAU! BIARKAN SAYA MEMILIH SESUAI DENGAN HATI NURANI!” (Saya nggak masuk di partai yang ada tagline ‘hati nurani’nya itu ya, catet!)

***

Dunia PEMILMA juga sarat dengan istilah ‘kandidat bayangan’. Ada salah satu kandidat yang diajukan menjadi calon dengan tujuan tertentu; untuk pemecah suara dalam satu kelompok atau dia diajukan karena rasanya nggak fair bila calon kandidat cuma seorang----pasti tanpa PEMILMA dia menang mutlak. Jadi ingat kisah sahabat saya----si A----di kampus seberang….

Saat itu----selesai mata kuliah, secara tiba-tiba si A didatangi beberapa teman. Terus terang A agak kaget juga, baru kali ini mereka melihat muka teman-temannya yang serius. Salah seorang kemudian bertindak sebagai jubir, menjelaskan maksud mereka dengan bertele-tele. Intinya, meminta teman saya itu maju sebagai ‘kandidat bayangan’dengan alasan bila mereka-mereka yang maju, takutnya akan memecah belah suara junior dan senior----karena mereka sudah cukup dikenal----yang akan membuat salah seorang teman yang maju sebagai ‘kandidat sebenarnya’ akan terpecah suaranya.

Kasihan teman saya itu, karena alasan ‘dia tidak terkenal di kalangan junior dan senior’, mereka memasangnya menjadi kandidat. Hingga cerita ini saya tulis, masih terbayang lagi ekspresi muka dan perkataannya saat dia mengucapkan hal ini pada saya:

Sikulu’, naliat manusia ja itu orang kah? Kata-katanya sok merendahkan sekali. Terus terang nah Erdha, terbersit pun niat saya untuk menjadi kandidat tidak pernah. Lagi-lagi, atas nama solidaritas saya harus rela harga diriku diinjak-injak sedemikian rupa. Sh*t!

Beberapa hari kemudian, saat kandidat diberikan kesempatan untuk kampanye, si A juga ingin membuat poster dan memperkenalkan diri layaknya ‘kandidat normal’. Segalanya dikerjakan sendiri, karena dia tahu posisinya sebagai ‘kandidat bayangan’. Sebagai sahabat yang baik, saya pun menolong sebisanya dan semampunya. Saya ingat sekali, pukul 3 dinihari saya dan dia baru bisa tidur.

Esoknya, dengan tampang penuh semangat, si A berencana menempel poster sederhana tersebut di sore hari----saat suasana kampus sunyi. Dia tak ingin meminta tolong kepada siapapun, karena (lagi-lagi) dia menyadari posisinya. Sialnya, seorang temannya yang iseng langsung menarik poster tersebut dari tasnya. Sejurus kemudian, teman yang iseng itu menertawakan posternya yang kelewat sederhana dan kekanakan. Tanpa ba-bi-bu, si A langsung meninggalkan kelas. Tanpa menoleh. Tanpa peduli panggilan temannya. Tanpa peduli mata kuliah selanjutnya. Yang hanya sahabat saya ingin lakukan waktu itu hanya satu: PULANG KE RUMAH KARENA MALU.

Saat tiba di rumah, dia menangis dan menelepon saya menyuruh datang. Saya ingat sekali waktu itu, bahwa jerih payah yang kita kerjakan BERDUA hingga pukul 3 dinihari ditertawakan karena bentuknya.

“Bisa apaka? Saya hanyalah ‘kandidat bayangan’. Mau ka minta tolong sama siapa kodong?” ujarnya sesenggukan.

Ya, saya betul-betul MARAH. Hal ini sudah tidak bisa ditolerir. Sudah ‘mengatai’ sahabat saya dengan kata-kata terendah, kini ia pun ditertawai karena posternya. Tapi, yang saya lakukan hanyalah menenangkan dia dengan kata-kata manis.

Beberapa hari selanjutnya, saat PEMILMA berlangsung, saya mengajak teman saya untuk pergi ke mall, hunting novel Sherlock Holmes. Sekalian, mencoba membantu teman saya untuk melupakan sejenak bahwa dia hanyalah ‘kandidat bayangan’.

***

Tulisan saya ini bukan untuk menghasut teman-teman agar memboikot PEMILMA. Tidak, saya tidak pernah bermaksud demikian. Tulisan ini sekedar refleksi dari perjalanan saya sebagai seorang mahasiswa selama empat tahun lebih. Dan saya lihat, suasana PEMILMA yang sekarang ini tidak jauh berbeda, seperti déjà vu. Mengulangi peristiwa masa silam, dengan tagline yang masih sama: SOLIDARITAS.

 

Sudah siapkah kita mengembalikan makna kata SOLIDARITAS yang sebenarnya?